Menikahi Nyai Saras

2247 Words
“Nyai Saras ... aku Sugih, aku datang untuk menerima tawaranmu. Aku butuh bantuanmu, Nyai ...,” teriak Sugih dengan lantang di hadapan pohon asam tempatnya berteduh. Hari sudah gelap saat Sugih berkata dengan lantang memanggil penunggu pohon asam. Tak ada lagi warga yang berani berlalu lalang di jalan ini. Jalan keramat yang sering memakan korban, kecelakaan sering terjadi di tikungan asam, begitulah warga Situnggalih dan desa-desa terdekat memanggilnya. Tikungan tajam bercabang dua yang menghubungkan jalan ini menuju hutan Leuweung Suwung, Desa Margamulyo. Hembusan angin yang menerpa Sugih membuat dia merasa takut sendiri di kegelapan malam tanpa ada tanda-tanda manusia selain dirinya yang berani menampakkan kaki di tikungan asam yang terlihat sangat angker dan tidak ada satu pun yang berani melintasinya di atas jam tujuh malam. “Akhirnya cintaku berbalas, kau pun datang dengan sukarela mencariku.” Suara wanita yang begitu lembut terdengar di telinga Sugih, suara tanpa wujud yang disertai dengan hembusan angin semilir dan aroma semerbak wangi yang menerpa wajahnya. Suara yang diyakini Sugih milik penguasa hutan Leuweung Suwung, Nyai Sarasehan yang dicarinya. “Nyai ... tunjukan wujudmu, aku datang untuk menerima tawaranmu,” tantang Sugih dengan suara bergetar karena rasa takut yang coba dia tutupi. Pantang mundur, tekadnya sudah bulat untuk menerima tawaran Nyai Saras. Dia butuh banyak uang untuk biaya pengobatan Arya. Kalau dia kembali ke rumah sakit tanpa membawa uang, sudah bisa dipastikan Tuti dan Parjo akan semakin menginjak-injak harga dirinya. “Aku selalu di dekatmu Sugih, bukankah aku selalu merindukan kedatanganmu untuk menjadi penyibak kelambuku ….” Lagi-lagi suara lembut nan mendayu kembali terdengar, tapi netra Sugih belum juga menangkap sosok wanita cantik penunggu pohon asam yang merupakan istana Sarasehan tempat berkumpulnya para dedemit Leuweung Suwung. Badan Sugih terus berputar ke segala arah, mencari sosok cantik yang kerap hadir di mimpi-mimpinya. Mimpi yang selalu membuatnya terasa b*******h, mimpi yang terasa begitu nyata. Namun, nuraninya kerap menolak untuk menyadari kalau Nyai Saras tak akan semudah itu melepaskannya. Setiap kali dia menyentuh Mirna, saat itu pula bayangan si Nyai terus berkelebat hingga membuat dia semakin bersemangat kala bersetubuh dengan istrinya. “Sugiharto, warga dusun Situnggalih yang terpilih, sudah siapkah kau menikah dengan sesembahan kami.” Sugih terlonjak mundur dengan jantung yang hampir melompat dari tempatnya saking kaget dengan kemunculan tiba-tiba seorang pria tua berpakaian serba hitam di belakangnya. “Si-siapa anda?” tanya Sugih dengan suara terbata-bata. Telunjuknya teracung pada pria tua yang menatapnya dengan sorot mata yang terlihat merah di tengah gelapnya malam. Tawa mengerikan terdengar dan itu sudah pasti membuat nyali Sugih semakin menciut, belum memulai masuk ke dalam dunia Nyai Saras saja Sugih sudah disuguhkan hal-hal gaib yang membuat adrenalinnya berpacu lebih cepat dari biasanya. “Anak muda, Nyai memang tidak pernah salah memilih, bahkan kamu tidak tahu siapa aku saat semua tetanggamu begitu seringnya memintaku mencarikan dedemit dan cincilimin dari bangsa gaib untuk membantu usaha mereka,” jawab pria di hadapan Sugih diakhiri dengan tawa keras yang masih membuat Sugih merinding. Dia sudah tidak mungkin mundur saat ini, tapi untuk maju dan menjalankan tekadnya, nyali Sugih sudah menciut hanya gara-gara berhadapan dengan laki-laki tua yang baru dilihatnya malam ini. “Aku Ki Broto Suwung, Kuncen pesugihan Leuweung Suwung yang membantu manusia-manusia yang menginginkan mendapat kekayaan instan dan bekerja sama dengan para dedemit penghuni Leuweung Suwung,” sambung pria yang ternyata adalah Ki Broto, nama yang sering Sugih dengar dari para tetangga yang kerap berbisik-bisik membahas kuncen alas Leuweung Suwung. Selama ini Sugih hanya mendengar nama Ki Broto dari cerita para warga. Dia tidak pernah membayangkan seperti apa sosok Ki Broto yang ternyata berbadan tinggi besar, tegap dan jambang dan alis tebal yang membuat dia terlihat begitu menyeramkan. “Maaf Ki Broto, aku baru kali ini bertemu dengan anda. Maafkan aku yang tidak tahu berhadapan dengan siapa,” aku Sugih dengan wajah tertunduk. “Maafmu pasti aku terima, Sugih. Siapa lah aku saat Sesembahanku saja jatuh hati padamu, dia sendiri yang memintaku turun bukit untuk menikahkan kalian. Benar kamu sudah siap menjadi penyibak kelambu Nyai Saras, Sugih?” tanya Broto dengan nada tegas yang menggelegar disertai tatapan mata yang menyeramkan saat menatap wajah Sugih yang semakin mengerut karena rasa takutnya semakin bertambah. “Kalau kamu takut, kamu bisa kembali sebelum ritual pernikahan kalian dimulai.” “Broto! Siapa kamu berhak mengusir calon penyibak kelambuku,” geram Nyai Saras yang membuat Sugih kembali memutar kepalanya untuk mencari sosok dari pemilik suara yang terdengar marah karena perkataan Ki Broto. “Nyuwun sewu, Nyai Sesembahanku, aku hanya ingin memastikan pria di hadapanku ini layak untuk Nyi mas junjungan kami,” ucap Ki Broto dengan menangkup kedua tangan disertai badannya yang sedikit membungkuk menghadap ke pohon asam yang berdiri tegak di hadapan mereka. Namun, mata Sugih tetap tidak mampu menembus batas yang dipasang Nyai Saras hingga dia tidak melihat siapapun berdiri di hadapan ki Broto. “Kamu meragukan pilihanku, Broto! Nikahkan kami, hanya itu alasan kenapa aku mengundangmu turun bukit dan membiarkan kamu masuk ke istanaku.” “Baik Nyai, perintah Nyai akan segera dilaksanakan,” jawab Ki Broto cepat tak mau membuat sesembahannya murka karena perintahnya tidak segera dituruti. “Sugih, duduklah menghadap pohon asam di depanmu,” perintah Broto. Dengan langkah pasti Sugih pun segera maju dan duduk tepat di hadapan pohon asam seperti yang Ki Broto perintahkan. Lagi-lagi Sugih kembali terkejut saat dia melirik ke samping, sudah ada gentong air berukuran sedang yang dicampur dengan aneka bunga yang semerbak wanginya begitu menusuk hidung. Ki Broto mengambil gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu, mulutnya terlihat merapalkan mantra yang tidak bisa didengar Sugih dengan jelas. “Tutup matamu dan jangan buka sebelum aku perintahkan,” suruh Ki Broto. “Ingat Sugih, keberhasilan ritual ini tergantung dari tekadmu. Jangan sekali-kali membuka mata dan lari terbirit-b***t sebelum semua ritual selesai,” pesan Ki Broto yang langsung diangguki Sugih. Hatinya sudah mantap untuk menerima tawaran Nyai. Tidak ada jalan lain yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang secara kilat. Sugih segera menutup matanya, hembusan angin kencang semakin terasa. Suara gamelan yang disertai dengan gemerincing gelang kaki membuat dia refleks ingin membuka mata. “Jangan buka matamu!” bentak Ki Broto yang langsung membuat Sugih mengurungkan niatnya. “Tetap tutup matamu apapun yang terjadi, kamu hanya boleh membuka mata saat aku perintahkan, paham?” “Paham, Ki,” jawab Sugih dengan perasaan tak menentu. Ki Broto kembali membacakan mantra-mantra yang tidak dimengerti Sugih. Lamat-lamat suara gamelan yang ditabuh kembali terdengar disertai gerakan gemerincing gelang kaki yang terasa terus mengelilingi tempat dimana Sugih duduk. “AAAAuuuuuuuuummm.” Suara Singa mengaum membuat Sugih terlonjak kaget, tapi tetap menutup matanya meskipun kini pikirannya terus berkecamuk mencoba menebak dan membayangkan apa yang terjadi di sekelilingnya. Kenapa ada suara singa mengaum begitu keras padahal dia tahu dengan pasti kalau di hutan Leuweung Suwung tidak pernah terdeteksi ada Singa atau binatang buas lainnya. Byur … byur … byur …. Di tengah dinginnya angin malam, tubuh Sugih bertambah menggigil diguyur air dengan campuran bunga oleh ki Broto yang tidak pernah sekali pun berhenti merapalkan mantra-mantra. Hanya kata Nyai Sarasehan yang diucapkan Ki Broto yang mampu Sugih pahami, selebihnya Sugih tidak mengerti dan memahami kalimat panjang yang dirapalkan Ki Broto dengan begitu lantang. Sugih mengigit bibirnya menahan agar dirinya tidak berteriak saat merasakan ada binatang melata berdesis di sampingnya. Sebuah ular besar terasa membelit badan Sugih, tapi lagi-lagi Sugih hanya mampu bertahan tanpa mengeluarkan suara dan membuka mata meskipun ketakutannya semakin menjadi-jadi. Lima menit berlalu, ular yang terasa membuat tulangnya remuk berangsur melepaskan lilitannya dan membuat Sugih kembali menghempaskan napas lega meskipun dia belum tahu kapan Ki Broto mengizinkan matanya dibuka. “Hihihihihi … hihihihi ….” Suara tawa bergantian dengan tangis kembali membuat bulu kuduk Sugih meremang. Singa, Ular dan kini kehadiran kuntilanak pun dia rasakan meskipun Sugih hanya menebak-nebak saja karena matanya masih tertutup. Jangan tanya ketakutan seperti apa yang Sugih alami. Namun tekadnya memang sudah bulat untuk tidak lari dari ritual sebelum dinyatakan selesai oleh Ki Broto. Apa pun yang akan terjadi setelah pernikahannya dengan Nyai Sarasehan, Sugih sudah siap menanggungnya karena selain menginginkan keselamatan Arya. Sugih pun sudah lelah menjadi bahan caci maki dari kedua mertuanya yang selalu berkata kasar dan pedas karena kemiskinan yang terus membelitnya. Setelah suara tawa dan tangis kuntilanak berhenti, Sugih merasa seperti banyak pasang mata yang sedang memindai ke arahnya. Dia memang tidak bisa melihat, tapi telinganya mendengar kalau di dekatnya bukan hanya ada Ki Broto, meskipun Sugih menerka kalau semua yang hadir mungkin para dedemit Leuweung Suwung yang menjadikan Nyi Saras sebagai sesembahan dan pemimpin mereka. Satu jam sudah Sugih duduk bersila di hadapan pohon asam dengan keadaan mata tertutup, kini keadaan di sampingnya sudah kembali senyap dan ki Broto pun sudah berhenti merapalkan mantra. “Bukalah matamu Sugih,” perintah Ki Broto. Perlahan Sugih membuka matanya. Dia mengerjap berkali-kali saat menyadari dirinya kini berada di depan ruangan dimana ada kelambu yang tertutup dan siluet bayangan Nyai Saras ada di dalamnya. “Kini kamu sudah sah menjadi suami dari Sesembahanku, Nyai Sarasehan. Kamu lah yang akan menyibak kelambunya setiap malam kamis Pahing. Kamu harus memuaskan Nyai dan limpahan harta akan menjadi bayaranmu. Namun, jangan lupa Sugih. Tidak ada satu pun yang mengikutimu saat datang ke istana ini setiap bulan di Kamis Pahing. Kamu juga harus memberikan korban darah gadis belia setiap Nyai memintanya, itu sebagai balasan dan baktimu pada si Nyai. Jangan lupakan dua syarat itu agar Sesembahanku tidak murka padamu. Tidak ada alasan apapun, setiap malam Kamis Pahing kamu tidak boleh lupa untuk melakukan ritual kelambu gaib dengan istrimu, Nyai Sarasehan. Kamu paham Sugih?” tanya Ki Broto dengan suara yang terdengar begitu tegas hingga Sugih pun kembali terlonjak dari keterpukauannya dengan apa yang dia lihat di balik kelambu. “Paham, Ki,” jawab Sugih. “Masuk lah ke dalam kelambu, Nyai sudah menunggumu dan pastikan kamu meninggalkan istana ini sebelum fajar menyingsing.” Sugih mengangguk dan saat dia mengangkat wajahnya Ki Broto sudah tidak lagi ada di tempatnya. Perlahan Sugih melangkah memasuki ruangan dimana Nyai Saras sudah menunggunya. “Nyai Saras, kamu kah di dalam?” tanya Sugih dengan ragu-ragu. “Kemarilah suamiku ... aku sudah menunggumu, Sayang. Kamu merindukanku?” Sapuan lembut jemari Nyai Saras terasa nyata di pipi Sugih. Sugih pun membalik badannya. Hal yang pertama dia lihat adalah senyum manis si Nyai dengan bibir berwarna merah jambu. Bibir yang kini terlihat begitu menggoda untuknya. Padahal tadi Sugih melihat dengan jelas kalau Nyai Saras berada dalam kelambu. Mulai malam ini Sugih harus membiasakan dirinya dengan semua hal gaib yang otomatis mengikutinya setelah dia resmi berstatus sebagai suami dari Nyai Sarasehan. “Aku menantimu, Sugih. Bersatulah dengan jiwaku. Maka kemudahan dunia akan ada dalam genggamanmu,” bisik Nyai Saras dengan bibir yang dia dekatkan ke telinga Sugih. Hembusan napasnya membangkitkan sisi liar yang ada dalam diri Sugih. “Apa yang harus aku lakukan, Nyai?” tanya Sugih dengan suara bergetar. Tidak bisa dipungkiri kalau wangi tubuh Nyai Saras membuat gairah laki-laki Sugih bangkit seketika. Meskipun di sisi lain Sugih masih merasa takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya malam ini. Bagaimanapun Nyai Saras bukan sosok manusia, secantik apapun dia menunjukan wujudnya di depan Sugih. Tetap ada satu ketakutan yang tidak mudah dia hindari. “Puaskan aku, Sugih, aku haus belaianmu. Sibaklah kelambuku, kelambu yang hanya bisa dibuka oleh pria seistimewa dirimu.” Jemari Nyai Saras menari di wajah Sugih, Kulitnya terasa lembut, membangkitkan hasrat dalam diri Sugih. Malam Kamis Pahing pertama untuk Sugih memasuki Kelambu Gaib Nyai Sarasehan membuatnya tak menyesal sedikitpun menyesap kenikmatan bersama Nyai cantik penunggu pohon asam. Tak tanggung-tanggung, Nyai Sarasehan pun membayar Sugih dengan sekantong uang yang akan Sugih gunakan untuk membayar biaya operasi Arya. *** Fajar tiba dan saat Sugih membuka matanya, dia sudah tergeletak di bawah pohon asam, bukan lagi di kasur empuk dengan taburan bunga di atasnya. Di samping Sugih ada satu kresek hitam yang merupakan uang bibit yang harus digunakan Sugih untuk membuka usahanya. Setelah pendakian panjang Sugih membuat Nyai Saras puas dan selalu meneriakkan namanya saat badai kenikmatan menerpa, Nyai berpesan agar Sugih tidak menghabiskan semua uang yang akan dia dapatkan. Uang bibit itu harus dipakai Sugih untuk membuka usaha yang sudah dipastikan akan mendapatkan keuntungan berkali lipat hingga Sugih akan menjadi kaya mendadak tanpa menimbulkan kecurigaan para tetangga. “Terima kasih Nyai, untuk malam pertama yang penuh gairah. Aku akan kembali di Kamis Pahing bulan depan,” janji Sugih di depan pohon asam sebelum dia melangkah menapaki jalan pulang. Setidaknya Sugih akan mandi terlebih dulu sebelum berangkat ke rumah sakit dengan membawa uang untuk biaya operasi Arya. “Aku akan merindukanmu Sugih, Kelambuku akan selalu menunggu untuk kau sibak.” Blast …. Hembusan angina kencang membuat Sugih kembali bergidik bukan hanya karena dinginnya pagi yang membuat dia menggigil. Namun, juga aneka rasa lain saat Sugih merasa ngeri teringat ritualnya bersama Ki Broto sebelum malam pertamanya dengan istri gaibnya. Di sudut rumah sakit, tanpa Sugih tahu Mirna tak bisa sekali pun menutup matanya. Bayang-bayang suaminya melakukan hubungan suami istri dengan jin cantik pemimpin dedemit Leuweung Suwung. Dia memang memberikan izin pada Sugih untuk menerima tawaran Nyai Saras. Hanya saja tidak bisa dipungkiri di sudut hati terdalam, Mirna merasakan cemburu. Cemburu yang seharusnya tidak pernah ada karena dia lah yang meminta Sugih melakukan ritual kelambu gaib bersama Nyai Saresehan. Ritual pesugihan tanpa kuncen dan hanya bisa dilakukan oleh pria yang dipilih langsung oleh Si Nyai. Akan seperti apa rumah tangganya setelah malam ini sang suami bertemu dengan Nyai Saras. Akan kah suaminya membawa uang yang begitu dinantikan untuk biaya operasi Sugih, atau ….. Pikiran Mirna terus berkecamuk menanti kedatangan suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD