Akhirnya Fre bebas dari jeratan hukum setelah wajahnya tersorot media, salah satu teman yang ia percaya memfitnahnya dan menaruh barang terlarang ke dalam tasnya, hingga semua tuduhan ada padanya.
Fre duduk dihadapan kedua orangtuanya sesekali menundukkan kepala, tatapannya mengarah kepada sorot mata Mama dan papanya yang begitu kecewa dengan perbuatannya.
Fre masih kuliah dan masih harus mengejar impian dan cita-citanya, namun ia malah sudah terjerat hukum di usia yang baru 21 tahun.
“Papa kecewa sama kamu, Fre, Papa benar-benar kecewa,” ujar Ilyas dengan amarahnya.
“Maafkan Fre, Pa,” lirih Fre.
“Maaf? Papa sudah beritahu kamu untuk fokus belajar, tapi kamu tidak mendengarkan papa dan malah sibuk bermain sana sini, lihat apa yang kamu temukan dari sikapmu yang pembangkang ini? Kamu menjadi seperti ini. Bukan hanya bikin malu, tapi kamu mengecewakan Papa,” ujar Ilyas dengan sorot mata kesal.
Fre menundukkan kepala, ia tahu kesalahannya, ia tahu apa yang terjadi dan bagaimana ulahnya selama ini, ia tidak pernah mendengarkan papa dan mamanya, ia malah asyik bermain dan percaya bahwa teman-temannya adalah teman yang tulus.
“Papa malu, Papa benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Fre.”
Fre masih diam, karena berbicarapun percuma, ia tidak bisa membela diri karena semua kesalahan ada padanya. Fre harus tenang.
“Karena perbuatanmu, kita sudah bangkrut, bagaimana kita bisa hidup?" tanya Ilyas memandang putrinya dengan tatapan amarah yang ia tahan karena tak ingin menyakiti siapa pun.
“Mama juga kecewa sama kamu, Fre.” Helena melanjutkan.
“Pa, Ma, Fre akan melakukan semua yang Papa dan Mama inginkan, Fre tahu Fre salah, Fre tahu sebesar apa dampak perbuatan Fre, tapi Papa dan Mama juga tahu Fre nggak mungkin melakukan hal itu."
"Fre, kita sudah kehilangan segalanya. Kita akan menjadi miskin," lirih sang Mama.
"Ma, Pa, apa ada cara lain agar kita nggak bangkrut?"
Ilyas dan Helena bertukar pandangan. Sebenarnya ada satu cara, tapi mereka tidak mungkin melakukan itu, tidak mungkin mereka mengorbankan putri mereka hanya demi kekayaan.
"Sudah lah, Nak, tidak ada cara lain. Bangkrut ya bangkrut." Helena menggeleng.
"Walau harapan itu kecil nggak ada? Fre janji akan melakukan segalanya, Ma, Pa. Dengan mengorbankan diri Fre juga Fre mau. Fre akan melakukan apa pun itu untuk menebus dosa Fre."
"Sebenarnya ... ada satu cara untuk menyelamatkan keluarga kita." Ilyas menunduk sesaat.
"Pa, maksudnya? Papa jangan menjual Fre." Helena langsung menentang, ia tidak mungkin membiarkan putrinya melakukan hal itu.
"Menjual?" Fre menautkan alisnya.
"Masuk kamar kamu. Jangan dengarkan Papa kamu." Helena menggelengkan kepala.
"Ma, hanya itu satu-satunya cara." Ilyas melanjutkan.
"Papa jangan aneh deh. Kita hanya punya putri."
Fre memandang kedua orangtuanya yang saat ini sedang berdebat. Fre tak mungkin membiarkan usaha papanya hancur seketika hanya karena masalah yang ia buat.
"Pa, Ma, sudah. Katakan saja, apa yang bisa Fre lakukan? Fre akan melakukan apa saja untuk keluarga ini."
"Dengan menikah." Ilyas langsung menjawab.
"Pa!" Helena berusaha menghentikan.
"Menikah, Fre. Keluarga Riyadi sedang mencari menantu perempuan untuk putra mereka. Dan, hanya keluarga Riyadi yang dapat menolong kita. Keluarga itu adalah investor terbesar dan nomor satu di negeri ini, bahkan usaha dan kekayaannya ada dimana-mana. Jika kita berbesanan dengan keluarga Riyadi, seluruh hidup kita dari saat ini hingga nanti akan baik-baik saja, kita juga akan semakin kaya." Ilyas menjelaskan.
"Jika putra mereka sudah kaya dan mapan seperti itu, kenapa harus mencari jodoh? Bukannya jika menunjuk wanita manapun, semuanya akan berjejer masuk ke keluarga itu?"
"Ya. Jika semudah itu," ucap Ilyas.
Fre menoleh menatap sang Mama yang tak setuju dengan Ilyas.
"Jika memang keluarga Riyadi dapat menolong keluarga kita, Fre mau menikah dengan putra mereka."
"Kamu yakin?" tanya Ilyas.
"Iya. Fre yakin." Fre mengangguk, ia tak perlu mengkhawatirkan apa pun, karena keluarga itu kaya raya. Bisa merubah semuanya.
Demi keluarganya, Fre akan melakukan apa saja.
"Ada apa ini? Kenapa wajah Papa dan Mama berubah?"
"Kamu yakin mau menikah?" tanya Helena. "Apa pun keadaannya?"
"Iya. Fre yakin, Ma. Memangnya ada apa?"
"Kamu tidak ada pacar?" tanya Helena lagi.
"Tidak ada, Ma." Fre berbohong, padahal ia memiliki hubungan dengan pria yang cukup dewasa, pria itu sudah menikmati tubuhnya dua kali. Pria yang membawanya pergi dari bar ketika media menyorot wajahnya.
"Jika kamu mau, kamu akan menikahi pria vegetatif."
"Apa?" Fre membulatkan mata.
"Lebih baik kan jika putra mereka vegetatif? Jadi, Fre tak perlu berusaha menjadi istri yang baik." Ilyas melanjutkan.
"Papa serius mau menikahkan Fre dengan pria itu? Siapa yang akan melindungi Fre? Jika putra mereka itu tidak sadar?" Helena melanjutkan.
"Mama tidak sedih, kah? Usaha yang Papa bangun selama ini bangkrut begitu saja. Papa sudah stress memikirkan semua ini. Apa gunanya papaa berusaha jika ternyata hancur juga?"
"Tapi—"
"Ma, pahami Papa."
"Tapi ini pernikahan," ucap Helena.
"Mama sama Papa jangan berdebat terus, semua keputusan kan ada pada Fre, jadi Fre memutuskan. Fre akan menikahi Putra mereka yang vegetatif anggap saja Fre sedang mendapatkan hadiah atau menjadi istri di atas kertas." Fre tersenyum ketir.
"Tapi yang akan kamu jalani adalah pernikahan, bukan permainan. Kenapa kamu menganggap menikah dengan Putra mereka adalah sesuatu yang membuat kamu senang?"
"Yang penting Papa tidak kehilangan perusahaan. Fre akan bertanggung jawab atas apa yang Fre lakukan, karena semua ini adalah salah Fre. Maafkan Fre jika Fre sudah buat mama dan papa kecewa."
"Jadi kamu mau menikah dengan putra mereka?" Helena menautkan alis.
"Walaupun dengan pria vegetatif, tapi dia cukup kaya, Ma."
"Kamu yakin dengan hal ini?" tanya Helena lagi.
Fre sebenarnya menyukai pria yang baru ia temui bebedapa hari yang lalu, namun pria itu pasti tak akan bisa membantu keluarganya.
Fre melihat senyum pahit di wajah sang Mama yang tak setuju jika ia menikah dengan pria yang tak bisa di andalakan. Namun, hanya itu satu-satunya cara agar semua kembali normal.