bc

You're My World

book_age16+
762
FOLLOW
10.7K
READ
family
friends to lovers
tomboy
comedy
sweet
bxg
humorous
highschool
friendship
reckless
like
intro-logo
Blurb

Mutiara Dunia, gadis biasa-biasa saja yang tidak pernah bermimpi untuk menjadi istimewa. Baginya, memiliki kehidupan masa sekolah yang normal dan tidak terlalu dikenal, sudah jauh lebih cukup baginya. Namun, Muti tidak sebaik itu mengenal dirinya sendiri. Semua orang di sekolah suka berteman dengannya dan tidak pernah menganggapnya biasa-biasa saja.

Damar Wisnu Ardhika Widjaya, cowok popular sahabat Muti. Diam-diam, Damar memiliki perasaan pada Muti. Sayangnya, ia tidak ingin m*****k persahabatan yang sudah terjalin sejak kecil.

Akan tetapi, ketika muncul cowok baru yang disukai Muti, akankah Damar akan tetap diam? Atau, pada akhirnya ia berani mengambil keputusan dan mengaku pada Muti bahwa gadis itu adalah dunianya?

chap-preview
Free preview
Mutiara Dunia yang Biasa-Biasa Saja
Mutiara Dunia. Itu adalah nama yang disandangnya. Satu nama tidak biasa, yang disematkan pada seorang gadis yang wajahnya bahkan sangat biasa. Dia tidak cantik, tetapi juga tidak jelek. Tubuhnya tidak tinggi, juga tidak pendek. Badannya tidak kurus, bahkan cenderung gemuk. Dan benar-benar tidak ada yang menonjol darinya. Yah, kecuali beberapa bagian tubuh yang tentu saja tidak bisa dibanggakan menurutnya. Muti, begitu biasa dipanggil, dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja. Tidak kaya, tetapi juga tidak kekurangan. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil golongan III, sedangkan sang ibu adalah ibu rumah tangga. Kadang, ibunya yang nyentrik itu bekerja sambilan menjadi seorang penulis lepas di kantor majalah wanita. Muti mempunyai satu orang kakak laki-laki bernama Satu Bintang dan satu adik yang juga seorang laki-laki bernama Langit Biru. Oke, kalian boleh tertawa mendengar nama-nama yang justru sangat tidak biasa itu. Adalah ibu mereka, Dina Soraya, -yang senang sekali membaca- yang memberi nama-nama 'aneh' itu pada anak-anaknya. Sag ibu, dulu kuliah di jurusan filsafat, jadi tidak heran jika beliau sedikit 'aneh'. Kakaknya, Bintang, berbeda jauh dengan Muti. Bintang sangat tampan dan begitu populer di kampusnya. Ketua BEM, sangat aktif berorganisasi, jago berolahraga, plus berotak cemerlang. Pokoknya, Bintang adalah tipikal cowok yang selalu ada dalam tokoh-tokoh utama novel romantis yang banyak digilai para gadis. Muti sering menduga jika Bintang adalah anak salah ambil. Mungkin dulu suster di rumah sakit keliru mengambil bayi orang lain dan memberikannya pada ibunya. Tidak mungkin orang sesempurna Bintang menjadi kakaknya. Akan tetapi, memang itulah kenyataannya. Bintang adalah kakak kandungnya. Golongan darah mereka sama dan beberapa orang bilang mereka mirip. Bah! Pasti orang-orang itu katarak saat mengatakan mereka mirip. Dilihat dari sudut manapun, mereka tidak ada kemiripan sama sekali. Oke, kecuali saat tersenyum. Dia, Bintang, dan Langit memiliki satu senyum yang sama. Senyum ibu mereka. Namun hanya itu saja. Untuk yang lainnya, Muti adalah duplikat ayahnya. Tidak jauh berbeda dengan Bintang, Langit juga bukan termasuk anak yang biasa-biasa saja. Langit cerdas -walaupun tidak secerdas Bintang- dan juga sangat tampan. Wajahnya begitu elok dengan bulu mata yang lebih lentik dan lebih tebal daripada Muti. Matanya hitam cemerlang dan hidungnya mancung. Bahkan di usianya yang baru tiga belas tahun, Langit sudah banyak dikejar gadis-gadis teman sekolahnya. Singkat kata, Muti adalah anggota keluarga yang paling tidak eksis dan tidak oke. Dia hanyalah itik buruk rupa di tengah sekumpulan angsa yang sangat cantik. Hal itu sering membuatnya minder jika harus bepergian dengan seluruh anggota keluarganya. Dia selalu diperhatikan orang-orang yang melihatnya berbeda. Berwajah sangat biasa dan tidak berkulit putih. Terutama saat ada acara kumpul keluarga besar. Ia selalu menjadi nyinyiran para saudara yang lain karena dirinya yang tidak serupawan Bintang atau Langit. Muti sekarang kelas 2 SMU. Di sekolah, prestasinya juga tidak terlalu menonjol. Dia menjawab jika guru bertanya, tetapi tidak pernah mengangkat tangannya untuk mengajukan diri menjawab pertanyaan. Teman-teman pun, dia tidak memilih berada dalam satu kelompok tertentu. Di satu saat, dia bisa bersama gerombolan murid populer. Di waktu lain, dia asyik dengan gerombolan murid pintar di sekolah. Dia bisa loncat ke mana saja dia suka. Karena itulah teman-teman sekolahnya selalu memanggil dia, Marmut. “Marmuuuuttt, ikut gue kuy!!” Acha, ketua cheers di sekolah, berteriak kencang di depan pintu kelas Muti. Muti yang sedang asyik makan kacang, menoleh tetapi tidak beranjak dari duduknya. “Ke mana?” “Makaaannn!! Ayoookk buruuu, gue lapeeer.” Muti bangkit dengan berseri-seri dan meninggalkan kacang Sukro-nya yang masih separuh untuk Sandy, cowok gendut yang duduk di belakangnya. Makan gratis selalu membangkitkan gairahnya!! “Mut, gue mau curhat,” ucap Acha begitu mereka duduk di bangku kayu tempat bakso paling enak di SMU Persada Bangsa mangkal. Muti memutar bola matanya. Sudah hapal jenis curhat apa yang akan diutarakan Acha. Pasti itu soal cowok. Dan cowok itu tidak lain pasti… “Kenapa lagi?” Tanya Muti untuk memastikan jika tebakannya benar. Acha memanyunkan bibirnya. “Masa Damar nolak ajakan nonton gue.” Damar Wisnu Ardhika Widjaya. Dia adalah pujaan di Persada Bangsa. Cowok itu memang tidak setampan Bintang, bahkan menurut Muti, Damar itu standar, tetapi tetap saja banyak cewek di sekolah mengidolakan dia. Damar tinggi, meskipun berbadan kurus, tetapi masih enak dipandang, jago basket, anak PA, dan berduit. Walaupun tidak terlalu pintar, tetapi empat poin lainnya sudah menutup kekurangan itu. “Ya udah sih nonton sama yang lain aja.” Mata Muti berbinar saat bakso pesanannya ada di hadapannya. Lima bulatan daging itu membuatnya hilang akal. Bakso adalah kelemahannya. “Gue maunya sama Damar, Marmuuut!” Acha kembali bersungut-sungut. “Ck! b**o lu, Cha. Ajak aja tuh si Pandu. Bilang biar dia ngajak Damar, terus lo ngajak temen cewek lo. Pandu nggak mungkin nolak gratisan.” Mata Acha berbinar. “Aaahh!! Marmut gue emang cerdaaaaas!!” Selanjutnya, Acha melupakan baksonya dan malah sibuk membuat janji dengan Pandu. Tentu saja itu berkah bagi Muti karena dia mendapatkan satu lagi mangkok bakso gratis. “Trus gue ngajak siapa, Mut?? Elo aja ya?” Muti menoleh dari keasyikannya mencabik bulatan bakso. “Ogah! Gue sibuk.” “Muuutt, pleaseeeee!!” Acha mengedip-ngedipkan matanya penuh harap. “Gue mau anter Langit nyari buku.” Malam nanti, memang dia sudah berjanji pada adiknya itu untuk mencari komik kesukaan Langit. Itu jauh lebih baik baginya daripada harus duduk di bioskop. “Ah, lo nggak asyik. Pandu udah mau nih!” “Tuh ajak dia,” Muti menunjuk dengan dagunya ke arah pintu kantin. “Aaahh!! Lo emang cerdas. Carlaaaa, sinii!!” Dan lagi, Muti mendapatkan satu lagi mangkuk bakso gratis. ..... Mut, pulang bareng gue yuk! Muti membaca satu pesan yang masuk di tengah-tengah heningnya pelajaran terakhir. Sejarah di jam terakhir berarti jam tidur siang bagi anak-anak. Ditambah lagi, guru mereka yang sudah tua itu senang sekali bercerita. Alhasil, jam terakhir di hari Jum'at selalu sunyi senyap tanpa kegaduhan. Gue dijemput Nyokap. Nyokap minta ditemenin belanja. Gue anterin deh belanjanya. Tapi pulang dulu, pinjem mobil Bokap. Ih nggak usah, Dam. Nyokap gue kalo belanja kaya orang lupa ingatan. dasar anak durhaka lo! Ntar malem ikut nonton kan? Liat ntar deh. Gue kan orang sibuk Kalo lo nggak ada, gue pulang. Muti memandangi pesan terakhir Damar dan tidak berniat untuk membalasnya. Bukannya apa-apa, dia benci gelap dan tidak ada satu pun temannya, yang tahu tentang hal itu termasuk Damar. Karena itulah dia tidak pernah mau diajak nonton bioskop. Lebih asyik nonton di rumah sambil makan kacang telur buatan ibunya. “Marmut, besok jadi ya!” Agam, sang ketua kelas, menepuk punggungnya pelan. “Iya, jangan kesiangan lagi lo kayak minggu lalu!” Agam menghormat layaknya serdadu. “Siap, Bos!! Jam tujuh pagi gue jemput ya!” Muti meraih ranselnya dan keluar dari kelas. Ibunya sudah dalam perjalanan ke sini. Sebenarnya dia lelah, tetapi sebagai anak perempuan satu-satunya, dia merasa wajib menemani ibunya belanja. Sebuah lengan kurus tersampir di bahunya. Muti sudah bisa tahu siapa pemilik tangan itu. “Bau ah! Turunin!” Muti mengendikkan bahunya. Damar tertawa dan semakin mendekatkan ketiaknya ke wajah Muti. “Damaaar!! Anjrit lo keringetan!!” Muti menyentak tangan Damar dan menutup hidungnya. Cowok ini selalu iseng padanya seperti itu. Muti mengenal Damar sejak mereka SMP. Sama seperti saat ini, Damar saat SMP juga selalu menjadi idola. Bahkan sepertinya sejak dulu, mungkin hanya Muti yang tidak tergila-gila padanya. Apalagi dulu Damar bersekolah di yayasan milik keluarga Widjaya, jadi semakin banyak cewek mengidolakannya. Ketika lulus SMP, Muti memutuskan untuk mendaftar di sekolah lain, bukan melanjutkan di yayasan milik keluarga Damar. Cowok itu juga berkata tidak akan sekolah lagi di sana. Namun, yang tidak Muti sangka, cowok itu memilih sekolah yang sama dengannya. “Nyokap lo mana?” Tanya Damar saat mereka sampai di depan gerbang sekolah. Beberapa cewek melambai genit pada Damar. “Di jalan,” jawab Muti sambil duduk di bangku semen di samping pos satpam. Damar ikut duduk di sampingnya. “Lo ngapain ikut duduk?” Tanya Muti sambil melirik temannya itu. “Nungguin lo, kali aja lo bohong sama gue.” Muti memutar bola matanya. “Ya kaliiii, gue bohong terus berjemur di sini sampe lo pulang.” Damar terkekeh dan mengeluarkan jaketnya dari tas. “Mau make jaket gue biar nggak kepanasan?” Muti menggeleng. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Damar tampak aneh hari ini. Biasanya cowok itu tidak pernah perhatian seperti ini padanya. Pasti nih cowok ada maunya. “Mut, lo ikut kan ntar malem?” Muti mengangkat bahunya. “Lihat ntar aja deh. Gue udah janji sama Langit mau nemenin dia.” “Ke mana?” “Kepo! Dah ah, gue balik. Tuh nyokap udah nyampe. Daaahh, Damdam!!” Muti melambai dan masuk ke dalam taksi yang membawa ibunya. Sempat dilihatnya Damar yang masih menatapnya hingga taksi yang ditumpanginya menjauh dari sekolah. “Itu Damar ya? Makin ganteng ya makin hari,” ucap ibunya sambil menatap Damar dari balik jendela mobil yang melaju menjauh. Muti tertawa. Selain menjadi idola cewek-cewek, Damar juga menjadi idola para Mamah-Mamah. Banyak ibu yang ingin menjadikannya menantu. “Kamu itu ya cari pacar, Mutia. Masa udah kelas 2 SMU nggak punya pacar. Emang nggak ada yang naksir kamu?” Dalam hatinya, Muti ingin sekali menjawab jika memang tidak ada yang menyukainya. Akan tetapi, itu hanya akan membuat Mama semakin rewel. “Ogah ah, Mah. Ngapain punya pacar. Nggak ada untungnya.” “Nggak ada untungnya gimana? Kan kamu bisa diantar jemput tiap hari, jadi Mamah ngirit ongkos.” Muti mencibir. “Nah, selain Muti nggak mau Mamah kebanyakan duit karena nggak ngasih ongkos, Muti juga nggak mau punya pacar karena ntar yang traktir Muti makan cuma pacar Muti terus. Nggak asyik.” Ibunya menjitak kepalanya. “Dasar kamu, ajaran siapa sih begitu.” “Ajaran Mamah kan. Biar ngirit ongkos.” Muti tertawa riang. Berbeda dengan teman-temannya yang mulai banyak yang berpacaran, Muti memang belum ingin mencari pacar. Lagipula, siapa yang mau menjadi pacarnya. Dia tidak cantik, tidak pintar, dan tidak populer. Sudah cukup baginya untuk menjadi biasa-biasa saja. Lebih dari cukup.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook