Arya dan Tawaran Nyai Saras

2089 Words
Tolakan dari Sugih membuat Nyai Sarasehan semakin tertantang untuk menggodanya, setiap Sugih berteduh di tempatnya. Saat itu juga nyai Sarasehan menampakan diri dan kembali merayu Sugih untuk menjadi budaknya. Seperti di terik siang saat matahari sudah sepenggal galah, Iwan dan Rukmini mengajak Sugih untuk berteduh sejenak di bawah pohon asam. Mereka berdua memang tidak pernah merasakan ada aura aneh sedikit pun selama bekerja di sawah Margono dan selalu berteduh di tempat yang sama. Berbeda dengan Sugih, kali ini duduknya terasa tak nyaman, sedari tadi Nyai Saras terus saja menatapnya dengan memainkan ujung rambut dan duduk di tanah dengan kaki kanan yang diangkat hingga kain yang dia kenakan tersibak dan paha mulusnya terpampang di hadapan mata Sugih. Sesekali Sugih menengok ke arah Iwan dan Rukmini yang sedang bercengkrama sembari menikmati makanan dan minuman yang mereka bawa sebagai bekal bekerja setengah hari di sawah Margono. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun Iwan dan Rukmini bisa melihat Si Nyai yang terus menggerakkan tangannya secara gemulai sembari membisikan ajakan yang terus terngiang di telinga Sugih. “Menikahlah denganku Sugih ... jadilah penyibak kelambuku dan puaskan aku ....” Kalimat itu terdengar jelas telinga Sugih, tapi entah kenapa Iwan dan Rukmini yang berada begitu dekat dengannya sama sekali idak terpengaruh sedikit pun. “Wan ... aku kerja lagi ya,” pamit Sugih segera berdiri meninggalkan pohon asam dimana si Nyai tepat duduk di bawahnya dengan bersandar dan terus bergerak sensual memamerkan lekuk tubuh mulusnya di depan Sugih. “Ah ... baru juga istirahat sebentar, Gih. Kamu kok sudah buru-buru kerja lagi. Tumben banget,” seloroh Iwan yang sama sekali tidak ditanggapi Sugih. Rasanya lebih baik dia terpanggang panasnya matahari daripada bulu kuduknya terus merinding menyadari hanya dirinya seorang yang bisa melihat penampakan si Nyai yang terlihat begitu nyata. Hingga tengah hari, Sugih tidak lagi duduk di pohon asam meskipun Iwan dan Rukmini kembali mengajaknya berteduh sebentar saat hendak pulang. Sugih jelas menolak. Dia langsung terburu-buru pulang dengan langkah lebar dan berharap Si Nyai tidak mengikuti langkahnya. Setiap hari hal yang sama terus saja berulang hingga saat Iwan dan Rukmini tidak berangkat ke sawah dan tidak ada yang menggantikan mereka berdua. Sugih pun memilih untuk meliburkan dirinya. Sugih kini tidak lagi berani sendirian di sawah Margono sejak Si Nyai begitu rajin menampakan dirinya di hadapan Sugih tanpa terlewat satu hari pun. Bisikan rayuan yang bernada menggoda selalu saja Nyai utarakan meskipun sekuat apapun Nyai Sarasehan merayunya, sekuat itu pula Sugih tetap pada pendiriannya. Sugih tidak pernah mempedulikan bujukan si Nyai. “Mir ... Arya mana?” tanya Sugih saat dirinya baru datang dari sawah saat matahari benar-benar memamerkan sinarnya yang seolah mampu membakar setiap sahaya yang menentangnya. “Belum pulang Mas, tadi dia minta izin main sama teman-temannya. Mas kenapa dari tadi aku perhatikan nengok ke belakang mulu?” Sugih bergidik sebelum duduk di ranjang depan rumah mereka. Dia meraih segelas air yang diulurkan Mirna dan menenggaknya hingga habis tanpa sisa. “Aku tidak tahu Mir, Nyai Saras terus saja muncul dan memintaku menjadi budaknya,” aku Sugih yang membuat Mirna pun mengerutkan keningnya. “Berarti sejak kemarin Nyai Saras terus menampakan diri di hadapan Mas,” tebak Mirna dan tentu saja Sugih menganggukinya. “Aku pernah dengar kalau si Nyai tidak akan pernah berhenti menggoda manusia yang dia pilih hingga keinginannya tercapai, Mas,” cicit Mirna dengan suara pelan seolah dia tidak rela seandainya sang suami pun nantinya akan tergoda dengan bujukan Nyai Saras. “Apa yang dia katakan Mas?” “Entah lah, dia tidak berkata apapun. Dia diam, tapi telingaku terus saja menangkap kalimat ajakan yang pernah dia katakan padaku. Menikahlah denganku Sugih ... jadilah penyibak kelambuku dan puaskan aku.” Sugih melirik sekilas ekspresi wajah istrinya. Mirna menunduk, jemarinya memainkan ujung baju yang dia kenakan. Hatinya terasa tercubit mendengar pengakuan suaminya. “Dia jatuh cinta padamu Mas. Dia ingin kamu menjadi suaminya.” “Tidak Mir ... aku sama sekali tidak terpikir untuk menduakanmu. Aku mencintaimu, menikah dengannya sama saja aku menyakiti hatimu meskipun nantinya kehidupan kita pasti akan bergelimang harta. Hanya saja ....” “Hualah .... kere saja kalian gaya! Siang-siang gini pegang-pegangan tangan kayak orang kaya saja. Sadar, Gih! Hidupmu itu susah, kere, melarat, tapi malah belagu. Pulang dari sawah saja belaga, masuk Mir! Malu dilihat tetangga punya suami kere saja mesra-mesraan di depan rumah,” maki Tuti yang tiba-tiba datang dengan membawa plastik kresek hitam di tangannya. “Ini, dari Mbok Ijah, syukuran si Sulton beli mobil baru. Lihat, Gih, teman kamu sudah mampu beli mobil. Nah kamu, jangankan mobil, rumah saja masih kayak gubug yang mau roboh,” sambung Tuti yang tidak pernah puas melancarkan aneka caci maki pada Sugih sedari awal pernikahan Mirna hingga sekarang. “Terima kasih, Mak,” ucap Mirna menerima plastik dari tangan Tuti. Seperti biasa dia memang tidak akan menanggapi cacian dan hinaan yang kerap keluar dari mulut Tuti. Seandainya dia menjawab dan membela Sugih pun, Tuti malah akan semakin murka, sehingga diam adalah jalan terbaik agar Tuti lekas kembali pergi dan tidak terus mengomel di depan mereka. “Masuk! Malu, masih miskin saja sok romantis-romantisan,” hardiknya dengan mata melotot memaksa Mirna untuk masuk ke dalam rumah. Tidak ingin membuat ibunya semakin marah, Mirna memilih masuk ke dalam rumah dan benar saja, Tuti pun langsung pulang meninggalkan Sugih yang masih duduk di ranjang bambu dengan kepala tertunduk. Sugih tidak akan pernah berani mengangkat wajahnya di depan Tuti. Baginya kemarahan Tuti suatu hal yang wajar karena memang selama ini Sugih belum bisa membahagiakan Mirna. Hatinya sakit, setiap mendengar kata cacian dan hinaan yang didengar begitu pedas dan tajam menghujam dadanya kala Tuti mengomeli dia ataupun Mirna. Namun, Sugih tak akan mampu membalas atau pun menimpali setiap omongan Tuti. Diam dan diam ... sembari berharap ada keajaiban yang membuat dirinya bisa terlihat membanggakan di depan Tuti. “Mas ... apa Mas tidak terima saja tawaran Nyai, mungkin dengan begitu Emak tidak lagi berkata pedas di hadapan Mas Sugih,” gumam Mirna begitu lirih dari ambang pintu dimana dia berdiri memandang dengan perasaan tidak tega melihat suaminya yang selalu dihina ibunya sendiri. “Mir ... sudahlah. Bukannya sedari dulu Emak memang begitu. Aku mandi dulu Mir,” pamit Sugih dengan langkah lesu berjalan memutari rumah karena dia lebih sering amsuk lewat pintu belakang agar bisa segera bertemu dengan kamar mandi dan membersihkan dirinya terlebih dulu sebelum masuk rumah. Mirna menutup pintu saat dia merasakan hembusan angin dengan semerbak wangi bunga menusuk hidungnya. Sebenarnya bukan hanya Sugih yang merasa terus diikuti Nyai Saras. Sejak kejadian Sugih menggigil karena demam setelah bertemu pertama kalinya dengan si Nyai, Mirna juga kerap merasakan aroma wangi bunga menusuk hidungnya. Apalagi saat pergumulan panasnya dengan Sugih, wangi bunga terus saja mengitarinya. “Makan dulu mas, ini ada nasi kuning tiga bungkus, baik banget si Sulton ngasihnya banyak ya Mas,” ujar Mirna sembari membuka dua bungkus nasi untuk dia dan suaminya, sedangkan yang satu bungkus lagi dia simpan untuk Arya. “Iya lah ... dia memang sahabat terbaikku Mir. Yuk, makan,” ajak Sugih yang sudah terlihat lebih segar setelah mandi. Mereka makan dengan sesekali bercengkrama membahas tentang Arya dan sepeda barunya yang didapat dari pemberian Nasuha. Mirna juga tidak lupa menceritakan tentang latihan silat Arya yang membuat putra mereka rutin bangun sebelum fajar, serta kegiatan baru Arya yang selalu pergi ke langgar tengah hari, sore hari dan saat senja datang. “Sebenarnya apa yang Arya lakukan di sana Mir?” tanya Sugih. “Katanya banyak, kalau pagi latihan silat, kalau siang duhuran, sore asaran. Saat petang matahari terbit itu magriban, mengkaji kitab sama isaan Mas” terang Mirna menjawab pertanyaan suaminya. “Apa itu duhuran, asaran, magriban?” Mirna mengangkat bahunya, dia juga tidak mengerti beberapa kata yang sering Arya ucapkan. “Kata Bu Nasuha, itu melaksanakan perintah agama islam, Mas. Mirip dengan yang sering Arya katakan. Hanya saja aku tidak paham. Toh, selama ini kita kan belajarnya hanya mengagungkan para leluhur agar kehidupan kita aman, nyaman dan tentram. KTP doang islam, ngeri aturan pun tidak,” aku Mirna dengan senyum kecut yang disetujui Sugih dengan sebuah anggukan. “Iya Mir, sudah lah selagi Arya memang melakukan hal-hal positif, biarkan saja.” Tak terasa nasi kuning sudah habis mereka santap, Mirna hendak menuju dapur. Namun, suara teriakan di luar memanggil dia dan suaminya membuat Mirna mengurungkan niatnya dan berbalik menuju pintu depan. “Mirna ... Sugih ... Mirna.” “Iya Pak Dayat, kenapa?” tanya Mirna melihat hansip desa yang berteriak memanggilnya dengan lelehan keringat di wajah disertai napas Dayat yang ngos-ngosan. “Arya, Mir. Arya kepalanya bocor, sekarang sudah dibawa pak Kades ke puskesmas.” “Apa? Kepala Arya bocor?” tanya Sugih yang langsung menangkap tubuh Mirna yang limbung dan hampir jatuh kalau dia tidak sigap menangkapnya. *** “Mas, biaya rumah sakit Arya harus segera dibayar. Aku lihat totalnya hampir dua puluh juta, banyak sekali. Uang darimana,” keluh Mirna di depan ruang rawat Arya. Menurut Tono, kemarin siang dia, Arya dan teman-teman lainnya memang balapan sepeda saat pulang dari langgar. Namun, naas saat Arya ingin berbelok, di depannya ada sebuah motor yang begitu kencang melaju dari arah berlawanan. Tabrakan pun tidak dapat dihindari, hingga badan Arya yang terpelanting membuat kepalanya terbentur batu besar hingga bocor. Namun, sayangnya si penabrak lari dan tidak bertanggung jawab. Sugih dan Mirna yang menyusul ke puskesmas dengan Dayat pun sudah tidak mendapati Arya di sana karena Pak Kades membawa Arya dengan mobil puskesmas menuju rumah sakit yang letaknya jauh di kota. Akhirnya, Sugih meminta bantuan Sulton dan membawa mereka ke rumah sakit dengan menggunakan mobil barunya. “Semalam Aku sudah minta pinjaman uang pada pak Margono, Mir,” kata Sugih dengan suara lesu. “Terus gimana, Mas?” “Dia tidak mau meminjamkan, Mir.” Kepala Sugih menggeleng lemah, kemudian dia tundukan kepala memandang jari-jari kakinya yang hitam legam dengan kuku berwarna oranye karena seringnya terpendam di lumpur sawah. “Ya ampun, bagaimana ini, Mas.” Tiba-tiba Sugih teringat dengan tawaran Nyai Saras, pemilik istana Sarasehan yang sudah jarang dia singgahi karena bulu kuduknya kerap merinding kala duduk di bawah pohon asam. “Mi, aku pergi sebentar. Mimi tolong jaga Arya, doakan besok pagi aku bisa membawa uang untuk biaya rumah sakit,” ujar Sugih. “Mas ... kamu mau kemana?” “Menurutmu aku harus kemana Mir?” tanya Sugih yang juga masih ragu-ragu dengan niatnya. “Nyai Saras Mas, sepertinya tidak ada jalan lain ... aku tidak mau kehilangan Arya Mas.” “Aku juga tidak akan mampu kehilangan Arya Mir ... hanya saja apa kamu izinkan kalau aku ke tempat Nyai Saras?” Sugih menggenggam kedua tangan istrinya. Mirna mengangguk dengan tetesan air mata yang tidak mampu dia bendung. Uang dua puluh juta itu tidak sedikit untuk orang miskin seperti mereka. Tidak akan ada juga yang mau meminjamkan secara percuma. Jalan satu-satunya yang terbesit dalam benak Mirna maupun Sugih cuma satu. Datang ke istana si Nyai dan menerima tawaran Nyai Saras meskipun Mirna harus merelakan kalau dia akan dimadu dengan siluman. “Pergi lah Mas. Demi Arya aku ikhlas ....” Mereka berpelukan dan aroma semerbak bunga yang kerap hinggap di hidung Mirna pun kembali tercium. “Ya ampun, anak kalian sekarat, bisa-bisanya berpelukan! Cari duit Sugih! Biar anakmu segera dioperasi,” geram Tuti yang datang bersama Parjo diantar oleh Pak Bambang, kepala desa Situnggalih yang membawa Arya ke rumah sakit. “Bukan begitu, Mak. Ini Mas Sugih juga mau berangkat ke tempat temannya untuk meminjam uang,” bohong Mirna karena tidak mungkin berkata yang sebenarnya kalau Sugih dan dia sepakat untuk bersekutu dengan Nyai Sarasehan, penguasa alam gaib yang menjadi pemimpin para Dedemit hutan Leuweung Suwung. “Sudah sana pergi, jangan sampai cucuku kenapa-kenapa karena kamu datang terlambat,” usir Tuti dengan mengibaskan tangannya. “Mas Sugih mau ke Situnggalih, kebetulan saya juga mau langsung pulang setelah mengantarkan Mak Tuti dan juga Bi Darsih,” ujar Bambang menawarkan tumpangan pada Sugih. “Bi Darsih kenapa Pak?” tanya Sugih penasaran. “Tidak apa-apa, dia menengok saudaranya yang sakit terus sekalian menginap.” Mulut Sugih membulat membentuk huruf O tanpa sara. “Saya ikut Bapak,” putus Sugih. “Aku pulang Mir, titip Arya,” desis Sugih menatap Mirna tanpa berani melirik Tuti dan Parjo yang berada di sana. “Tidak usah drama-dramaan dulu, Gih. Kamu cepat bawa uang untuk biaya operasi anakmu,” sahut Parjo menimpali kalimat yang Sugih lontarkan pada Mirna. “Baik Pak, Permisi.” Mau tak mau, niat tak niat pada akhirnya, Sugih pun semakin bertekad untuk menerima ajakan Nyai Saras agar menjadi penyibak kelambunya ... menikah dan menjadi b***k Nyai Sarasehan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD