Sepeda Buat Arya

2180 Words
“Menikahlah denganku Sugih ... jadilah penyibak kelambuku dan puaskan aku ....” Kalimat itu terus terngiang di telinga Sugih hingga semerbak wangi yang sedari tadi menusuk hidungnya hilang dan saat Sugih membuka mata, dia kembali berada di bawah pohon asam. Bukan lagi di istana si Nyai, dengan sigap Sugih langsung meraih cangkul dan parang yang dia bawa dan segera pulang sebelum waktu asar sesuai dengan perjanjian kerjanya hari ini dengan Margono. Dalam hatinya Sugih merasa kapok untuk berteduh di pohon asam itu sendirian tanpa ada Iwan dan istrinya. Sungguh wajah cantik si Nyai tidak mengurangi rasa takut yang menderanya, apalagi saat Sugih tahu kalau si Nyai adalah pemimpin para dedemit Leuweung Suwung. Nyai Sarasehan jatuh hati pada Sugih yang sering menghabiskan waktu di istananya. Istana yang di mata manusia hanya sebuah pohon asam rindang yang sangat menyeramkan kala dilewati saat malam hari. Namun, sekuat apapun Nyai Sarasehan menawarkan semua iming-iming gemerlapnya dunia agar Sugih mau bersekutu dengannya. Sugih tetap menolak. Baginya, kehidupan di dunia hanya sesuatu yang semu semata. Dia lebih menikmati kehidupannya yang sekarang. Terasa damai meskipun hidup berkecukupan dan sering menjadi bahan hinaan mertuanya, karena menurut Parjo dan Tuti kehidupan mereka jauh dari kata layak. Sugih melangkah dengan cepat menuju ke rumahnya. Jangankan tertarik untuk menjadi b***k Nyai Saras, untuk kembali bertemu dengannya saja Sugih sama sekali tidak mengharapkan terjadi lagi. “Bapak … hore, bapak pulang cepat. Bapak mau beli sepeda buatku ya?” tanya Arya menyambut kedatangan Sugih dengan meloncat kegirangan. “Maaf Arya … bapak pulang karena tidak enak badan. Beli sepedanya nanti saja ya Nak,” bujuk Sugih yang langsung meletakkan cangkul dan parang di bawah ranjang yang ada di depan rumahnya kemudian langsung masuk meninggalkan Arya yang berdiri dengan ekspresi wajah kecewa. Lagi-lagi dia harus bersabar dan menahan keinginannya untuk mendapatkan sebuah sepeda. Sepeda yang sudah lama begitu Arya dambakan dan sampai detik ini Bapak dan Miminya hanya meminta dia untuk bersabar dan terus bersabar. Arya berjalan dengan kepala tertunduk menuju rumah Nasuha dimana Mirna sedang membantu memasak di sana. “Loh … Arya kenapa? Kok wajahnya sedih gitu?” tanya Nasuha melihat Arya berjalan dengan wajah tertunduk dan duduk di samping Mirna yang sedang menghadapi tungku api yang menyala dengan dandang di atasnya. Mirna memang kerap diminta para tetangga untuk menanak nasi di tungku jika salah satu dari mereka mengadakan tasyakuran dan hajat yang membutuhkan juru masak bantuan dan lainnya. “Kamu kenapa, Ya?” tanya Mirna melirik Arya. Dia menangkap tetes air mata di pipi Arya yang segera ditepis dengan jemarinya. Dadanya terasa sesak, dia ingin memaksakan keinginannya untuk memiliki sepeda. Namun, Arya juga tahu kondisi keluarganya. Hanya dengan tangis dia bisa meluapkan kekecewaan akibat janji Sugih dan Mirna yang kerap meleset jauh dari harapannya. “Aku mau sepeda Mi … semua temanku bermain sepeda. Hanya aku yang tidak punya sepeda ….” Arya sesenggukan, kepalanya disandarkan pada lengan Mirna. “Mimi sudah ngomong kok sama Bapak, nanti Bapak belikan kalau sudah ada uang,” ujar Mirna mencoba membujuk Arya agar tangisnya tidak terus terdengar. “Tapi tadi bapak pulang, katanya beli sepedanya nanti. Nanti … nanti terus Mi. Masa aku main sendirian saja. Semua temanku berkeliling naik sepeda. Aku tidak mungkin berlari terus mengejar mereka,” ungkap Arya di tengah isakannya. “Mir … Arya mau sepeda?” tanya Nasuha yang bisa mendengar percakapan Arya dan Mirna meskipun mereka bercakap-cakap dengan berbisik. “Iya, Bu. Hanya saja kami memang belum punya uang untuk membelikan Arya sepeda,” aku Mirna sesuai dengan kondisi keuangan mereka sebenarnya meskipun malu. Namun, Mirna tak mungkin mengelak tebakan Nasuha karena ada Arya di sampingnya. “Arya, ibu ada sepeda bekas milik Randi sebelum sekolah ke kota. Kalau kamu mau, kamu boleh pakai sesuka hati kamu, Nak,” ucap Nasuha dengan menepuk pundak Arya. “Benar, Bu?” tanya Arya mendongak sembari mengusap lelehan air mata yang membasahi pipinya. “Benar. Itu sepedanya. Tergeletak di sana tanpa ada yang pakai. Kalau Arya mau silakan dipakai saja. Arya sudah bisa naik sepeda?” Arya mengangguk dengan semangat. Matanya langsung berbinar melihat sepeda bekas milik Randi. Sepeda dengan warna dominan biru dan dikombinasi dengan sedikit corak hitam dan putih. “Itu buat Arya, Bu?” tanya Arya dengan sorot mata penuh harap. “Iya, Nak. Itu buat kamu, silakan kamu pakai. Hati-hati ya mainnya,” ujar Nasuha sembari mengusap pundak Arya. “Terima kasih Bu Suha, terima kasih,” balas Arya dengan berkali-kali mencium punggung tangan Nasuha. “Mi ….” Arya kini berbalik menatap Mirna. Tanpa dia berkata apapun Mirna mengerti apa maksud putranya. “Silakan Nak, kamu pakai. Hanya ingat, Arya harus hati-hati dan tidak boleh ngebut naik sepedanya,” pesan Mirna diangguki Arya dengan mata berbinar. “Terima kasih, Mi. Arya berangkat main nyusul teman yang lain ya,” izinnya dengan meraih tangan Mirna untuk dicium. “Iya, hati-hati Arya.” “Siap Mi, assalamualaikum.” Seperti biasanya kalau dia hendak pergi Arya kerap mengucapkan salam yang tidak pernah dibalas oleh Mirna karena dia memang tidak mengerti maksud ucapan anaknya. Di desa mereka orang-orang masih tidak mengenal siapa sebenarnya Tuhan mereka. Agama apa yang mereka anut pun tidak jelas. Warga desa hanya mengenal aneka sesaji yang kerap dihidangkan untuk para arwah. Kepercayaan yang sudah turun menurun dianut warga Situnggalih. Dimana Arwah nenek moyang mereka seolah menjadi penentu kesuksesan hidup anak cucunya. “Anakmu belajar silat sama guru baru itu? Yang istrinya dipanggil Umi Sopi dan suaminya dipanggil Ustad Latif?” “Iya, Bu. Aku sendiri tidak tahu nama pelatih silat Arya. Aku biarkan dia belajar di sana karena memang tata karma, sopan santun dan sikap Arya menjadi lebih baik setelah belajar di sana,” beber Mirna yang memang belum pernah satu kali pun berkunjung ke langgar latihan silat anaknya. “Banyak anak-anak yang berlatih di sana sih, Mir. Aku dengar-dengar itu ustadz mengajar ngaji juga. Ngaji tuh baca buku, tapi aku lupa nama bukunya apa … yang jelas pakainya bahasa Arab Mir.” “Iya kah, Bu? Aku tidak tahu, nantilah aku tanya sama Arya. Itu sepeda Mas Randi aku bayar berapa Bu?” tanya Mirna yang langsung teringat sepeda milik anak bungsu Nasuha yang dibawa putranya. “Tidak usah bayar Mir, anggap saja itu hadiah buat anakmu yang sering aku suruh-suruh tanpa mau menerima imbalan dariku. Anakmu baik Mir, semoga dia nanti bernasib baik ya,” doa Nasuha yang langsung diaminkan Mirna. Selaku orang tua dia memang berharap kalau putranya akan mendapatkan nasib baik. Tidak seperti dia dan suaminya yang sangat susah mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. “Terima kasih ya, Bu. Arya sangat menginginkan sepeda itu. Aku tidak tahu harus membayar kebaikan Ibu Suha dengan apa. Aku-” “Sudah lah Mir, cukup kamu saja yang tahu kalau sepeda itu aku kasih percuma untuk Arya. Bilang saja kamu beli dari aku. Jangan sampai ibumu kembali mencu-mencu menghina suamimu. Aku pikir Sugih itu sudah rajin bekerja, tapi nasib manusia memang tidak bisa diubah dengan mudah. Semua butuh proses panjang dan aku harap kamu dan suamimu suatu saat bisa mendapatkan kehidupan yang jauh lebih layak lagi.” “Semoga saja Bu. Jujur aku juga tidak tega kalau Mas Sugih dihina Emak. Hanya saja memang keadaan kami seperti itu Bu.” “Sudah Mir, lanjutkan nanak nasinya, Ibu ke depan dulu. Jangan masukan ke hati omongan Tuti, memang sejak dulu dia tidak setuju kamu menikah dengan Sugih.” Nasuha mengusap rambut Mirna sebelum dia pergi berlalu meninggalkan Mirna yang masih setia duduk di depan tungku api menunggu nasi yang dia nanak matang dengan sempurna. Sebagai istri Mirna memang selalu berusaha untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Mirna mencintai Sugih dengan segala kekurangan yang dia miliki. Tak pernah ada penyesalan sedikit pun di hatinya menjadikan Sugih sebagai suami meskipun sejak awal menikah hingga sekarang kehidupan mereka masih saja menjadi bahan hinaan kedua orang tuanya. Sore menjelang, semua pekerjaan Mirna sudah selesai, semua undangan kenduri pun sudah kembali pulang. Mirna yang telah mencuci semua peralatan masak dan membereskan dapur seperti sedia kala sudah bersiap untuk pulang ke rumah. “Bu, aku pamit pulang,” izinnya pada Nasuha yang baru keluar dari rumah utama menuju dapur yang berbeda bangunan dengan rumah megah milik Nasuha. “Terima kasih ya Mir, jangan kapok kalau Ibu minta bantuanmu lagi. Ini kamu bawa pulang untuk anak dan suamimu.” Nasuha memberikan dua tas plastik berisi berkat kenduri. “Ini upahmu, Mir. Terima kasih sudah membantu Ibu,” sambung Nasuha memberikan empat lembar uang dua puluh ribuan. “Tidak usah Bu, Ibu sudah kasih sepeda mas Randi pada Arya saja itu sudah sangat lebih dari cukup,” tolak Mirna dengan mendorong pelan tangan Nasuha yang mengulurkan uang padanya. “Tidak Mir, kamu jangan menolak rejeki. Ibu ikhlas, ini buat kamu. Terima ya ….” Nasuha memasukan uangnya dalam plastik berkat. “Sudah sana kamu pulang,” perintah Nasuha. Mirna pun langsung membungkukkan badan sebelum melangkah meninggalkan dapur Nasuha. Tetangganya yang paling baik hati dan selalu memberikan pekerjaan apapun padanya. Usia Nasuha sama dengan Tuti, tapi cara berpikir Nasuha dan emaknya-Tuti sangat berbeda jauh. Nasuha tidak pernah sekali pun membuat Mirna kecil hati memiliki suami seperti Sugih. Dia malah sering memberikan nasihat agar Mirna tidak ikut termakan omongan dan ujaran kebencian yang sering dilontarkan Tuti dan Parjo pada suaminya. Sehingga terkadang tanpa ragu Mirna pun sering mencurahkan beban hati dan pikirannya pada Nasuha. *** Lembayung senja di ujung barat menyambut malam yang akan datang membuat pekatnya malam akan segera menyelimuti bumi Situnggalih. Mirna mengetuk pintu rumahnya. Suaminya sudah pulang karena Arya memang mengatakan hal itu tadi siang. Di depan rumahnya Mirna juga melihat cangkul dan parang milik Sugih yang biasa disimpan di bawah ranjang bambu buatan tangan Sugih kala hujan deras dia tidak pergi ke sawah. Hampir seluruh perabotan yang dia miliki dihasilkan oleh suaminya sendiri karena memang mereka tidak memiliki uang lebih untuk membeli aneka perabotan rumah tangga seperti para tetangga di kiri dan kanan rumah Mirna. “Mas Sugih … Arya …,” panggil Mirna setelah membuka pintu. Sepeda milik Randi yang dibawa Arya memang terparkir di depan rumahnya sehingga Mirna menebak kalau putranya juga sudah pulang dari bermain sepeda. Apalagi kala senja datang Arya memang kerap pergi ke langgar, entah untuk apa. Kata Arya dia belajar mengkaji Al-Quran di sana. Hanya saja sebagai orang tua Mirna tidak tahu bentuk Al-Quran itu seperti apa. Dia juga tidak tahu apa yang dikaji oleh anaknya sehingga setiap senja selalu pergi ke langgar bersama anak-anak desa Situnggalih lainnya. “Mimi … Arya berangkat ke langgar ya,” pamit Arya yang sudah rapih dengan celana panjang dan kaos lengan panjangnya. “Mimi bawa makanan. Kamu tidak makan dulu,” tawar Mirna memperlihatkan tas plastik yang dia dapatkan dari Nasuha. “Aku makan dilanggar saja ya Mi, setiap malam Jumat di sana ada aneka makanan yang disediakan Abah Latif dan Umi untuk kami,” jawab Arya. Mirna hanya bisa ber-oh ria saja karena lagi-lagi dia tidak paham apa yang disampaikan dengan anaknya. Dalam hati Mirna, dia hanya tidak ingin melarang anaknya selagi kegiatan yang dilakukan Arya itu merupakan hal positif dan mampu membuatnya menjadi anak yang lebih baik. “Kamu hati-hati ke langgarnya,” pesan Mirna saat Arya mencium tangannya. “Baik Mi. Assalamualaikum.” Arya langsung berlari keluar rumah, sementara Mirna meletakan makanan yang dia bawa di meja sebelum masuk ke kamar untuk mencari suaminya. “Mas Sugih …,” panggil Mirna bersamaan dengan gerakan tangannya mendorong pintu kamar. “Kamu pulang Mir?” tanya Sugih dengan bibir bergetar. Pertemuannya dengan Nyai Saras mau tidak mau membuat badan Sugih menggigil panas dingin. Entah kenapa dia merasa bayang-bayang Nyai Saras selalu mengikutinya dengan mengatakan kalimat yang sama secara berulang-ulang. “Menikahlah denganku Sugih ... jadilah penyibak kelambuku dan puaskan aku ....” “Mas kenapa? Badannya kok menggigil. Panas?” tanya Mirna saat mendapati suhu badan Sugih tinggi. “Dingin Mi, kamu bisa peluk aku,” pinta Sugih dengan suara bergetar dan terbata-bata. Mirna naik ke atas ranjang, dia memeluk Sugih dengan dadanya sebagai bantal kepala suaminya. “Mir … aku ketemu Pemimpin dedemit Leuwung Suwung.” “Nyai Sarasehan,” tebak Mirna karena nama Si Nyai memang kerap disebut para warga Situnggalih. Beberapa memang berkata kalau pemimpin makhluk halus di Leuweung Suwung itu cantik. Dia tidak memiliki kuncen, Nyai pun tidak menerima pemujaan dari siapapun kecuali orang-orang istimewa yang dia pilih sesuka hatinya. “Mas … apa dia memintamu jadi budaknya?” Dada Mirna terasa sesak saat menyadari suaminya mengangguk. Mirna tahu, tidak akan ada yang mampu lepas dari bujuk rayu si Nyai. Nyai Sarasehan selalu mendapatkan apa yang dia mau. Mirna pun tahu kalau manusia yang dipilih oleh si Nyai selalu laki-laki yang akan dijadikan suaminya. Mirna memang kerap mendengar selentingan kabar tentang si Nyai. Namun, tidak pernah satu kali pun dia mengira kalau Si Nyai memilih suaminya. “Mas menerima ajakan si Nyai?” Sugih menggeleng dan Mirna pun menghembuskan napas lega karena dia tidak harus membagi cinta Sugih dengan penguasa dunia hitam yang tidak akan pernah mampu dia saingi. Biarlah dia hidup kekurangan, asalkan cinta suaminya hanya satu untuk dirinya seorang. Tidak terbagi dengan siapapun apalagi dengan siluman berparas cantik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD