Ngidam?

3349 Words
     “Ma… Mama lihat dasi milikku?” tanya Marshal sembari membongkar pakaian – pakaian  yang baru saja dibereskan oleh Marrey di sofa ruang tengah.         Jam sudah menunjukkan jam enam pagi namun, Marshal baru memakai kemeja dan celana katunnya tanpa merapikan penampilan rambutnya yang masih berantakan layaknya sarang burung acak - acakan. Sementara itu Marrey yang sudah sedari tadi terbangun sedang mencuci piring menyambi memasak menu sarapan untuk pagi ini.         “Mama enggak melihat dasi kamu. Mungkin ada di lemari, kamu cari saja sekalian memasukkan pakaian itu ke dalam lemari,” jawab Marrey tanpa menoleh.         Marshal berhenti sejenak. “Di lemari cuma ada dasi hitam, Mama. Hari ini Marshal mau pakai dasi merah.”         “Coba kamu tanya sama Karina, siapa tahu dia melihat dasi yang kamu maksudkan.” Marrey memberi saran.          Marshal pun bergegas mencari Karina yang duduk di halaman samping rumah, ketika Marshal datang Karina belum melakukan apa-apa. Masih menyerana menatap air yang mengalir dari selang  dengan tenang menuju permukaan kolam ikan yang ada di bawah undakan anak tangga terakhir, ikan koi berwarna putih dengan corak oranye dan merah berkecipak berebut pakanan, berenang ke sana ke mari mencari ruang untuk makan.          Perlahan Marshal mendekati Karina yang sedang menyerana, mengulas senyum hampa yang akhirnya juga tak terbalas. “Karina… kamu lihat dasi punyaku?”          Karina menggeleng. “Di lemari ‘kan banyak dasi. Kenapa repot – repot menanyakan dasimu kepadaku.”          “Eum… iya aku tahu akan hal itu. Tapi, aku mau pakai dasi yang kemarin aku jemur di halaman samping,” kata Marshal.        “Ini yang kamu cari?” Karina menyerahkan sebuah dasi berwarna merah strip hitam dan putih di ujungnya.          Awalnya Marshal tersenyum senang karena menemukan dasi favorite- nya itu lantas ingin segera memakainya namun, belum sempat ia memasangkan dasi tersebut di balik kerah kemeja Marshal menyadari sesuatu yang janggal terhadap dasi tersebut. Ia menyadari bahwa dasi tersebut sudah terjahit menjadi satu bagian dan tak bisa dipakai untuk pergi ke kantor, Ia menarik dasi tersebut dan memerhatikan dasi yang sudah terbentuk menjadi boneka tanpa kepala itu.          “Astaghfirullah, Ini kenapa? Kamu jahit jadi boneka?” tanya Marshal dengan wajah bingung, “Karina… aku enggak punya banyak waktu untuk mencari dasi lain, ini dasi favoriteku.”         “Kamu mengeluh?” tanya Karina dengan nada sedikit sinis         “Astagfirullah, bukan begitu Karina. Terus ini bagaimana? Masa aku enggak pakai dasi?” tanya Marshal agak kesal.         “Aku enggak mau tahu intinya bayi kita ingin menjahit dasi kamu  menjadi boneka seperti itu, dan kalau kamu memang benar – benar ikhlas untuk menjadi ayah seharusnya kamu enggak mengeluh seperti ini,” jawab Karina lagi.           Marshal memijat pelipisnya pelan, menarik napas panjang sembari mengucapkan istighfar dalam hati dan membuangnya kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengelus puncak kepala Karina. Ia masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah sembari menahkikan  kancing kemejanya yang sudah agak berantakan karena banyak bergerak, wajahnya terlihat sangat kuyu karena melihat dasi hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas dari Teguh, Ayahnya sudah menjadi tidak keruan. Tapi, lagi-lagi ia mengucapkan istighfar dalam hati karena bagaimanapun Karina sedang mengandung anaknya sendiri.           Marrey menoleh ketika melihat wajah Marshal yang seperti orang tertekan, sudah nyaris seperti orang mempunyai masalah besar. Lantas Marrey menghampiri Marshal yang masih duduk menyerana di sofa ruang tengah.         “Kenapa, kalian bertengkar lagi?” tanya Marrey heran.         “Enggak apa-apa, Ma. Kami enggak bertengkar kok, Cuma dasinya  dijahit menjadi boneka oleh Karina,” jawab Marshal menunjukkan dasinya yang sudah terjahit.         Marrey menahan tawa. “Masya Allah... Sudah kamu pakai dasi warna biru saja, lagi pula Mama lihat kemeja yang kamu pakai sekarang termasuk warna netral dan bisa dipadu dengan warna apa saja. Sekarang sudah hampir jam tujuh, ayo segera sarapan, kamu bilang kemarin pagi ini ada meeting penting.”         Dengan enggan Marshal kembali ke kamarnya di lantai atas untuk mengambil dasinya yang berwarna biru navy dan segera memasangnya sendiri. Setelah dirasa siap semua ia turun ke bawah menemui Marrey dan Karina yang sudah bersiap di meja makan untuk sarapan pagi itu. Oseng – oseng paku, ayam lodho, dan ketupat sayur tersaji dengan hangat di atas meja makan, membuat perut siapa saja bersenandung meminta bagian yang paling lezat untuk dinikmati pagi itu.        Marrey hanya memasak beberapa sajian biasa karena ia sendiri tak tahu apa masakan yang disukai oleh menantunya itu. Sementara Marshal menyukai segala macam masakan yang dimasak olehnya, saat mereka sedang asyik menyantap sarapan pagi itu  Karina membuat suasana sedikit tegang.        “Aku ingin kerja,” ucap Karina tiba-tiba saat sedang mengunyah makanannya.         Marshal yang baru saja duduk setelah mengambil air mineral dan ingin mengambil nasi terkejut bahkan hampir tersedak saliva miliknya sendiri. Marrey pun ikut terkejut mendengar ucapan Karina yang keluar begitu saja tanpa tedeng aling – aling, Marshal melirik Karina meminta kejelasan namun, tidak ada kejelasan sama sekali dari Karina.       Dengan  sangat terkejut Marshal bertanya kepada Karina,   “Kerja? Tunggu, Kamu sedang bercanda? Kamu lagi hamil lho, mau kerja apa?”         “Memangnya perempuan hamil enggak boleh kerja? Sekarang ini zaman sudah maju, masih bayi sampai udah aki – aki pun bisa kerja. Lagi pula sekarang banyak pekerjaan yang enggak terlalu berat untuk dijalani,” Karina mengelak.         “Kerja apa yang enggak berat… Karina? Kamu ini lagi hamil, jangan macam-macam, ya. Lagi pula fitrahnya seorang perempuan itu di rumah, kalau kamu mau kerja di rumah okay, I strongly agree, and sincerely as long as you don't leave the house,” gemas Marshal menekan setiap sendi perkataannya.          Karina memainkan makanannya di piring. “Intinya aku mau kerja, mau punya uang sendiri, memangnya salah kalau aku mau bekerja? I need my own right.”          “Astagfirullah, Karina… kamu dengarkan Mama ya, kamu ini ‘kan masih hamil… kamu juga masih trauma bertemu banyak orang, ‘kan? Mama sarankan agar kamu enggak bekerja dulu sampai keadaan kamu benar-benar memungkinkan. Mama juga setuju sama perkataan Marshal tadi, kamu boleh bekerja asalkan tidak keluar jauh dari rumah, Mama khawatir kalau kamu kembali merasa tertekan.” Marrey ikut membujuk Karina.          “Kalau seumpamanya aku enggak boleh kerja, aku mau kamu membeli cokelat delfi enam kardus dan tanpa penolakan,” cetus Karina.          “Cokelat delfi enam kardus? Masya Allah, mau kamu buat apa? Mau kamu jual online?” tanya Marshal dengan alis tertaut menjadi satu, bahkan urat – urat di dahinya tergambar jelas berwarna kehijauan       Karina meletakkan kembali sendok juga garpu yang ia pegang ke atas piring.  “Ya jelas, ingin aku makan enggak mungkin ingin aku jual lagi, lagi pula istri mau kerja malah enggak boleh bagaimana mau membahagiakan istri kalau begini saja tidak bisa,” balas Karina.           “Oalah… kamu ini mau kerja karena mengidam ingin membeli cokelat memakai uang kamu sendiri, seperti itu? Subhanallah... kalau kamu sedang menginginkan sesuatu lebih baik berbicara langsung saja, enggak perlu merasa sungkan untuk meminta.” Marrey mulai berujar sembari menahan tawa.            Sementara Karina hanya diam tetap mempermainkan  ayam lodho yang ada dipiringnya—menjadi beberapa suwiran tak berbentuk seperti topping bubur ayam. Marshal mengernyit heran karena memikirkan keanehan yang terjadi pada Karina pagi ini, di sisi lain ia merasa bahagia karena bisa mencuri kesempatan meluluhkan hati Karina yang sudah hampir membeku karena kelakuannya sendiri, lagi pula ini adalah sebuah kesempatan yang luar biasa bagus untuk merasakan detik demi detik menjadi calon ayah—rekan kerjanya, Bulan pernah berkata bahwa detik demi detik menjalani masa menjadi calon ayah adalah hal paling menyenangkan, dan hal yang paling dirindukan saat seorang anak sudah menjadi dewasa.          Marshal beringsut membenahkan posisi duduknya yang sangat menyakitkan. “Ya, sudah. Nanti aku akan membelikan cokelat delfi yang kamu mau.”         “Maunya nanti sore, enggak ada kata besok. Kalau nanti sore kamu pulang tanpa cokelat yang aku mau lebih baik telan saja sendiri cokelat itu,” kata Karina lagi.          Marrey menepuk pelan bahu Marshal. “Jangan lupa membelikan cokelat setelah kamu pulang kerja, jangan sampai menunda-nunda kasihan nanti anak kalian.”         “Iya, Ma.”   ***          Karina baru saja ingin menutup pintu halaman samping saat sebuah ketukan terdengar di pintu utama. Marrey yang kebetulan sedang ke supermarket membuat Karina harus berjalan ke sana untuk mengecek siapa yang bertandang ke rumah jam sepuluh pagi—juga tanpa sepengetahuan Marshal sendiri. Dengan bersusah payah Karina berjalan menuju pintu utama sembari bertumpu dengan dinding dingin di sepanjang ruangan. Kaki t e l a n  j a n gnya melangkah perlahan menikmati rasa dingin yang diciptakan oleh ubin dan udara dari air conditioner.               Karina melihat LCD Smart door lock yang ada di dekat lemari sepatu, di dekat pintu utama yang sedikit menjorok ke depan menyisakan sebuah ruangan kubus persegi yang sangat kecil. Orang yang bertandang bukanlah Marrey melainkan Dania, kawan sejawat Karina yang sudah hampir sebulan dihindari dan diabaikan. Gadis  berhijab pashmina abu- abu iti datang sembari membawa beberapa kardus dan beberapa kantong plastik besar—entah berisikan benda apa.       “Assalamualaikum, Karina….”            Tintung! Tintung!          Karina masih berdiri di sana sampai Dania menekan bel tersebut berulang kali hingga bosan. Sesekali Dania melihat arloji di tangan kirinya kemudian ia menekan bel sekali lagi. Reaksi Karina tetap saja sama, Karina tidak ingin bertemu dengan Dania saat ini, ia sama sekali tidak ingin menampakkan wajahnya kepada Dania saat ini, ia tak ingin kawan sejawatnya juga ikut merasa sedih akan keadaannya yang begitu memprihatinkan, ditambah lagi Dania adalah gadis baik-baik yang mungkin saja namanya ikut tercemar oleh kasus Karina dan Marshal. itulah yang membuatnya enggan membukakan pintu. Terlihat Dania meletakkan sesuatu di sisi kanan pintu. Lantas ia pergi dari rumah Karina dengan kehampaan yang tampak jelas di wajahnya begitu pun di hati Karina. Karina menghela napas panjang, tanpa sadar butiran bening perlahan jatuh membasahi pipinya yang kusam. Hatinya benar-benar hampa kala itu, melihat kawan sejawatnya pergi dengan hati yang hancur karena merasa tak dibutuhkan lagi namun, bukan hal sepele yang dipikirkan oleh Karina saat itu. Hidup Dania bukanlah permainan yang pantas ia masuki dengan sebuah kasus tak bertepi layaknya lautan yang masih menyimpan misteri di dalamnya.             Ia terduduk di dekat rak sepatu, menumpahkan tangisnya yang tak berarti apa-apa, kelemahannya selama ini sudah terkuak begitu dalam nyaris tak tersisa—ia benar – benar tak bisa melihat orang terdekatnya merasa sakit hati karena dirinya. Tangan kurusnya perlahan terulur untuk mengambil ponsel yang sedari tadi pagi ia simpan di kantong blousenya—walaupun ia juga tak begitu berniat untuk kembali aktif di media sosial lagi.             Dania [ Aku tahu kamu ada di rumah… aku juga mengerti kamu pasti masih enggan bertemu denganku. Tapi, percayalah semua baik-baik saja… mereka semua tahu kamu menjadi korban fitnah. Mereka juga mengumpulkan uang untuk membeli perlengkapan ibu hamil. Aku tahu ini tidak seberapa untuk membantu ekonomi keluarga kecil kalian yang belum stabil tapi, setidaknya ini adalah bentuk dari rasa persaudaraan kami semua... di sini ada dari teman seangkatan kita juga dari panti asuhan.]         Dania [ Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa telepon aku, aku akan selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahmu. Insya Allah aku bisa membantumu. Oh ya, di salah satu kardus ada buku-buku milikmu. Aku sengaja mengumpulkannya dan mengantarkannya karena aku tidak mau buku itu rusak sia-sia.]         Karina tercekat membaca pesan chat yang dikirimkan Dania, pesan chat itu layaknya sebuah berangkal yang menggempur hatinya berulang kali dengan skala yang besar. Namun, ia mencoba untuk menahan sedu sedannya sendiri karena ia tahu hal itu adalah perbuatan yang sia-sia, tangisnya sama saja bahwa ia adalah orang yang sangat ringkih akan masalah . Masalah besar ataupun kecil tidak akan selesai dengan air mata, begitulah yang ia sering dengar dari beberapa orang tua.             KLEKK!         Karina meletakkan ponselnya saat pintu utama terbuka. Marrey masuk dengan membawa beberapa kantong plastik besar berwarna putih dan dua kardus yang terlihat sangat berat. Karina menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan, berusaha berdiri perlahan lantas menghampiri Marrey dan ingin membantunya namun, seperti biasa Marrey menolak karena takut hal itu akan membuat Karina keguguran.         “Tidak perlu, Karina. Ini tadi Mama temukan di dekat pintu, sepertinya dari teman kamu.” Marrey meletakkan kardus- kardus itu di hadapan Karina.         “Terima Kasih, Ma.” Karina melirik kardus itu dan berjongkok di hadapannya.      Marrey mendongak menatap Karina dan menyadari bahwa mata Karina sudah sembab. “Apa ada masalah, Karina? Mata kamu berkaca-kaca, ada apa? Apa tadi ada orang jahat yang datang ke sini dan membuat kamu menangis?”         Karina tersenyum tipis disertai sebuah gelengan kepala yang tak bisa menutupi kesedihannya. “Karina ingin makan cokelat secepatnya, Ma.”          “Kamu berbohong? Mama tahu kalau kamu baru saja menangis, ada apa? Apa ada tetangga yang berkata seenaknya kepada kamu sehingga kamu merasa sakit hati?” tuntut Marrey kepada Karina.         “Mama nanti masak apa?” tanya Karina mengalihkan topik pembicaraan.          Namun, tak semudah itu membuat Marrey yang sudah hidup lebih lama dari pada Karina percaya begitu saja. Marrey mengelus puncak kepala Karina. “Astaghfirullah... Karina... sebenarnya apa yang terjadi kepadamu, Karina? Bicara saja pada Mama.”          “Enggak ada apa-apa, Ma. Aku enggak punya masalah yang begitu besar, aku hanya merasa lelah saja. Bukan apa-apa,” ungkap Karina kemudian mengambil beberapa barang belanjaan Marrey dan membawanya ke kitchen set, mengabaikan Marrey yang masih bertanya-tanya apa yang terjadi kepada menantunya.           Marrey mengikuti Karina yang sudah berjalan ke kitchen set, kemudian memperhatikan satu persatu apa yang di dilakukan oleh Karina saat itu.                  “Hari ini Mama ingin memasak apa?” tanya Karina sedikit parau.          “Mama ingin masak sup ayam saja, memangnya kenapa? Kamu ingin memakan sesuatu yang lain?” tanya Marrey balik.        “Karina saja yang masak hari ini, Ma. Mama bisa beristirahat terlebih dahulu,” gumam  Karina.         Karena merasa Karina hanya mengidam ingin memasak untuk makan malam Marrey mengangguk pelan mengizinkannya untuk memasak sendiri untuk menu makan malam nanti.   ***        “Kamu kenapa cemberut seperti itu?” tanya Ridho saat para karyawan lainnya sudah mulai keluar dari ruangan mereka masing-masing untuk makan siang, termasuk Marshal dan dirinya sendiri.       “Aku lagi memikirkan permintaan Karina tadi pagi?” tanya Marshal.         “Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi?” tanya Ridho lagi.         “Astaghfirullah... jangan sampai kami bertengkar terus, aku hanya memikirkan Karina yang mulai mengidam aneh-aneh. Masya Allah, tadi pagi dia mengidam menjahit dasi pemberian Papa menjadi boneka, terus minta kerja yang terakhir kalau enggak diizinkan kerja dia minta cokelat delfi enam kardus," jelas Marshal dengan nada sedikit di tekan-tekan.          Ridho terkekeh lantas menutup mulutnya sendiri, merasa tak enak. “Yang namanya juga perempuan hamil, mengidamnya pasti beda-beda levelnya… tapi, kayaknya kalo Karina mengidamnya level sultan kali ya.”          “Jadi, ini nanti aku pulang ke Ancomart dulu beli cokelatnya pesanan Karina... Kamu bisa ‘kan menemaniku ke sana?” tanya Marshal.          Ridho memutar bola matanya dengan  malas. “Bagaimana kalau kamu traktir aku juga?”         “Sebenarnya aku tidak mempunyai banyak uang hari ini, aku juga sebenarnya ingin meminjam beberapa lembar uang kepadamu hari ini,” ungkap Marshal sedikit melirih karena takut apabila Teguh mendengar perkataannya dan kembali marah.          “Kamu bisa meminjam kepadaku, berapa pun yang kamu mau,” ucap Ridho kemudian.         “Terima kasih banyak, Dho.”         Obrolan mereka berdua terputus ketika Marshal menerima nampan makannya, ia segera mengambil beberapa makanan yang akan disantapnya siang ini. Begitu pun dengan Ridho yang mengekorinya, jajaran makanan khas Jawa berjejer dari ujung ke ujung dibuat sesederhana mungkin untuk sebuah kafetaria perusahaan yang bergerak di bidang properti itu.         “Dari mana? Kok tumben sedikit lebih lama?” sapa Johnny yang kebetulan mengantre untuk mengambil makanan di samping kanan Marshal.        “Kebetulan hari ini aku mengambil piket, jadi keliling terlebih dahulu,” balas Marshal.         “Oh… bagaimana keadaan istrimu? Kemarin kontraksi, ‘kan?” tanya Johnny lagi.             “Bukan kontraksi tapi, dia pingsan. Tapi, alhamdulillah She's fine. Hanya gejala yang dialami ibu hamil, dan itu lumrah," jawab Marshal.            “Syukurlah kalau begitu, aku dengar memang Ibu hamil sering mengalami hal-hal seperti ini,” balas Johnny kemudian.           “Iya, Alhamdulillah enggak terjadi hal yang aneh- aneh.” Kata Marshal kemudian.           “Terus bagaimana keadaannya sekarang? Sudah lumayan baik? Atau masih kurang sehat?”  tanya Johnny.          “Sudah di rumah,” balas Marshal sedikit acuh.           Mereka bertiga pun berjalan beriringan menuju salah satu meja yang sudah diisi oleh Bulan, Yudha, Juno, Jeffrey, dan Mark. Johnny melambaikan tangan kepada mereka berlima namun, hanya Mark  yang mengakomodasi lambaian tangan dari Marshal sendiri. Mark tersenyum lebar saat menyambut datangnya Marshal, Johnny, dan ridho.          “Kamu kerja, Bang? Kenapa enggak di rumah dulu menemani Karina?” sambut Mark.         “Ya kalau aku enggak kerja bulan depan kontrolnya di bayar pakai apa, Mark? Ini aja pagi-pagi aku sudah di suruh membawa cokelat delfi enam kardus,” jawab Marshal bersungut-sungut.         “Oh jadi… ceritanya Karina sudah mulai  mengidam?” sahut Bulan mengulas sedikit senyum tipis.         Marshal diam tak bergeming karena sedang menyantap makan siangnya namun, mengangguk mengiyakan pertanyaan Bulan kala itu.         “Masya Allah, Istriku juga seperti itu kok… santai saja, itu wajar.  Kamu ‘kan juga pertama kali  bakal jadi ayah… nikmati saja tantangannya,” kata Bulan kemudian mencoba menenangkan Marshal.         “Aku masih penasaran… kok bisa ya….”         “Kok bisa ya… kok bisa ya… ya enggak tahu Mark Sukarni, kalau kita berdua tahu pasti kasus ini sudah selesai masalahnya,” ketus Marshal.         “Kan aku Cuma nanya, Bang. Kok dirimu mendadak jadi sensitif seperti itu sih? Jangan-jangan yang mengidam dirimu lagi, mengidam marah-marah,” kekeh Johnny.         Marshal menggeleng tak menjawab. Namun, memang benar ia merasa hari ini ia ingin mengumpat setiap detik, setiap melihat hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, beberapa saat juga ia merasa mual yang tidak tertahan setiap kali melihat beberapa wanita rekan kerjanya lewat.   ***        Maghrib pun tiba, Marrey dan Karina sudah mempersiapkan makanan di meja makan saat pintu utama terbuka dan muncullah Marshal dengan Ridho membawa enam kardus cokelat pesanan Karina.         “Assalamualaikum, Ini cokelat pesanan kamu,” gumam Marshal meletakkan salah satu kardus dan membukanya, menyerahkannya pada Karina.             “Nah, begini dong dari kemarin!" seru Karina.         “Sepertinya calon bayi kalian suka banget sama yang manis-manis,” kekeh Ridho agak canggung karena ia sendiri jarang bertatap muka dengan Karina.        Ridho hanya beberapa kali bertemu dengan Karina setelah ia mendengar sejawatnya mengalami masalah dan harus menikah dengan Karina secepat mungkin.         “Doy, kamu sudah makan? Kalau belum ayo, makan di sini saja,” kata Marrey kepada Ridho.         Ridho tersenyum ingin menolak namun, lagi-lagi Marshal memaksanya agar ikut makan malam di rumahnya.         “Karina yang memasak ini semua,” kata Marrey dengan sedikit tersenyum tipis.   Marshal melirik Karina. “Bukannya kamu bilang kamu enggak bisa masak? Kok ini tiba-tiba kamu memasak?”           “Eum… aku enggak bilang kalau aku enggak bisa masak,” gumam Karina.         Marshal menatap semangkuk besar sup ayam di hadapannya yang masih mengepulkan asap tipis, Marshal bisa menghirup aroma rempah-rempah yang terkandung dalam kuah sup itu begitu pun dengan Ridho yang duduk di seberang Marshal.           "Ini sup ayamnya buatan Karina, itu juga bakwan jagungnya buatan Karina… kalau di lihat-lihat Karina ini paham bumbu dapur, rasanya juga pas… kamu cicipi deh, Mar… ayo Dho… kamu juga harus mencicipi masakan Karina,” jelas Marrey seperti seorang food traveler yang membuat konten.         Marshal mulai menyantap masakan Karina dengan hati-hati takut kalau masakan itu penuh jebakan. Marshal sedang mengunyah potongan daging ayam yang di ambilnya menggunakan sendok.         "Ini ayam apa?" tanya Marshal. "Rasanya sedikit aneh?"        “Oh, itu. Itu tadi di rebus dulu pakai metode sama Karina, lumayan menghemat waktu.” Marrey tersenyum simpul.         “Ridho, jangan di ambil semua bakwannya!" gemas Marshal saat mengetahui bahwa bakwan yang tersisa hanya empat biji dan yang lainnya ada di mangkuk milik Ridho.          “Ya maaf… enak soalnya," gumam Ridho tanpa rasa malu.          “Hush… Marshal, jangan gitu enggak baik. Kamu makan supnya  saja.” Marrey menengahi mereka berdua lalu berfokus kepada Karina yang menyantap cokelatnya. “Karina… makan nasi dulu, jangan makan cokelatnya.”        “Bayinya enggak mau makan nasi, maunya makan ini, Ma,” jawab Karina.         “Makan nasi dulu, dari tadi pagi kamu cuma makan sedikit. Ayo, makan.” Marshal melirik Karina dan mengambil cokelat itu.          "Tap—"         "Makan dulu atau aku enggak bakal mau membuka kasus ini lagi?" tanya Marshal dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD