Nyalah

1658 Words
“Bapak … kapan aku bisa beli sepeda kayak punya Tono?” tanya Arya sepulang bermain dari rumah Tuti dan Parjo. Mereka memang pernah menjanjikan untuk membelikan Arya sepeda baru usai dia dikhitan. Namun, janji hanyalah janji. Harga sepeda nyatanya belum mampu untuk dibeli Sugih dan mirna. “Alah, mana bisa bapakmu beli sepeda kayak punya Tono. Bapakmu kere,” sambar Tuti yang berjalan mengikuti Arya. “Emak …,” desis Mirna, tak ingin Emaknya terus menghina keadaan keluarganya yang menurut Tuti berada di garis kemiskinan. Mirna memang hanya bisa diam saat Tuti menghina Sugih di depannya, tapi kalau hinaan untuk sang suami dilontarkan di depan anak mereka. Mirna selalu berusaha untuk menghentikannya. “Kamu belain suamimu, kamu mau salahin Emak? Memang begitu kenyataanya, Sugih itu kere dan melarat mana mampu dia beliin Arya sepeda gunung kayak punya si Tono.” Mirna menghembuskan napasnya, percuma saja dia mendebat Tuti yang tidak pernah puas melancarkan hinaan untuk suaminya. Sugih sendiri sudah langsung masuk ke dalam rumah karena tidak ingin terus-terusan mendengar ujaran kebencian Tuti yang selalu menghinakan dirinya. Dengan segala kesulitan ekonomi yang dialami Sugih dan Mirna. Caci maki dari mertua dan para tuan tanah tempat dia bekerja memang sudah sangat kebal didengar telinga Sugih. Namun, Sugih tidak sanggup menahan amarahnya kalau siapapun menghina dirinya di depan Arya. “Arya, kamu masuk sama Bapak ... Mimi mau ngomong dulu ya sama Emak,” suruh Mirna. Arya pun mengangguk dan langsung berlari menyusul Sugih. “Mak ... sekarang Emak bisa hina Mas Sugih dan aku sepuas Emak, tolong jangan di depan Arya,” mohon Mirna penuh harap. “Terserah bac*tmu ngelawan mulu sama Emak. Terus saja belain suamimu yang kere,” teriak Tuti sebelum berbalik pulang meninggalkan Mirna. Sore itu pun menjadi awal dimana Arya terus aja merengek meminta sepeda baru seperti milik Toni dan teman-temannya. Sugih hanya mampu untuk mengiyakan dan berjanji akan bekerja serajin mungkin untuk bisa membelikan sepeda untuk Arya. Janji yang sebenarnya entah kapan bisa dia tepati karena warga dusun Situnggalih harus menuju pusat kecamatan yang letaknya cukup jauh untuk membeli sebuah sepeda. Bukan hanya harga sepeda yang harus dipikirkan Sugih, tapi transportasi ke sana pun harus dia perhitungkan. Sementara hasil kuli hariannya hanya pas untuk memenuhi kebutuhan harian saja. ________________I.S_______________ “Gih ... sini duduk, aku bawain es kelapa muda nih,” teriak Sulton melambaikan tangan pada sahabatnya yang masih sangat betah hidup pas-pasan sebagai kuli. Kemarin dia mendengar ocehan mertua Sugih yang begitu seringnya menghina sang menantu bukan hanya di hadapan Sugih dan Mirna langsung. Namun, juga di hadapan para tetangganya. Sulton yang merasa nasibnya dulu tak jauh beda dengan Sugih pun merasa miris mendengar sahabatnya dihina hanya karena tidak mampu membelikan sepeda buat anaknya. “Ton, keren banget bajumu sekarang. Sudah pensiun jadi buruh tani jadi tambah gagah kamu,” puji Sugih pada sahabatnya Sulton. Sudah dua tahun ini Sulton tak lagi menjadi buruh tani, profesi yang dulu dia geluti bersama Sugih. “Aku bosan dengerin caci maki dari ibu mertuaku, gara-gara anaknya hidup sengsara dinikahi aku.” Situasi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Sugih. Mereka senasib. Hanya bedanya kini keadaan ekonomi Sulton sudah berangsur membaik. Awalnya, Sulton memilih untuk menjadi penjual es doger keliling. Dalam setahun dia bisa membangun toko kelontong di desa Situnggalih, bahkan rumah reot Sulton pun sudah dibangun menjadi rumah permanen yang cukup megah untuk ukuran rumah di pedesaan. “Aku ya masih kayak gini-gini saja. Apalagi Arya terus merengek minta sepeda, tambah parah lah cacian Emak padaku,” aku Sugih sembari menyedot es kelapa yang dibawakan Sulton. “Makanya aku ke sini. Emak si Mirna itu ngomongin kamu kemana-mana. Aku prihatin, aku ini pernah ada di posisi kamu. Setiap hari mertuaku ngomel mulu. Istriku ya sama kayak si Mirna, cuma diam saja karena memang mertua kita itu kayaknya jenis yang sama. Suka ngomel dan nggak suka dibantah anaknya.” “Aku ini setiap hari di sawah, Ton. Aku tidak tahu Mak Tuti ngomongin aku sama orang-orang juga. Aku ini memang miskin, hanya saja rasanya nggak terima kalau harga diriku terlalu diinjak-injak seperti itu.” Sugih kembali menyedot es kelapa di tangannya. Hilir mudik para petani dan buruh yang pulang dari sawah pun kerap menyapa mereka yang memang duduk di pinggir jalan. “Kamu ikut aku saja, Gih,” bisik Sulton di telinga Sugih. Sulton melirik ke sekeliling mereka untuk memastikan di gubug tempat mereka duduk sekarang tidak ada orang lain yang bisa mendengar percakapan mereka. Gubug di pinggir jalan, tempat Sugih dan Sulton sering menghabiskan waktu bersama kala masih sama-sama bekerja menjadi buruh Margono. Di seberang jalan, ada sebuah pohon asam yang rindang, tepat di tikungan jalan yang akan mengarah ke hutan Leuweung Suwung. Sebelum pulang gubug inilah yang jadi tempat mereka berteduh menatap hilir mudik para petani yang juga mulai pulang sebelum petang menjelang. “Ikut kamu dagang? Mana aku punya modal, Ton,” aku Sugih menanggapi ajakan Sulton. “Bukan itu maksudku, Gih.” “Terus ikut kamu kerja apa? Dagang es doger?” tanya Sugih yang masih ingat awal kesuksesan dari sahabatnya berawal dari jualan es doger. “Mana ada jualan es doger saja bisa kayak mendadak kayak aku,” ringis Sulton mengakui sesuatu yang justru membuat sahabatnya semakin bingung. “Lah, bukannya setahu aku kamu itu jualan es doger saat berhenti jadi kuli. Makanya sekarang kamu sukses karena es doger kamu kan laris manis di pasaran. Memangnya kamu ada kerjaan lain gitu selain jual es doger?” tanya Sugih yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Kamu terlalu polos, Gih. Aku bisa gini karena aku nyalah. Bukan karena jualan es doger,” beber Sulton yang mengakui sebuah rahasia yang selama ini dia simpan. Bola mata Sugih yang bulat dan panjang pun terlihat melebar karena terbelalak kaget mendengar pengakuan sahabatnya. “Nyalah? Nyalah bagaimana maksudmu?” selidik Sugih dengan penasaran. Tidak sekali pun dia berpikir kalau sahabat baiknya itu Nyalah dalam artian bersekutu dengan makhluk gaib untuk mendapatkan kekayaan, orang-orang di desa Situnggalih menyebut istilah tersebut dengan Nyupang. “Aku pelihara Tuyul,” bisik Sulton di telinga Sugih. “Kamu Nu -” “Sssttt, jangan keras-keras, Gih,” potong Sulton dengan meletakan telunjuknya di bibir Sugih. “Jaman sekarang kalau nggak gitu susah, Gih. Mana bisa aku kayak sekarang, paling juga masih jadi bahan olok-olokan mertua kayak kamu. Aku nggak mau terus dihina, lagian mau nyalah kek, mau apa kek ... mertua kita itu maunya kita kaya. Bukan terus hidup miskin seperti kamu sekarang. Coba deh kamu lihat aku sekarang ... Emaknya si Nesi mana pernah ngehina aku lagi. Mertuaku sekarang muji aku mulu. Aku kaya, uangku banyak ... kerja bersih di toko. Mereka mah hanya mau seperti itu. Tidak mau tahu usaha kita sekeras apa. Aku ya capek jadi orang bener, tapi terus terhina. Makanya aku milih kayak gini,” aku Sulton tanpa tedeng aling-aling. “Ah, aku moh ikut-ikutan begitu. Serem,” gidik Sugih. “Serem apanya, Gih. Belum juga nyoba kamu mah sudah ngomong serem.” “Lah kalau kayak kamu itu kan si itumu jadinya nyusu sama Nesi. Aku ya serem berbagi s**u sama tuyul. s**u si Mirna itu bulat, gede, kenceng. Aku moh ah bagi-bagi sama begituan. Serem.” Sugih kembali bergidik membayangkan berbagi dua gunung kembar milik Mirna pada makhluk tak kasat mata yang akan membantu usahanya biar cepat kaya seperti Sulton. “Wualah ... kalau kamu banyak duit kan bisa cari s**u yang lain, Gih. Di kecamatan itu banyak warung kopi yang pelayannya aduhai. Kamu mah dasar nggak mau sukses.” “Bukan begitu ... aku kasihan Ton sama Mirna, nanti aku yang enak. Tetap saja Mirna yang sengsara.” “Kalau begitu kamu bisa nyalah lainnya, kan banyak tuh kayak yang babi ngepet, siluman ular ... lah kamu tinggal pilih saja satu.” “Ya ampun Serem banget, Ton. Bayanginnya saja aku sudah merinding,” gidik Sugih mengusap kedua lengannya yang mulai meremang. Apalagi jalanan sudah tampak sepi sehingga pohon asam di depannya tampak leboh menyeramkan saat menjelang gelap. “Kamu pikir harta pak Margono yang ngarat-ngarat itu bukan hasil nyalah apa.kamu serem-serem mulu, mau jadi b***k dan kulinya Margono terus.” Sulton menekan suaranya, dengan telunjuk mengarah ke hamparan sawah di depan mereka yang kebanyakan adalah milik dari Margono. “Ngaco kamu, jangan asal tuduh,” hardik Sugih. “Masa iya semua orang kaya di Situnggalih semuanya hasil nyalah,” elaknya yang tidak mau berburuk sangka dengan kekayaan para juragan atau tuan tanah di Situnggalih, Margaluyo atau desa-desa sekitaran hutan Leuweung Suwung. “Terserah lah, aku cuma mau ngajak kamu buat hidup enak! Ingat, ini cuma kamu yang tahu. Jangan sampai geger kalau aku melihara Tuyul,” pesan Sulton sebelum mengakhiri obrolan mereka. Mereka berjalan pulang setelah cukup lama mengobrol. Sungguh, kalau pun benar apa yang dikatakan sahabatnya. Bahwa sebagian orang kaya di lingkungan mereka itu nyalah, Sugih tetap pada pendiriannya. Dia tidak sedikit pun memiliki niat bersekutu dengan makhluk tak kasat mata seperti yang beberapa orang lakukan. Dia memang sering mendengar kalau pesugihan atau nyupang, bersekutu dengan makhluk gaib sudah bukan hal tabu lagi di Situnggalih dan sekitarnya. Di wilayah lain pun cara pintas untuk lekas kaya seperti ini memang banyak dipilih orang-orang yang hidup susah seperti dirinya dan Sulton. Banyak orang yang memilih jalan gaib untuk mencapai kesuksesan dunia dengan cara instan.tanpa memikirkan akibat ke depannya. Sulton, sahabatnya yang dulu bekerja dengannya pun kini berubah jadi juragan toko kelontong yang kaya. Sulton pun tadi terang-terangan mengajak Sugih untuk mengikuti dirinya memelihara tuyul agar tidak lagi hidup susah di dunia. Saat ini Sugih masih mampu menolak, dia tidak ingin hidupnya bergelimang harta, tapi dengan cara yang salah. “Gih ... Leuweung Suwung itu punya dedemit cantik yang jadi pemimpinnya. Coba lah kamu cari Si Nyai pemimpin mereka itu biar nyalahmu nggak serem,” saran Sulton sebelum langkah mereka berpisah di persimpangan jalan. “Aku akan pikirkan kalau nyalahnya enak ya Ton,” kekeh Sugih asal tanpa dia tahu si Nyai mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD