Loe gue END

1518 Words
Masa SMA adalah masa-masa yang terindah, jika saja waktu boleh diulang mungkin penulis juga mau kembali ke masa itu. Selama kurang dari setahun Rey dan Nindy menjalani masa-masa indahnya pacaran. Hingga akhirnya perpisahan itu harus datang juga dan tak mungkin lagi mereka hindari. Rey harus melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan keingian orang tuanya dan juga cita citanya. Destinasinya saat itu adalah kota Apel Malang, Jawa Timur. Sementara si Nindy memilih di ibukota Kalimantan Timur Samarinda. Sempat ia membujuk Rey agar memilih destinasi yang sama agar mereka tidak terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Tapi Rey sudah terlanjur memilih saat itu, dan juga semua keperluan sudah dilengkapi administrasi menuju kota barunya. Rasanya tak mungkin mengubah haluan hidupnya, satu sisi ia tak ingin mengecewakan orang tuanya, karena ini memang sedari awal keinginan Rey sendiri. Ada sedikit rasa kecewa pada Nindy saat tahu Rey tetap keukeh pada pilihannya. Padahal ia sangat berharap bisa bersama Rey mengarungi pendidikan di kota orang. Tapi Rey enggan mengubah keputusannya tersebut, karena efeknya bisa kemana mana, terutama dengan kedua orang tuanya. Malam sebelum hari H perpisahan, Rey mengunjungi Nindy di rumahnya. Ada rasa yang sangat berbeda dengan hari-hari indah saat mereka lalui. Malam itu rasanya enggan cepat berlalu. Nindy terus menerus mengeluarkan air matanya, ia enggan melepas Rey yang akan pergi jauh. Tangisan Nindy tetap ga dapat merubah keputusan Rey, ia tetap harus melangkah mengejar cita-citanya, menjadi pemain basket profesional serta mengejar Sarjana Ekonomi. Inilah titik awal perpisahan cinta pertama bunga sekolah dan sang bintang basket. Keesokan harinya Rey sudah mempersiapkan semua perlengkapan selama ia merantau di kota orang. Tiket pesawat, pakaian, Walkman dan kaset-kaset lagu romantic buat menemani ia saat menahan rindu kekasihnya. Masih jelas teringat dalam kenangan yang indah saat malam tadi mereka berpisah, sebuah ciuman yang di bumbui tangisan sang dewi yang enggan melepas moment tersebut. Sungguh moment itu akan sulit dilupakan Rey selama hidupnya. Dalam perjalanan menuju bandara, ia sempat memutar music di dalam mobil abahnya. Sebuah lagu perpisahan dari Stinky Band yang membuat ia tersenyum membayangkan Nindy. Setibanya di bandara ia masih sempat menghubungi Nindy melalui telepon umum yang ada di lokasi bandara. Rasa rindu sebelum meninggalkan kota kelahiran sangat sulit di tahan. Hingga akhirnya ia harus duduk manis di dalam kabin saat burung besi tersebut akan take off dari kota kelahiran Rey. [Bye kotaku, tunggu saat liburan nanti aku kan kembali dengan sejuta cerita] Malang, 1997. Seminggu sudah Rey menginjakkan kakinya di kota Malang. Tinggal bersama para senior di sebuah asrama khusus anak Tarakan membuat Rey harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Cuaca kota Malang yang begitu dingin membuat Rey sedikit kaget dengan keadaan tersebut. Beruntung ia sudah mempersiapkan segala kemungkinan itu. Dengan bantuan keluarga angkat dari abah ia bisa menjadi penghuni asrama Kaltim. Namun sayang Rey tak bisa menyesuaikan dengan keadaan di asrama. Apalagi dari segi tata krama ia tidak menghargai para seniornya. Memanggil senior dengan sebutan kakak saja Rey enggan melakukannya. Karena ia sudah terbiasa di rumah memanggil abangnya sendiri dengan panggilan nama tanpa embel embel kakak atau abang. Dengan sangat terpaksa Rey pun pindah tempat tinggal dengan mencari kontrakan di sekitar kampus yang akan ia tinggal.Bersama sahabatnya dari Tarakan juga yaitu si Aco, ia berhasil mendapatkan tempat tinggal yang layak dan kebetulan cuma cuma juga alias tidak bayar. Tapi itupun tidak lama karena mereka harus terusir dari rumah itu karena sebenarnya kami hanya diberi tumpangan sementara. Beruntung setelah itu Rey mendapat tawaran rumah kontrakan dari seseorang. Ia pun tak menolak tawaran tersebut. Kali ini ia harus berpisah dengan Aco sahabatnya karena memang mereka beda kampus yang akan di pilih. Bila Rey memilih sesuai jurusan dengan sekolahnya dulu yaitu IPS, maka si Aco memilih jurusan tehnik sesuai dengan jurusan sekolahnya dulu yaitu IPA. Hubungannya dengan kekasih masa SMA masih terus berlanjut. Mereka masih sering menjalin komunikasi, walau hanya lewat sebuah kotak Wartel, malahan terkadang lewat sepucuk surat. Zaman saat itu gadget belum ditemukan, hanya mengandalkan kertas surat dan pesawat telepon. Jadi masih menggunakan cara yang tradisional. Sebulan mereka masih bisa intens menjalin komunikasi. Dalam seminggu Rey usahakan untuk menelpon Nindy, dan sebulan 2-3 kali mereka berusaha untuk berbalas surat. Sebenarnya Rey sangat rindu akan kehadirannya seorang Nindy. Apalagi ia berada di kampung orang, sendiri tanpa sanak saudara. Ia khawatir dengan Nindy yang terpisah jarak olehnya. Rupanya Rey sangat paham dengan sifat kekasihnya yang labil, mudah terpengaruh hatinya. Memasuki awal kuliah, Rey mulai disibukkan dengan aktivitas kampus. Sejak saat itulah hubungan mereka mulai ada perubahan. Telepon dan surat sudah jarang mereka lakukan. Lebih banyak Rey yang sering mengirim surat, namun balasan dari Nindy mulai jarang ada. Begitu juga lewat telpon, setiap di telpon ke asrama tempat dia tinggal, selalu dikabarkan Nindy sedang tidak ada di tempat. Rey coba tinggalkan pesan agar menelpon Nindy menelpon balikpun tetap tak ada respon dari kekasihnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berganti bulan, akhirnya datanglah sepucuk surat dari Samarinda. Saat itu matahari siang lagi teriknya menerpa kos yang terletak di sebuah kampung. Indahnya pemandangan sawah yang tumbuh persis di depan kos, tidak turut memberi keindahan situasi yang dialami Rey saat itu. Pak pos yang tiba-tiba hadir didepan kos, ia mengantar sepucuk surat buat Rey. Saat itu juga ia menyambut surat itu dengan antusias, langsung ia menutup pintu kamar. Rey sudah tak sabar ingin membaca surat tersebut. Dengan full sport jantung, ia baca perlahan-lahan surat tersebut. Raut wajahnya seketika langsung berubah. Harapannya yang begitu besar dengan hubungan mereka, ternyata terbalik 180 derajat. Saat itu juga ia merasakan dunia hidupnya seperti runtuh seketika. Lewat secarik kertas Rey telah dicampakkan seketika. Tong sampah kecil yang terbuat dari plastik yang ada di kamar  menjadi pelampiasan amarahnya. Surat itu dan semua surat-surat yang pernah dikirim Nindy yang ia simpan begitu rapi, dibakar semua dalam tong plastik itu. Rey sampai lupa kalau tempat sampah itu terbuat dari plastic. Jadi bisa kebayang, sudah tong itu jadi bolong dan meleleh, kamarnya  pun jadi penuh dengan asap dan berbau. Untung saja saat itu di kos tidak ada teman-temannya, kebetulan mereka lagi pada keluar. Rei lalu merenung, meratapi sisa bakaran surat itu. Seakan ia tak percaya dengan isi surat itu, tapi kertas itu sudah terlanjur ia bakar. Ia lupa kenapa tak mencoba meneliti apakah memang benar itu tulisan Nindy. Betapa bodohnya ia, karena emosi sesaat semua jadi tak terkendali. Ah sudahlah bagaimanapun Rey harus terima kenyataan ini. Nindy berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Bagaimanapun juga ia memerlukan seorang untuk bersandar kala ia sedang sedih, dan Rey tak mampu melakukan itu. Anggap saja ini kesalahannya karena resiko terpisah jarak dengan doi. Ada rasa penyesalan saat itu, kenapa selama ini ia memilih setia. Padahal mulai masuk kuliah Rey sudah coba tebar pesona dan ternyata respon yang ia dapat juga lumayan. Seharusnya ia ga perlu setia dengan Nindy. Tapi sudahlah semua sudah berlalu, tak mungkin lagi bisa diulang. Sejak hari itu Rey bersumpah, ia ga akan serius dengan gadis manapun. Awal-awalnya memang sulit untuk melupakan seseorang yang memiliki arti dalam hidupnya. Namun life must go on, setelah ia mencoba jalani, perlahan akhirnya Rey mendapat ritmenya. Ada salah satu gadis di kampus, kebetulan doi satu kelas sejak dari awal masuk kuliah. Doi asli orang jawa, dari Pare - Kediri. Orangnya pendiam, kulitnya putih bersih, bodynya bohai, dan dikelas jadi idola juga. Sebut saja namanya Evi. Awalnya Rey sering mencuri perhatian ke doi. Setiap di pandangi doi selalu tersenyum malu-malu. Hmmm … sepertinya umpan sang PK dapat mangsanya dalam hati Rey. Tak butuh waktu berapa lama, ternyata doi malah datang ke kos Rey seorang diri. Wah kebayang kan, seorang cewek mendatangi cowok di kos-kosan cowok lagi, sarangnya penyamun nih kata orang. Teman-teman Rey satu kosan langsung pada heboh. Ga nyangka ada cewek yang berani datang ke sarang penyamun, pikir mereka begitu. Belum tau dia pellet orang Kalimantan, dalam hatiku terkekeh. Saat itu Rey masih belum berani melakukan sesuatu hal yang diluar batas kewajaran. Mereka hanya ngobrol di ruang tamu. Bodoh banget ya, padahal ini adalah timing yang pas buat seorang Penjahat Kelamin ya guys … Hingga sampailah waktunya doi harus kembali ke kos nya. Waktu itu Rey belum memiliki kendaraan, jadi terpaksa ia nganter doi dengan berjalan kaki. Lumayan juga jaraknya, walau masih sekitaran kampus. Hari-hari berikutnya Evi ternyata turut berubah juga. Rey menghubungi lewat wartel, tidak pernah di respon lagi. Dan ternyata doi sudah jadian duluan dengan teman Rey juga. Apesnya lagi dia teman mereka sekelas juga. Lebih serem lagi pacar doi orang Kalimantan juga, hanya beda kota dengan Rey. Wajar saja doi memilih teman itu. Masih turunan borju kala itu karena bokapnya gawe di PKT, salah satu perusahaan bonafid di kota Kalimantan.Sudah pasti, jadilah Rey bahan bully teman di kos-kosan, karena mereka tahu history hubungannya dan Evi. Pernah Rey bertemu doi dengan cowoknya saat di jalan, sedikitpun doi tidak memandangnya. Mungkin dia memang tak melihat karena doi dengan pacarnya sedang asyik dalam mobil itu. “Pantes saja aku kalah, rupanya karena ‘pelet’ jepang itu, sialan!” umpat Rey dalam hati. Kembali terpacu semangat dan amarahnya, karena ia merasa kalah saing. Rey merasa ada modal, yaitu keberanian dan tampang yang ga jelek-jelek amat di banding pacar Evi. Meski ia kalah di materi, paling tidak tekad sudah ada duluan.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD