14. Siapa Kamu?

1694 Words
Nona Sophia dan Siti sama-sama menunduk karena alasan yang berbeda. Nona Sophia karena takut, sedangkan Siti karena malu. Tidak tahu harus berkata apa. Mereka tidak menyangka Tuan Khalid akan masuk ke dalam kamar. Bukan. Mereka bersalah karena lupa mengunci pintu. "Dimana, Mi? Mengapa ada Siti disini?" tanya Tuan Khalid. Tuan Khalid sebenarnya hanya bertanya. Tidak bermaksud marah kepada siapa pun. Namun Siti dan Nona Sophia saat ini menunduk ketakutan seolah terpergok melakukan pelanggaran berat. Lagi-lagi, salahkan saja wajah bengis yang tampan itu. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi hanya bermaksud mengunjungi Nona Sophia sebentar. Namun saya terlena karena melihat film yang sedang ditonton Nona Sophia," kata Siti bermaksud mengambil semua kesalahan agar Nona Sophia tidak disalahkan. Lagipula memang semua ini salahnya karena dia yang memulai. "Dimana, Mi?" tanya Tuan Khalid lagi sambil menautkan kedua tangannya di d**a. Matanya melihat lurus ke arah anak perempuannya. Hal ini tentu saja semakin membuat Nona Sophia dan Siti semakin takut. "Aku menyuruhnya pergi karena tadi ingin menonton sendiri," jawab Nona Sophia pelan sambil memonyongkan bibirnya sedikit. Cemberut, tapi hanya sedikit. "Kau mengusir, Mi. Tapi malah meminta Siti menemanimu?" tanya Tuan Khalid menyelidik sambil mengernyitkan keningnya. Beliau keheranan karena seingatnya, putrinya adalah sangat pemilih. Tidak pernah terlampau dekat dengan siapa pun. Pelayan hanya akan diperlakukan seperti pelayan saja. Bukan sebagai teman. "Mengapa?" tanya Tuan Khalid lagi. "Mi hanya akan tertidur kalau menemaniku menonton, jadi aku mengusirnya ...," jawab Nona Sophia dengan suara agak keras sambil menengadahkan wajahnya ke arah ayahnya. Takut-takut. Kemudian dia menunduk lagi. "Baiklah. Aku tadi hanya ingin mengabarkan kalau besok guru balet baru akan datang kesini," ujar Tuan Khalid datar. Kemudian Tuan Khalid menoleh ke arah Siti. "Dan kamu, Siti. Ikut aku ke ruang kerja, sekarang." Siti mengikuti Tuan Khalid ke ruang kerja setelah sembunyi-sembunyi pamit kepada Nona Sophia dengan suara sangat pelan, "Kita menari lagi kapan-kapan. Sampai nanti." Kemudian dia berjalan secepatnya agar bisa menyusul Tuannya yang sudah menjauh lebih dulu. Kali ini, setelah tidak berada di dekat anak di bawah umur, Siti merasa dirinya akan benar-benar dimarahi. *** Hanya ada Siti dan Tuan Khalid di ruang kerja. Suasana tegang. Siti merasa melakukan kesalahan yang sangat besar hari ini. Seharusnya tadi dia tidak lupa mengunci pintu. Betapa penyesalan itu selalu datang di akhir. "Apakah Ahmed memberikan kursus menari beberapa waktu lalu?" tanya Tuan Khalid. Beliau tahu jawabannya adalah tidak, karena yang beliau lihat tadi bukanlah gerakan tubuh yang kaku karena baru belajar menari. Gerak-gerik tubuh yang sangat luwes dan gemulai pastilah dimulai semenjak usia dini sebagaimana Nona Sophia. "Tidak, Sir," jawab Siti menunduk. Kedua telapak tangannya saling menggenggam. Siti tahu bahwa Ahmed pasti sudah melaporkan semua hasil kursusnya. Jadi, mengapa Tuan Khalid harus repot-repot bertanya? Karena Tuan Khalid pasti saat ini menaruh rasa curiga padanya. Apa yang akan dia jawab nanti bila Tuan Khalid menanyakan dari mana dia belajar menari? Tuan Khalid bertanya lagi, "Siapa yang mengajarimu balet?" "Guru saya sewaktu kecil, Sir," jawab Siti tidak berbohong. Tentu dia tak perlu mengatakan siapa gurunya, bukan? "Apakah balet sangat populer di desa kamu?" selidik Tuan Khalid lagi. "Eh, ...," pekik Siti pelan karena tidak siap akan pertanyaan Tuan Khalid. Jika dia menjawab tidak, tentu Tuan Khalid akan bertanya lebih jauh lagi. Jika dia menjawab iya, masalah besar akan muncul di masa depan bila Tuan Khalid tahu akan hal yang sebenarnya. "Tatap mataku dan jawab pertanyaanku, Siti," titah Tuan Khalid tak sabar, sambil mendekat ke arah Siti. "Tidak, Sir," jawab Siti sambil menatap mata Tuan Khalid seperti yang diperintahkan. Bencana! Kedua iris mata Siti yang menatap Tuan Khalid saat ini memancarkan racikan yang pas antara ketakutan, keberanian, pertahanan, dan kecerdasan. Berpadu sempurna dengan kecantikan alami di wajah Siti. Memancarkan pesona misterius. Memunculkan perasaan hangat yang menjalar di d**a sang Tuan. Sesuatu yang tak pernah beliau rasakan sebelumnya. Andai saat ini Tuan Khalid tahu apa yang akan diakibatkan oleh kejadian saat ini untuk kehidupannya di masa depan, tentu beliau akan sangat menyesali—atau mensyukuri—setiap detik yang beliau lewatkan bersama gadis kecil di depannya. Namun, beliau mengabaikan begitu saja gejala awal di dadanya, semata-mata karena beliau tidak benar-benar paham akan tanda-tanda itu. Pertanda suatu penyakit yang menjangkiti hati setiap insan, tanpa ada yang tahu bagaimana cara menyembuhkannya. "Kamu bilang, kamu gadis desa bukan? Tanpa keluarga seorang pun?" desak Tuan Khalid, memaksa Siti untuk menjawab setiap kata-katanya dengan kejujuran. "Benar, Sir," sahut Siti tegas, lebih tepatnya berusaha untuk tetap tenang walaupun berada dalam tekanan. "Katakan kepadaku apa yang kamu sembunyikan dariku," perintah sang tuan berupaya untuk memeras setiap tetes kebenaran yang tersisa dari dalam diri Siti. Tuan Khalid, walaupun tidak ramah, dia bukanlah orang yang jahat. Hanya saja dia tidak suka dibohongi. Yang tidak diketahuinya saat ini adalah, Siti memang tidak sedang berbohong. Gadis itu hanya tidak ingin tuannya mengetahui apa yang sebenarnya telah dia rahasiakan kepada siapa pun selama ini. Siapa pun. "Saya tidak menyembunyikan satu hal pun dari Anda, Sir," jawab Siti berusaha meyakinkan tuannya. "Katakan, Siti. Siapa kamu sebenarnya?" seru Tuan Khalid marah. Matanya menatap Siti tajam seperti harimau hendak menerkam seekor kelinci. "Atau kau harus dipaksa buka mulut?" Dengan cepat Tuan Khalid mendorong tubuh Siti ke dinding dan mengunci gerakan Siti dengan tubuhnya yang tinggi dan kekar. Siti yang tak siap, hampir saja membalas perlakuan Tuan Khalid dengan tendangan, seandainya dia tak ingat bahwa tuannyalah yang melakukan hal ini padanya. Jarak yang terlalu dekat, membuat Siti memalingkan mukanya ke kanan, sebisa mungkin memperlebar jarak antara dirinya dan Tuan Khalid, bila itu memungkinkan .... "Katakan apa yang kamu sembunyikan," paksa Tuan Khalid pelan lagi, sekaligus mengancam, "Kalau tidak kamu katakan, aku akan bener-benar memaksamu mengatakannya. Dan aku jamin bahwa kamu akan menyesal di masa depan." "Saya—tidak menyembunyikan apapun yang akan membahayakan diri Anda, Sir!" seru Siti yakin, sambil menengadahkan kepalanya menghadap Tuan Khalid. Kemudian berpaling lagi. "Waktu itu, kamu dengan lantang mendeklarasikan perbudakanmu? Mengatakan akan memberikan hidupmu padaku? Seumur hidup melayaniku?" cecar tuan Khalid menyerang Siti dengan perbuatannya di masa lalu. Suasana mencekam. Tuan Khalid mendekatkan wajahnya ke wajah Siti hingga sangat dekat dan tak mungkin bisa lebih dekat lagi kecuali— "Mungkinkah kamu tidak tahu, kalau seorang tuan berhak memperlakukan budaknya sebagaimana ia memperlakukan istrinya?" Siti mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak terkendali. Akankah Tuannya akan melakukan hal yang dia lewatkan malam itu? Apakah tuannya tidak sebaik yang dia pikirkan selama ini? Apakah sedang ada iblis jahat yang merasuki tuannya? 'Tenang! Tenanglah!' jeritnya dalam hati sambil memegangi dadanya, seolah dengan itu, perasaan dan pikirannya bisa lebih tenang. Dia tahu, dia hanya akan bisa berhasil keluar dari situasi ini bila dia berpikir jernih. 'Berpikirlah ... berpikirlah ...' rapalnya dalam hati, untuk menyihir diri sendiri. "Anda salah, Sir. Dari awal saya tidak pernah mengatakan akan menjadi b***k," timpal Siti yang kini berbalik menatap dingin mata Tuan Khalid dengan penuh percaya diri. "Saya memberikan hidup saya kepada Anda untuk bekerja tanpa dibayar. Saya tidak pernah mengatakan akan memberikan raga saya untuk Anda." "...." Melihat tak ada jawaban dari Tuan Khalid, Siti tahu dia akan menang. Kemudian gadis itu menambahkan. "Apakah Anda mengingat isi kontrak dengan baik? Tak sekali pun disebutkan kata b***k. " jelasnya lagi. "Kontrak itu hanyalah seperti perjanjian bisnis semata. Saya akan bekerja sebagai pengasuh bayi di rumah ini, tanpa dibayar, untuk menebus semua kebaikan Anda yang mengeluarkan saya dari jeratan prostitusi. Sesuai yang saya janjikan." "...." "Hanya sebatas itu. Tidak lebih," kata Siti sambil mempertajam sorot matanya. "Saya harap ke depan tidak akan ada salah paham lagi mengenai hal ini." Siti menepis kedua tangan Tuan Khalid dari sisi kanan dan kirinya. Tuan Khalid pun menjauh, memberikan ruang gerak kepada Siti. Mata mereka masih beradu pandang. Siti tahu, saat ini dia harus pergi sebelum Tuan Khalid memegang kendali keadaan lagi. Saat hendak pergi, ia lalu ingat sesuatu yang dikatakan Tuan Khalid di hotel saat mereka pertama bertemu. Balas dendam sedikit, sepertinya tidak akan menyakitkan. "Oh ya. Jangan lupa bahwa Anda sudah mempunyai empat orang istri yang sangat cantik," sindir Siti menirukan gaya bicara Tuan Khalid saat itu. "Tentu mereka bisa memenuhi semua kebutuhan Anda dengan sangat baik." Siti pun tersenyum penuh kemenangan dan pergi meninggalkan Tuan Khalid yang berdiri mematung. Mungkin saat ini, harga diri Tuan Khalid sedang berada di posisi paling bawah sepanjang hidupnya hingga dia tak mampu bergerak sedikit pun untuk membalas perbuatan Siti. Siti tahu Tuan Khalid bukanlah orang yang jahat, terbukti dia keluar dari ruangannya dengan selamat walaupun dia telah membuat tuannya marah besar. Dalam hati, sebenarnya dia merasa bersalah karena perbuatannya itu. Siti memang menyembunyikan sesuatu, tapi dia menyembunyikan hal itu pada semua orang. Tidak hanya pada Tuan Khalid. Lagipula, hal yang dia sembunyikan tidaklah penting, dan tidak akan berimbas buruk pada siapa pun. Dia hanya ingin hidup sebagai Siti yang sekarang. Siti gadis desa sebatang kara dan tak memiliki apa-apa. Hhhhmmmm ... Siti menghela nafas panjang, mengakhiri lamunannya tentang Tuan Khalid. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Tidak, setiap hari di sini selalu melelahkan dan menguras emosi. Tiba-tiba saja dia merindukan Mrs. Kadri dan Jihan. Dia akui, rumah Ahmed memang lebih menyenangkan dibanding rumah ini. Pantas saja penghuni rumah ini seperti hampir tidak waras semua. Dia tersenyum sendiri mengingat pembicaraannya dengan Madam Aisha tadi pagi. Haha ... Siti menertawakan kebodohannya yang berlagak idealis. Sekarang dia mengerti mengapa Madam Aisha sampai-sampai mempunyai pemikiran seperti itu tentang suaminya. *** Setelah Siti pergi meninggalkan ruang kerja, Tuan Khalid memikirkan adu argumennya dengan Siti tadi. Beliau sendiri heran, mengapa harus marah? Apa hanya karena beliau mendapati Siti bukanlah gadis biasa seperti yang semua orang bayangkan? Mengapa beliau begitu kesal karena Siti tidak mau mengatakan siapa dirinya sebenarnya? Apakah memang dia punya masa lalu yang ingin dia sembunyikan? Apakah dia berasal dari keluarga berada yang bangkrut atau yang semisalnya? Bila memang seperti itu kenyataanya, tentu tidak ada pengaruhnya dengan kondisinya yang sekarang bukan? Dia tetaplah seorang gadis yang tidak memiliki apa pun baik keluarga maupun harta. Bukankah Siti sudah mengatakan bahwa dia bukanlah orang yang berbahaya? Di usianya yang sudah mendekati kepala tiga, seharusnya Tuan Khalid bersikap tenang menghadapi hal seperti ini. Tidak seperti anak muda yang mudah tersulut emosi karena ego yang terluka. Tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, Tuan Khalid menelepon Ahmed dengan gusar. "Cepat ke rumah sekarang dan bawa semua record tentang Siti," perintah beliau kepada Ahmed. "Semuanya!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD