Bagian satu
Hujan deras mengguyur perumahan elit malam itu. Tepat pukul satu dini hari, Razky melangkah pulang dengan pakaian basah kuyup. Ia langsung masuk ke dalam rumah, udara dingin menusuk kulitnya, tapi yang lebih menusuk adalah pandangan pertama yang ia temui—Ririn, istrinya, berdiri membelakanginya di dapur dalam diam.
Hanya suara detak jam dan gemericik hujan yang terdengar.
“Kenapa belum tidur?” tanya Razky, suaranya pelan, ragu.
Ririn tak menjawab. Ia hanya menggeser tablet di atas meja ke arahnya.
Razky melangkah mendekat. Saat matanya menangkap isi layar, napasnya tertahan. Semua bukti perselingkuhannya terpampang jelas—pesan, foto, catatan perjalanan bisnis yang palsu.
“Kamu selingkuhin aku?” suara Ririn serak, penuh luka. “Kenapa, Razky? Kamu nggak ingat siapa yang bikin kamu jadi seperti sekarang?”
Razky terdiam. Kedua tangannya mengepal, menahan getar ketakutan. “Aku bisa jelasin,” ucapnya perlahan.
Ririn berbalik menghadapnya. Tatapannya tajam, tapi ada air mata yang menggantung di sudut mata. “Itu kalimat klasik semua pria ketika ketahuan selingkuh,” katanya datar. “Kita cerai, Razky. Anak-anak ikut aku. Aku nggak akan bongkar aibmu, tapi kasih aku setengah hartamu.”
Nada suaranya rendah, tak ada ancaman—justru terlalu tenang. Tapi di balik mata itu, ada amarah dan kekecewaan yang menumpuk bertahun-tahun.
“Rin…” Razky melangkah mendekat.
“Mau ngomong apa?” potong Ririn dingin. “Mau bilang kalau ini semua salah aku?”
Razky memejamkan matanya, suaranya lirih, penuh sesal. “Aku minta maaf. Aku akan putuskan dia. Maafin aku, sayang.” Tangannya terulur, ingin menyentuh wajah Ririn, tapi Ririn menepis keras.
“Jauhkan tangan kotormu dari wajahku!” bentaknya. “Kamu lupa, Rahmi buang kamu sampai rela hamil anak sepupumu sendiri? Karena kamu psikotik, Razky! Gila! Dan pekerjaanmu kotor! Aku yang narik kamu dari lumpur itu, aku yang bikin kamu jadi CEO. Tapi namanya binatang, dikasih makan tuannya malah digigit! Aku mau cerai. Hidup tanpamu pun aku bisa!”
Ririn melipat kedua tangannya, berdiri tegak. Kata-katanya seperti cambuk.
Razky menunduk. Napasnya berat, matanya kosong. Lalu tiba-tiba, amarah mengambil alih. Ia mengepalkan tangan, dan dalam satu gerakan kasar, mendorong leher Ririn ke meja hingga terangkat beberapa sentimeter dari lantai.
“Aku memang psikotik!” suaranya serak, nyaris histeris. “Kalau gitu, gimana kalau kamu mati saja?!”
Ririn berusaha meronta, tapi kekuatannya tak sebanding. Napasnya tercekat, wajahnya memucat. Razky mendorongnya lebih keras, dan tanpa sadar, kepala Ririn membentur ujung meja tajam.
Tubuhnya terhempas. Sunyi.
Ririn tak bergerak.
Razky terpaku beberapa detik. Detik berikutnya, wajahnya pucat pasi. Ia berjongkok, menepuk pipi istrinya dengan panik. “Rin… Rin, bangun. Aku cuma—aku nggak bermaksud….” Tangannya gemetar saat menyentuh leher Ririn, mencari denyut. Nadinya lemah. Terlalu lemah. Dan di bawah kepalanya, genangan darah mulai meluas.
“Ya Tuhan…” desisnya, nyaris tanpa suara. “Apa yang kulakukan?”
Ia menjerit—campuran antara takut, penyesalan, dan kebencian terhadap dirinya sendiri. “Sialan! Aku… iblis bodoh!”
Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tubuh istrinya dan berlari keluar rumah di tengah hujan. Mobilnya melaju kencang, remang jalan basah hanya menambah kepanikan di wajahnya.
Ia menelpon seseorang dengan tangan gemetar.
“Bang… tolong, istriku… Ririn, dia pingsan… cepat ke UGD, aku di rumah sakitmu!”
Begitu sampai di rumah sakit milik kakaknya, Rafky, ia langsung berlari ke ruang gawat darurat.
Rafky yang sedang berjaga terkejut melihat adiknya dalam keadaan kacau. “Apa yang terjadi?” tanyanya, segera memeriksa tubuh Ririn. Saat melihat memar di leher adik iparnya, wajahnya menegang. “Kamu apakan dia, Razky?”
Razky tak bisa bicara. Air matanya tumpah, bahunya bergetar. “Aku nggak sengaja… aku cuma—aku…”
Kata-kata itu terputus di tenggorokannya.
Rafky menatapnya dengan tatapan getir. “Keluar. Sekarang,” katanya tegas. “Biar aku tangani dia.”
Razky menunduk, mundur perlahan, tangannya gemetar di sisi tubuh. Ia berdiri di balik tirai, mendengar suara alat medis, dan untuk pertama kalinya… ia benar-benar takut kehilangan.
💜💜
Lampu-lampu ruang gawat darurat menyala terang, menembus kulit pucat Ririn yang terbaring tak berdaya di ranjang pemeriksaan. Bau alkohol medis dan suara mesin monitor berpadu menciptakan suasana dingin yang menekan d**a siapa pun yang ada di ruangan itu.
Rafky berdiri di sisi ranjang, sarung tangan sudah terpasang. “Pasang infus baru. Siapkan alat senter, saya cek pupilnya,” ujarnya cepat namun terkendali.
Suster mengangguk dan bergerak sigap. Rafky mencondongkan tubuh, menyorotkan cahaya ke kedua mata Ririn.
“Pupil kanan melebar, kiri lambat responsnya...” gumamnya pelan. Ia berpindah, menempelkan stetoskop ke d**a sang pasien, mendengar dengan seksama.
Beep... beep...
Suara monitor detak jantung terdengar lemah, tapi stabil.
“Tekanan darah naik sedikit, Dok.”
“Pertahankan. Kompres bagian kepala, jangan sampai suhu tubuh turun.”
Rafky membuka perban di kepala Ririn. Rambutnya masih lembap oleh darah dan air hujan. Luka terbuka tampak di belakang kepala, tak terlalu besar, tapi cukup dalam.
“Siapkan perban steril dan alat CT. Kita harus tahu seberapa parah benturannya,” katanya sambil menekan pelan luka itu agar darah berhenti mengalir.
Sementara di balik tirai putih, Razky berjalan mondar-mandir tanpa arah. Suara langkah sepatunya yang basah bergaung di lantai keramik. Tangannya berkeringat, tubuhnya gemetar. Setiap kali suara alat medis berbunyi, jantungnya ikut berdegup lebih cepat.
Ia berhenti tepat di depan tirai, tapi tak berani menyibakkannya.
Wajahnya menunduk, napasnya berat.
Semua yang ia dengar hanya potongan suara Rafky — cepat, tegas, dan menegangkan.
“Pupil anisokor... kemungkinan trauma kepala sedang...”
“CT segera, jangan tunda!”
Razky menggigit bibirnya hingga berdarah, mencoba menahan teriakan yang nyaris lolos dari tenggorokannya. Ia duduk di kursi, menyembunyikan wajah di kedua tangannya.
Kalau dia mati... aku ikut mati.
Pikirannya menjerit di dalam diam.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang radiologi terbuka. Dua perawat mendorong ranjang Ririn ke dalam ruang CT scan. Rafky mengikuti di belakang, memastikan setiap prosedur berjalan sempurna.
Di balik kaca ruang kontrol, bayangan tubuh Ririn tampak di bawah sinar putih mesin pemindai. Setiap putaran alat seakan memperlihatkan detik-detik antara hidup dan mati.
Rafky menatap layar hasil scan yang perlahan menampilkan gambar otak Ririn. Wajahnya menegang. Ia menatap lama, seolah berharap matanya salah lihat. Tapi tidak. Ada pendarahan kecil di bagian temporal kanan.
Ia menutup mata, menarik napas panjang. Rahangnya mengeras.
“Rawat di ruang observasi. Jangan biarkan dia sendirian,” katanya dingin pada suster.
Begitu Ririn dipindahkan, Rafky berdiri lama di depan layar CT itu, kedua tangannya mengepal.
Detik berikutnya, ia keluar dan mendapati Razky masih di luar — duduk lemah di kursi tunggu, dengan wajah hancur.
Rafky berhenti beberapa langkah di depannya.
“Benturan di kepalanya parah,” katanya tanpa basa-basi. “Kau beruntung dia masih hidup.”
Razky mendongak, mata merah, wajahnya basah oleh air mata dan hujan yang belum kering. “Kak…” suaranya nyaris tak terdengar. “Dia akan sadar, kan? Tolong bilang dia akan sadar.”
Rafky menatapnya tajam, tapi di balik sorot matanya, ada luka yang sama dalamnya.
“Aku nggak tahu, Raz. Semua tergantung seberapa kuat tubuhnya melawan. Tapi satu hal yang pasti…”
Rafky mencondongkan tubuh, suaranya rendah dan berat.
“Kalau Ririn nggak bangun, kau nggak akan bisa hidup dengan tenang seumur hidupmu.”
Kata-kata itu menghantam seperti peluru.
Razky menunduk lagi, menatap lantai dengan pandangan kosong.
Tangannya gemetar, dan air matanya menetes tanpa suara.
Di balik kaca ruang observasi, tubuh Ririn terbaring dengan selang infus, monitor detak jantung, dan perban di kepala. Hanya suara beep... beep... yang menandakan bahwa nyawanya masih bertahan.
Dan malam itu, di tengah suara hujan yang belum reda, dua pria itu tenggelam dalam kesunyian yang berbeda—
Yang satu berjuang untuk menyelamatkan hidup orang lain.
Yang satunya lagi… berjuang untuk menebus dosa yang mungkin tak akan pernah bisa diampuni.