Sugih, Suami Kere

1589 Words
“Mas, beras kita habis.” Mirna memperlihatkan gentong tempat beras yang sudah kosong. Sudah sejak kemarin gentong itu kosong, hanya saja dia tidak tega memberitahu suaminya. Kebetulan dia kemarin juga ngobeng di pesta hajat salah satu tetangga hingga tidak perlu menanak nasi dan memikirkan lauk pauk untuk makan keluarga mereka. Sugih berjalan mendekat, seulas senyum dia berikan pada istri tercinta yang sudah setia menerima dia dengan segala keterbatasan yang dimiliki. “Ini upahku kemarin. Pak Margono baru bayar dua hari dulu, Mi.” Tiga lembar uang lima puluh ribuan beralih ke tangan Mirna dengan disertai senyum dan ucap syukur yang keluar dari bibir manis wanita yang sudah sepuluh tahun hidup berumah tangga dengannya dengan segala kesulitan ekonomi yang kerap menimpa mereka. Namun, tak pernah ada keluhan yang keluar dari bibir Mirna. Bagi Mirna, Sugih adalah sosok suami yang bertanggung jawab. Selalu bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sugih hanya seorang buruh tani berusia 35 tahun. Setiap hari dia bekerja di sawah atau ladang milik para tetangga mereka. Upah yang Sugih dapatkan hanya 75 ribu hingga seratus ribu, tergantung dari lamanya dia bekerja perhari. Kadang dia pulang setengah hari, tapi seringnya senja datang pun dia masih bergelut di sawah orang. Sugih tak pernah sedikit pun mengeluh akan hidupnya karena sedari kecil dia memang sudah terbiasa hidup dengan keterbatasan ekonomi. Sugiharto yang kerap dipanggil Sugih adalah seorang yatim piatu sejak kecil yang sudah terbiasa menahan haus dan lapar. Dengan tinggi 165cm dan berat enam puluh kilogram, kulitnya gelap karena sering terpanggang sinar matahari. Wajah Sugih tak berkumis ataupun jambang, bola matanya bulat memanjang dengan hidung greek nose dan rahang wajahnya menggambarkan dia pria yang selalu gigih berusaha meskipun keadaan tidak pernah berpihak baik padanya. Sugih memiliki istri bernama Mirna Meriam dan memiliki seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang bernama Aryanto. “Mas … aku beli beras dulu buat masak pagi ini,” pamit Mirna dengan mencium punggung tangan suaminya. “Aku langsung ke sawah ya Mi … hari ini pak Margono memintaku mengairi sawahnya.” “Loh, Mas belum sarapan ... aku belum sempat beli apapun karena persediaan uang kemarin habis. Tadinya mau ngutang ke warung ... eh di warung ada Emak. Jadi, aku cuma numpang duduk di sana tanpa beli apapun. Aku nggak mau Emak kembali nesu-nesu ngehina Mas Sugih kalau tahu aku ngutang di warung,” papar Mirna yang membuat Sugih menarik tangan istrinya untuk duduk di pangkuannya. “Maafkan aku sayang ... maaf karena membuatmu harus hidup susah bersamaku. Maaf belum bisa membuat kamu dan Arya bahagia. Semoga tahun ini keberuntungan berpihak pada kita. Semoga aku bisa kayak si Sulton yang nemu jalan usaha dan langsung kaya.” “Amin,” sahut Mirna dengan senyum manis yang terkembang . Cup. “Aku mencintaimu, Sayang,” ucap Sugih sembari mengecup singkat bibir sang istri. Namun, Mirna justru mengalungkan kedua lengannya di leher sang suami. Mirna kini membalik badannya dan duduk berhadapan dengan Sugih di atas pangkuan suaminya. “Mi katanya mau beli ... hmmmmppphhhfttt.” Bibir Mirna membungkam dan menghentikan kalimat suaminya. Lumatan dan isapan tak henti menyerang Sugih hingga membuat dia mengerang frustasi karena serangan sang istri yang tidak dia prediksi sebelumnya. “Sssssttt ... Sayang aku nggak kuat kalau kamu seperti ini,” desah Sugih dengan hasrat yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dia berdiri menggendong istrinya untuk dibawa masuk ke kamar. Mereka memang sudah biasa menggoyang ranjang di pagi hari sebelum Sugih berangkat menuju sawah untuk bekerja sebagai kuli. Mirna selalu pandai melayani Sugih setiap saat ada kesempatan untuk bercinta dan saling memuaskan. Mirna sudah dibaringkan di atas ranjang, sorot matanya sudah dipenuhi napsu birahi yang mengharap suaminya segera memainkan ronde cepat pagi ini sebelum Arya kembali dari langgar tempatnya belajar silat setiap fajar sebelum berangkat ke sekolah. Sugih langsung menindih istrinya, tangannya merangkum gunung kembar Mirna yang padat berisi dan selalu membuat Sugih merasa nyaman menyusu padanya setiap malam. “Uuuuhhhh ... Mas geli ... aku mau Mas,” rengek Mirna dengan mendesah manja. “Mirna ... Mirna.” Gedoran suara pintu depan membuat Mirna langsung mendorong Sugih hingga jatuh tersungkur di bawah ranjang. “Mas ... maaf. Itu suara Emak.” Mirna langsung keluar kamar sebelum Tuti, Emaknya merangsek masuk ke dalam rumah dan mendapati dirinya sudah bergelut di ranjang sepagi ini. Sugih yang terjatuh pun langsung bangun menyusul sang istri setelah kembali memakai kaos panjang seragam yang selalu dia pakai ke sawah. “Mirna ...,” teriak Tuti yang kini sudah membuka pintu rumah dan melongok ke dalam rumah anaknya yang hanya terdiri dari empat petak saja. “Emak ... tumben pagi-pagi ke sini. Ada apa Mak?” tanya Mirna dengan napas memburu. “Emak nggak boleh ke sini pagi-pagi? Kamu habis ngapain sih napas ngos-ngosan gitu.” “Anu, Mak habis ngangkat ember baju buat dijemur,” bohong Mirna yang tidak mungkin menjawab kalau kedatangan sang ibu mengganggu aktivitas ranjangnya. “Suamimu yang kere itu mana? Masa dia tega nyuruh kamu ngangkat ember sampai ngos-ngosan. Emak kan sudah bilang, kamu cerai saja sama Sugih. Banyak kok pria kayak yang masih mau sama kamu. Hidup miskin terus apa enaknya. Modal ganteng, badan kekar saja nggak cukup buat kamu bahagia Mir,” oceh Tuti yang tidak hanya sekali dua kali meminta Mirna untuk bercerai dengan Sugih. Sugih keluar dari kamar, netra Tuti pun langsung memandang nyalang ke arah menantunya. “Kerjamu itu apa Gih. Istrimu suruh angkat ember jemuran, kamu baru keluar dari kamar. Keterlaluan kamu! Sudah miskin, malas, semena-mena lagi sama Mirna. Hidup kamu kok nggak pernah bisa bahagiain anak Emak!” omel Tuti yang selalu menginjak-injak harga diri Sugih. “Maaf, Mak.” “Maaf ... maaf ... maaf kamu itu nggak ada harganya. Kerja yang bener, buat Mirna bahagia. Jangan jadi kuli terus. Ke sawah cuma jadi buruh, kapan kayanya! Ini Emak mau ngasih nasi dari Yunah yang kemarin hajatan. Katanya terima kasih kamu sudah bantuin dia.” Tuti meletakan plastik kresek putih di meja, lalu langsung berbalik keluar dari rumah anak dan menantunya setelah puas mengeluarkan ocehan dan omelan pada Sugih. “Mas ... maafkan Emak,” sesal Mirna dengan mengusap pundak suaminya. Dia hanya seorang anak yang harus menjaga bakinya pada Tuti, hatinya tidak menerima semua cemoohan Tuti pada suaminya. Hanya saja setiap kali kalimat pembelaan keluar dari mulutnya. Tuti bukan malah berhenti mengomel, tapi dia malah semakin marah dan murka pada Sugih. Hal itu lah yang membuat Mirna memilih untuk diam saat emaknya melontarkan ujaran yang menghina sang suami. “Sudahlah sayang, Emak benar kok. Aku memang belum bisa membahagiakan kamu dan Arya. Maafkan aku ya,” ungkap Sugih dengan nada sesal yang tak pernah bisa dia sembunyikan saat selalu diingatkan kalau bersamanya hidup Mirna malah menderita. “Mas jangan ngomong begitu ... aku bahagia bisa menjadi istri Mas ... meskipun hidup kita serba pas-pasan, tapi cinta dan perhatian Mas buat aku dan Arya selalu melimpah. Maafkan Emak mas ....” Tubuh Mirna berguncang dalam pelukan suaminya. “Loh ... Mimi sama Bapak kok pagi-pagi pelukan sih,” celetuk Arya yang baru datang dari langgar. Mirna secepat kilat langsung mengusap air matanya karena tak ingin Arya mendapatinya menangis pagi ini. “Mimi kamu matanya kelilipan, Bapak tiupin malah mewek,” jawab Sugih yang sama-sama berusaha menutupi tangis istrinya. “Sudah latihan silatnya?” tanya Sugih sembari duduk di kursi kayu hasil buatan tangannya. “Sudah Pak. Wah ada nasi ... aku lapar nih, makan yuk Mi ... Pak.” Arya mengusap perutnya. Rasa lapar memang kerap menderanya setelah pulang latihan silat, hanya saja biasanya dia masih bisa menahan kalau tidak terlihat ada makanan di atas meja. Bukan hanya Mirna yang sudah terbiasa menahan lapar, Arya juga terkadang harus menahan keinginannya untuk jajan ini itu karena dia sadar kalau Mimi dan Bapaknya bukanlah orang berkecukupan. “Mimi ambil piring dulu, Arya sama Bapak cuci tangan ya ... ini nasi kiriman dari Bi Yunah cukup untuk kita bertiga,” ujar Mirna sambil berjalan ke arah dapur. Tak lama berselang dia sudah kembali dengan empat buah piring dan sesendok garam yang ditaruh di piring paling atas. Garam selalu menjadi lauk tambahan saat nasi yang tersedia melimpah, sedangkan lauk tidak mencukupi untuk mereka bertiga. Mirna membagi nasi ke dalam tiga piring, setelahnya dia juga menuangkan beberapa lauk yang dijadikan satu plastik. Piring keempat berisi lauk bihun goreng kecap, tiga potong kecil rendang ayam dan juga oreg tempe. “Yuk makan,” ajaknya setelah membagi ketiga potong ayam pada tiga piring berisi nasi. “Kata Pak ustadz, baca doa dulu bu sebelum makan,” kata Arya menghentikan gerakan tangan Sugih dan Mirna yang sudah akan memasukan suapan pertama pada mulut mereka. “Kamu di langgar belajar ngaji juga sama ustadz Latif?” Arya menjawab pertanyaan sang bapak dengan anggukan kepala. Langgar di ujung desa itu adalah langgar pertama yang didirikan di desa mereka. Di sanalah suara adzan pertama kali didengar. Warga dusun Situnggalih yang sebelumnya memang tidak mengenal agama yang dibawa seorang yang dipanggil Kiyai Latif, tidak ada yang pernah datang ke sana. Baru setelah Kiyai membuka latihan silat untuk anak-anak, langgar itu terlihat hidup setiap pagi dan petang. Entah apa yang dipelajari Arya selama di sana. Sugih, Mirna, bahkan warga lain yang anaknya pergi ke langgar pun tidak tahu karena yang terpenting langgar itu gratis dan selama belajar di langgar, perilaku anak-anak mereka memang terlihat lebih santun. “Yuk, Pak, Mi, baca Basmalah dulu. Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Arya sebelum memasukan makanan ke mulut mereka memulai sarapan setelah mengucapkan basmalah. Sarapan pagi bersama yang sangat jarang mereka lakukan karena Sugih biasanya sarapan di rumah Margono, begitupun Arya yang biasa sarapan di sekolahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD