Nyai Saras, Penguasa Leuweung Suwung

2161 Words
Deru napas Sugih berpacu seiring dengan desahan Mirna yang terus saja memuji Sugih yang selalu perkasa membuatnya melayang berkali-kali. “Mas … teruskan … aku mencintaimu Mas, tolong lebih cepat lagi …. Aaaaaahhhhh.” Mirna kembali mengerang. Malam ini sudah tiga kali Sugih membuatnya menyemburkan lahar nikmat yang kini membuat Mirna terkulai di d**a Sugih dengan mata yang terpejam. Badannya sudah tidak lagi menyisakan tenaga sedikit pun setiap kali melayani suaminya yang selalu bertenaga ekstra menggoyang ranjang mereka. “Mir … mana aku rela berbagi s**u montokmu dengan para tuyul. Aku lebih baik hidup miskin dari pada tidak bisa lagi bermain bebas dengan kedua susumu Mir,” bisik Sugih dengan jemari yang masih betah bermain di sekitar d**a Mirna yang tergeletak tanpa ditutupi apapun. Dia memang tidak akan membiarkan Mirna memakai penutup d**a saat malam. d**a Mirna adalah obat lelah dan jamu kuat untuk Sugih yang selalu membuat staminanya terjaga meskipun setiap hari dia harus berjibaku dengan lumpur di sawah. “Kalau pelihara tuyul yang ada aku peyot Mas. Mas Sugih malah cari s**u lain buat diremas seperti ini,” sahut Mirna. Matanya sudah terpejam, tapi telinganya masih menangkap jelas gumaman Sugih. “Aku tidak akan setega itu Mir, tidurlah … aku masih mau mimik susumu. Ini sungguh menggemaskan, sia selalu kenyal dengan ujungnya yang selalu berdiri tegak menantang.” Sugih meremas sebentar kedua d**a Mirna sebelum dia meletakan kepala Mirna di atas bantal, kini dia berbaring miring dan menenggelamkan kepalanya ditengah dua gunung kembar yang selalu membuatnya tertidur nyenyak. Layaknya bayi besar, bibir Sugih langsung mencecap p****g s**u Mirna, menyedotnya dengan perlahan dan sesekali memainkan lidahnya di areola Mirna. Sementara jemarinya juga tak tinggal diam, mereka sibuk meremas d**a dan p****g Mirna yang lainnya. Mirna sudah teramat lelah dengan permainan panas mereka malam ini, seperti malam-malam sebelumnya dia akan terlelap dan membiarkan dirinya telanjang hingga pagi menjelang dan tidak pernah tahu sampai kapan suaminya bermain dengan kedua dadanya. Mirna hanya akan mendapati tangan Sugih merangkum dadanya saat pagi hari. Perlahan Mirna melepas tangan kanan Sugih yang memeluknya begitu posesif. Dia bangun dan memunguti baju yang berserakan di lantai, kemudian berjalan keluar setelah melilitkan handuk di badannya. Jam setengah lima pagi, seperti biasa sayup-sayup suara terdengar dari langgar tempat Arya latihan silat dan saat itulah Mirna pasti mendapati Arya sudah rapi dan bersiap pergi ke langgar. “Mi … Arya berangkat ya, kalau bapak bangun, Mimi tanyakan sama bapak kapan sepedaku datang?” tanya Arya sembari meraih tangan kanan Mirna untuk dicium. Sebuah kebiasaan baru yang selalu Arya lakukan setiap hendak pergi kemana pun. Mencium tangan Mirna dan Sugih, serta mengucapkan sebuah salam yang tidak dimengerti artinya oleh Mirna. “Nanti Mimi tanyakan, hati-hati dan jangan pulang terlambat,” pesan Mirna melepas kepergian Arya. “Baik Mi. Assalamualaikum.” Arya berlari keluar rumah tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal langit masih terlihat gelap. Suasana di Situnggalih masih sepi senyap, belum ada satu pun warga beraktivitas di luar rumah. Hanya kokok ayam jantan yang saling bersahutan menemani langkah Arya dan anak-anak lain menuju langgar. Anak-anak yang tanpa dosa dan baru belajar mengenal Tuhan mereka dari seorang guru yang dipanggil ustadz Latif oleh para tetangga terdekatnya di Situnggalih. Tak ada satu pun warga yang tahu dari mana asalnya sang ustadz dan keluarganya yang membeli tanah kosong di ujung desa dan membangun sebuah rumah minimalis disertai langgar yang menjadi tempat berlatih silat anak-anak desa Situnggalih yang masih berhati bersih dan mudah untuk diajak berbuat kebaikan. Setelah kepergian Arya, Mirna langsung melaksanakan kewajiban rutinnya, mandi dan mencuci baju, baru kemudian Mirna menanak nasi dengan menggunakan kayu bakar yang sering dibawa Sugih saat pulang dari sawah. Beruntung sore nanti Mirna diminta tolong untuk bantu-bantu di rumah Nasuha yang akan mengadakan upacara nuju bulan untuk putrinya, sehingga pagi ini Mirna hanya masak untuk sarapan dan makan siang saja. Dia bisa menghemat beras dan uang untuk membeli lauk. “Mi … Arya belum pulang?” tanya Sugih menghampiri Mirna yang masih duduk di depan tungku api. “Belum Mas, tadi dia pesan sama aku buat nanya kapan sepedanya datang. Sepertinya Arya benar-benar menginginkan sepeda itu Mas. Selain buat bolak-balik sekolah, dia juga pernah bilang kalau semua anak yang ke langgar itu menggunakan sepeda, hanya dia yang berjalan kaki, Mas,” beber Mirna menceritakan ulang keluhan yang pernah dia dengar dari Arya. “Aku juga ingin secepatnya membelikan sepeda buat Arya Mi … hanya saja kamu tahu sendiri kalau hasil kerjaku sehari hanya cukup untuk untuk sehari. Nanti cobalah aku minjam sama Sulton, siapa tahu dia berbaik hati meminjamkan aku uang untuk beli sepeda.” Sugih duduk di kursi kayu yang ada di dapur, di sana sudah ada segelas teh hangat yang selalu disiapkan Mirna setiap pagi. Teh manis hangat yang hanya ada saat Mirna memiliki stok gula dan teh, kalau dia kehabisan uang dan stok gula serta teh. Maka Sugih hanya disuguhi dengan air hangat biasa yang selalu diletakkan di kursi kayu yang berada di dapur mereka. “Kalau utang itu mesti dibayar Mas, nanti bagaimana kita bayar utangnya.” “Sudah lah Mi ... jangan pikirkan dulu, lagian kamu tahu sendiri kalau Sulton sekarang sudah kaya raya, rasanya kalau aku utang duit buat beli satu sepeda dan tidak bayar sampai satu tahun pun tidak masalah untuknya.” “Mas ... mas ... kamu pikir karena kamu bersahabat dengannya, Sulton akan ngasih duit begitu saja, mimpi kamu mas,” cibir Mirna dengan bibir mengerucut. “Sahabat ya sahabat, kalau masalah duit mah beda urusan. Sana saja Mas coba pinjam, aku tidak yakin Sulton akan memberikannya begitu saja,” sambung Mirna yang siap mengangkat kukusan dari dandang yang dia gunakan untuk menanak nasi. Sebuah tampah pengangen sudah siap di atas meja untuk digunakan Mirna mendinginkan nasi agar tidak cepat basi. “Ya sudah, aku pergi dulu ya Mi, pagi ini bapak kerja sendirian di sawah Pak Margono, makanya dia suruh bapak datang pagi-pagi untuk mengecek irigasi agar airnya tetap mengalir ke sawah.” “Lah, ini sudah matang nasinya, Mas tidak makan dulu?” “Tidak usah Mir, buat kamu dan Arya saja. Aku nanti ke rumah pak Margono dulu ambil mesin sedotan air, paling nanti sarapan di sana,” tolak Sugih yang memang sebisa mungkin menghemat beras dan uang untuk membeli lauk pauk agar Mirna bisa menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. “Ya sudah, hati-hati mas.” Cup. “Terima kasih Mir, aku mencintaimu,” bisik Sugih setelah mendaratkan sebuah kecupan di kening istrinya. Pagi ini dia kembali berangkat sebelum Arya kembali dari langgar. Sebenarnya bukan karena sang juragan Margono yang memintanya pergi pagi-pagi. Hanya saja Sugih memang sengaja menghindar dari Arya agar dia tidak kembali berbohong dan mencari aneka alasan saat Arya menanyakan sepeda untuknya. *** “Kalau cuma sepeda aku bisa belikan sepuluh sepeda terbaik untuk anakmu.” “Astaga, kamu siapa?” tanya Sugih dengan mengucek matanya agar dia yakin penglihatannya tidak salah. Matahari begitu terik, kini Sugih sedang beristirahat di bawah pohon asam yang terdapat di samping sawah Margono, pemilik puluhan hektar sawah di Situnggalih. Rindangnya pohon asam dengan disertai semilir angin membuat Sugih tak pernah absen untuk beristirahat di sana setiap harinya. Namun, siang ini dia dikagetkan dengan kemunculan wanita cantik yang sama sekali belum pernah dia lihat selama ini. Wanita cantik dengan busana ala dewi cina kuno berdiri tepat di hadapannya. Tingginya semampai, dengan rambut tergerai dan melambai diterpa angin. Matanya panjang dengan hidung mancung dan lurus. Bulu mata lentik dan kedua alis yang tebal menukik membuat dia terlihat cantik sempurna. “Katakan berapa sepeda yang kamu inginkan?” ulang si wanita saat melihat Sugih masih terpaku memindai dirinya yang baru pertama kali menampakan wujud di depan Sugih. ‘Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sedang memikirkan sepeda buat Arya.’ “Aku, bahkan tahu setiap keinginan yang kau ucapkan dalam hati.” Lagi-lagi Sugih terperangah kaget mendengar penuturan wanita cantik di hadapannya. “Kamu, bahkan bisa tahu isi hatiku. Siapa kamu sebenarnya?” tanya Sugih dengan badan yang mulai bergidik nyeri. Dia melirik ke kiri dan kanannya yang hanya terlihat bentangan sawah Margono yang luas. Sesekali memang ada sepeda motor yang lewat. Dari jauh dia juga melihat pekerja di sawah lain sedang istirahat. Namun, jaraknya terlalu jauh dengan pohon asam yang kini dia duduki. Siang ini biasanya Sugih ditemani Iwan dan istrinya Rukmini, rekan sesama buruh tani yang juga bekerja di sawah Margono. Namun, Iwan dan Rukmini hari ini tidak berangkat ke sawah karena sesuatu hal yang tidak Sugih ketahui sebabnya. Dan beginilah jadinya, dia merasa merinding sendiri melihat penampakan wanita cantik yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Panggil aku Nyai Saras Sugih, Aku pemilik istana Sarasehan, tempat kamu berteduh selama ini. Nyai Sarasehan, penguasa hutan Leuweung Suwung,” tawa Nyai Saras di akhir kalimatnya langsung membuat bulu kuduk Sugih berdiri. Dia teringat perkataan Sulton kemarin kalau pemimpin para dedemit di hutan Leuweung Suwung adalah wanita berparas cantik. Bukan hanya Sulton yang mengatakan hal itu, Sugih juga sering mendengar desas-desus tentang wanita cantik yang sewaktu-waktu muncul di tikungan asam yang kerap terjadi kecelakaan tunggal dan korbannya selalu saja berlumuran darah meskipun terkadang tidak sampai meninggal. ‘Ini kah Nyai Saras pemimpin para makhluk halus di Leuweung Suwung,’ batin Sugih dengan matanya yang terus memindai tubuh si Nyai dari ujung kepala hingga ujung kaki yang tidak nampak seperti dedemit yang biasanya menyeramkan. “Benar Sugih, akulah Nyai Saras, aku penguasa jagat Leuweung Suwung, aku bisa memberikan apapun yang kamu inginkan Sugih.” Nyai Saras kembali bisa membaca isi hati Sugih. Nyai Sarasehan yang dikenal warga Situnggalih dengan Nyai Saras adalah penunggu sebuah pohon asam yang sering dijadikan tempat Sugih berteduh kala bekerja di sawah Margono. Makhluk halus nan cantik dengan rambut panjang tergerai, bibir tipis dengan hidung kecilnya yang mancung. Matanya panjang dengan bulu mata lentik dan alis yang melengkung tebal dan tinggi. Kecantikan alami seorang perempuan yang banyak didambakan laki-laki. Namun, dibalik itu semua, Nyai Sarasehan haus akan darah gadis belia agar kecantikan dan kekuatannya tidak memudar. Nyai Saras juga tidak memiliki kuncen, dia tidak akan keluar menampakkan diri kecuali pada korbannya ataupun pada orang pilihan yang akan dijadikan pengikutnya. Laki-laki istimewa yang akan dijadikannya budaknya. “Aku memilihmu Sugih, jadilah penyibak kelambuku, maka dunia akan ikut bersamamu,” rayu Nyai Saras dengan kalimat mendayu, merayu Sugih agar mau menjadi budaknya. Dia melangkah perlahan memutari tubuh Sugih yang kini berdiri kaku tak bergerak sedikit pun. Aroma semerbak wangi bunga menguar dan menusuk hidung Sugih saat Nyai Saras terus saja memutarinya dengan gerakan gemulai yang membuat dia harus menahan napas sejenak mendapati tubuh Si Nyai yang benar-benar menggoda jiwa lelakinya. “Bagaimana Sugih, apa kamu tidak tertarik untuk menjadi penyibak kelambuku,” ulang si Nyi yang kini berhenti tepat di hadapan Sugih. “Aku tidak mengerti, apa maksudmu, Nyai?” tanya Sugih dengan raut wajah yang sudah menunjukan ketakutan. Entah apa yang dia takutkan dari sosok cantik yang berdiri di hadapannya. Tidak ada gurat seram sedikit pun dari Nyai Saras. Namun, bulu kuduknya terus saja meremang. Apalagi sejauh mata memandang, yang dia lihat adalah hamparan sawah nan luas. Entah kemana perginya para pekerja yang tadi pagi berada di sawah-sawah yang berdekatan dengan sawah Margono. “Kamu manusia terpilih, hatiku terpaut padamu. Lihatlah ....” Nyai Saras menggoyangkan tangannya di depan wajah Sugih. “Istana ... istana siapa ini?” Sugih menatap heran ke sekelilingnya. Pohon asam yang tadi dia duduki hilang, berganti dengan lantai yang terbuat dari kaca yang begitu terlihat mengkilat bak emas. Warna istana di d******i warna putih dan biru dengan ornamen warna silver dan emas. Di samping tempatnya duduk ada sebuah ruangan yang tertutup kelambu yang sangat tipis terbuat dari sutra. Namun, pandangan mata Sugih tidak mampu menembus ke dalam kelambu untuk melihat isi dari ruangan yang sudah dipastikan lebih megah dan mewah. “Ini istanaku, istana Sarasehan. Tempat para makhluk tak kasat mata berkumpul membicarakan orang-orang yang menjadi penyembahnya demi kekayaan dan uang,” tawa Nyai Saras kembali terdengar. Tawa yang selalu membuat Sugih merinding takut. “Jadilah suamiku agar dunia berada dalam genggaman tanganmu,” goda Nyai Saras yang kembali berputar mengelilingi badan Sugih dengan memamerkan lekukan badannya yang menonjol di beberapa titik. “Tidak Nyai ... kita berbeda. Aku manusia dan kamu bangsa siluman, tidak mungkin aku menjadi suamimu,” tolak Sugih. Seketika wajah cantik Si Nyai terlihat menyeramkan hingga sugih terjangkit kaget dan mundur untuk menghindarinya. Namun, hanya dengan satu kedipan mata, wajah si Nyai kembali lagi terlihat seperti semula, cantik dan goresan daging yang menganga yang terlihat hampir di sekujur wajahnya hilang seketika. “Tidak ada yang menolakku Sugih ... hampir semua manusia menginginkan tubuh dan kekayaanku,” ujar Si Nyai dengan merapatkan tubuhnya pada Sugih. Jemarinya kini mengusap wajah kasar Sugih, wajah seorang buruh tani yang kecokelatan karena seringnya terpanggang matahari. Wajah dengan guratan keras dan rahang yang tegas kini diusapnya penuh kelembutan. “Menikahlah denganku Sugih ... puaskan aku di kelambuku,” desis Si Nyai yang membuat Sugih memilih menutup matanya karena desiran darahnya semakin menghangat efek dari sentuhan si Nyai. “Menikahlah denganku Sugih ... jadilah penyibak kelambuku dan puaskan aku ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD