Don't Tell Anyone

1632 Words
      “Kalau hamil jangan sering-sering ngomong kasar... itu enggak baik, jangan juga berbicara mengenai keburukan orang lain,” ucap Marrey, sembari menatap Karina yang membantunya membersihkan sayuran di ruang tengah yang langsung berhadapan dengan ruang makan.         Karina diam seribu bahasa, ia hanya membersihkan beberapa sayuran yang baru di beli ibu mertuanya tersebut. Marrey benar-benar datang setelah Marshal meneleponnya kemarin malam, entah mungkin karena merasa Ia sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya itu. Ia segera datang pagi ini, tepat saat Marshal ingin berangkat kerja.         “Jangan banyak pikiran juga, itu berpengaruh sama kesehatan kalian berdua, sekarang Mama akan membuatkan kamu masakan yang bergizi,” tambah Marrey.         Karina masih terdiam, netranya tak berhenti menatap mata Marrey, mata seorang Ibu yang sudah ia hancurkan impiannya. “Mama enggak benci sama aku?”          Marrey terkesiap mendengar pertanyaan Karina saat itu namun, ia tetap berusaha berkata lembut kepada Karina yang masih sangat trauma dengan lingkungannya. “Benci? Benci kenapa?”           “Benci, karena anak Mama berhenti kuliah karena dituduh memp e r k o s a ku, lagi pula aku sudah pernah berkata pada Marshal untuk mengugurkan bayi ini secepatnya,” jawab Karina kemudian.               “Hush… jangan ngomong seperti itu lagi, ya. Mama enggak pernah benci sama kamu, enggak pernah benci sama anak di kandungan kamu... Mama sudah anggap kamu seperti anak Mama sendiri, Karina. Mama  tahu kalau kamu sangat trauma karena hal ini tapi, jangan pernah menggugurkan bayi yang tidak mengetahui apa-apa mengenai hal ini, itu dosa, dan Mama enggak mau kalian menambah dosa lagi,” gumam Marrey mendekati Karina.         Dengan perlahan Marrey menggenggam tangan Karina yang kurus. Marrey melihat wajah Karina yang pucat lesu bagai orang yang tak menikmati kehidupannya. Marrey merasa iba melihat kondisi Karina saat itu, Marrey bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya dialah yang ada di posisi itu—pasti rasanya hendaklah seperrti ini pergi dari muka bumi secepatnya.           “Mama tahu kalian sangat dirugikan dalam kecelakaan ini, Karina… Mama juga tahu kalian sangat-sangat kecewa karena polisi-polisi itu menanggapi hal itu sama dengan masalah sepele, jangan di pikirkan lagi, Karina.” Marrey mengusap bahu Karina.          “Bagaimana cara agar aku enggak memikirkan hal ini terus menerus, Ma?” tanya Karina lagi.          “Kamu perbanyak ibadah, jangan lupa berdoa meminta pertolongan Allah agar segera keluar dari masalah ini,” ucap Marrey, “Mama percaya kalau kamu meminta pertolongan-Nya dengan sungguh-sungguh kalian akan segera keluar dari masalah ini.”         Marrey tersenyum dan segera beranjak pergi ke kitchen set untuk melihat masakannya yang sudah hampir mendidih. Karina berdiri dan ingin menghampiri Marrey yang sedang memasak. Namun, ia merasa bahwa kepalanya sangat lah pening saat itu, ia berjalan pelan tanpa tumpuan apa pun.          “Mama… punya obat sakit kepala?” tanya Karina lirih.        Marrey melirik Karina yang sedang berjalan pelan sembari memegangi kepala ke arahnya.         “Kamu merasa pusing? Sebentar ya, Mama ambilkan. Kamu bisa ‘kan menjaga sayurnya  biar enggak gosong.”          Karina mengangguk pelan. Setelah Marrey pergi ke kamarnya untuk mengambil obat, Karina berjalan menuju kitchen set dan ingin mengaduk sayur yang sedang di masak oleh ibu mertuanya itu.   ***         “Bagaimana keadaan Karina, Dok?” tanya Marshal kepada dokter perempuan yang baru saja memeriksa Karina.          “Ibu Karina baik-baik saja, Pak. Hal itu memang lumrah terjadi pada ibu hamil… Ibu Karina hanya mengalami sakit kepala dan sakit punggung biasa… hal itu di sebabkan karena adanya perubahan massa tubuh yang diakibatkan pertumbuhan janin,” jawab dokter tersebut.           “Oh seperti itu, apa Karina boleh meminum obat sakit kepala biasa, Dok? Kalau semisalnya sakit kepala  lagi?” tanya Marshal dengan wajah penuh tanya.            “Ibu Karina boleh meminum obat sakit kepala seperti paracetamol itu pun dengan dosis yang dianjurkan, Pak. Pesannya jangan di berikan obat yang mengandung kafein,” jawab dokter tersebut.         “Kalau begitu… terima kasih, Dok. Saya akan mengusahakan agar Karina makan makanan bergizi dan meminum obat sesuai anjuran Dokter,” kata Marshal kemudian menjabat tangan dokter tersebut.         “Kalau bisa Ibu Karina di ajak kontrol kandungan, Pak. Minimal sebulan satu kali,” Dokter itu berpesan sebelum Marshal benar-benar keluar dari ruangan tersebut.   Di luar, di lobi tunggu Karina duduk bersama Marrey yang menemaninya. Marshal menghampiri mereka berdua dan mengulas senyum tipis kepada Marrey.        “Gimana, Nak? Apa kata dokter?” tanya Marrey sedikit khawatir.         “Enggak apa-apa, Ma. Kata dokter lumrah terjadi sama ibu hamil,” jawab Marshal.          “Duh, Mama jadi khawatir… Mama takut kalau sampai kejadian lagi seperti Kakak kamu, Mar,” kata Marrey.          “Sudah… Ma, jangan berpikir yang macam-macam. Ayo, kita pulang.”         Setelah itu Marrey membantu Karina berdiri dan mereka pun berjalan menuju tempat parkir yang ada di utara rumah sakit tersebut. Dengan sabar Marshal membukakan pintu untuk Karina dan Marrey.         “Kita makan di luar saja, ya? Tadi Mama Cuma memasak satu sayur saja, ‘kan?” tanya Marshal.                  “Marshal… kamu ini bagaimana? Istrimu sedang hamil, kok kamu malah mengajak kita berdua makan di restoran fastfood, lebih baik makan di rumah saja kalau begitu,” gerundel Marrey.              Marshal menyunggingkan senyum antara ingin tertawa dan ingin mengumpat. “Siapa yang bilang mau makan di KFC sih, Ma? Marshal ‘kan cuma bilang makan di luar, bisa berarti kita makan bakso, soto, sate atau makanan yang lainnya ….”          “Ya, kamu tanya dulu sama Karina, siapa tahu dia juga sedang mengidam sesuatu.”          “Beli bakso  saja di makan di rumah… aku capek,” gumam Karina lirih.           “Baiklah…  ayo, masuk.” Marshal membuka pintu ford fiesta zetec yang ia parkirkan di tempat parkir itu.         Karina masuk ke dalam di susul dengan Marrey yang duduk di sebelah kursi kemudi sementara Marshal pergi memutari mobil dan duduk di balik kursi kemudi.        “Ayahmu itu seharusnya bisa menerima semua ini dengan lapang d**a juga,” ucap Marrey dengan nada yang sulit di definisikan.          “Sudahlah… Ma, mungkin memang ayah kecewa sama Marshal karena enggak bisa jadi anak yang baik, Marshal juga sadar kalau Marshal memang salah,”  jawab Marshal.              Marrey mendengus.  “Sebagai Orang tua yang mengetahui anaknya melakukan kesalahan sangat wajar merasa kecewa namun,  tidak seharusnya juga mereka mempersulit seperti ini, Marshal.”         “Qadarallah, Ma… sudah, jangan di bahas lagi. Sekarang kita hanya perlu ikhtiar dan berdoa kepada‐Nya.”  Marshal segera menyalakan mesin mobil tersebut dan menginjak pedal gas.         Mobil itu melaju dengan deru yang memekakkan telinga, tanda bahwa bulan ini harus masuk lagi ke dapur service sparepart.   ***        Sesampainya di rumah Marshal mengambil beberapa plastik berisi makanan yang baru di belinya dari depot. Sudah agak dingin karena perjalanan dari depot ke rumah mereka cukup lah jauh. Marshal mengambil panci untuk memanaskan makanan tersebut. Sementara Marrey yang merasa lelah ingin istirahat dulu di kamarnya dan Karina sedang duduk di ruang tengah sembari memainkan ponselnya.        “Aku tadi bertemu dengan Dania… dia menanyakan kabarmu,” ucap Marshal kepada Karina.         “Don't tell anyone… Marshal,” gumam Karina.        “T-Tapi, kenapa begitu? Dania sahabatmu sejak SMA, 'kan?” tanya Marshal tertegun.        “Dania memang sejawatku sejak SMA tapi aku mohon, jangan beritahu siapa pun keadaanku saat, sebelum kita tahu siapa pelakunya,” jawab Karina.          “Astaghfirullah, Ini enggak rasional, Karina. Kita enggak boleh memotong tali silaturahmi dengan alasan yang enggak masuk akal seperti itu, kalau pelakunya memang ada di sekitar kita kita cukup meminta pertolongan kepada Allah agar segera dibukakan pintu hidayah baginya.” Marshal berjalan mendekati Karina yang masih sibuk dengan ponselnya.         “Kok kamu berbicara seolaj ini masalah sepele sih? Kalau yang melakukan ini memang orang terdekat kita pastinya kita harus lebih gahar lagi dong, dia sudah merusak kehidupan kita,” gumam Karina.         Marshal menggeleng, tertawa. “Astaghfirullah ... kamu terlalu banyak menonton film, makanya berpikiran yang aneh-aneh terus.”         “Aku serius, Marshal,” bantah Karina.        “Aku juga serius,”sahut Marshal. “Mencintaimu.”         Setelah itu ia kembali melihat keadaan makanan yang tadi ia panaskan. Marshal terkekeh kecil karena melihat perubahan wajah Karina setelah ia mengatakan hal itu.        “Hidup kamu Cuma penuh candaan?” tanya Karina kemudian dengan sinis.         “Sumpah demi Allah aku serius belajar mencintai kamu, apa pun keadaannya.”         “Kamu mempermainkan Yeri, kamu bilang itu serius?” balas Karina, “Aku tahu Yeri ke sana tadi siang.”          “Masya Allah, istriku ini kalau sedang merajuk sangat lucu dan menggemaskan, aku dan Yeri sudah putus, jadi enggak ada yang perlu kamu pikirkan tentang kami, Karina,” balas Marshal.         “Kenapa kalian putus?”         “Kenapa? Karena kita sudah menikah, kamu prioritasku sekarang, kamu sudah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi pendampingku… juga calon bayi di perut kamu,” kata Marshal, “Sudah jangan banyak membicarakan hal yang enggak penting, ayo makan.”             Setelah Marshal mempersiapkan makan malam, Marshal izin untuk memanggil Marrey di kamar atas. Karina hanya mengangguk pelan membiarkan Marshal ke atas.  Ketika Karina ingin menyantap makanannya terlebih dahulu ponsel Marshal yang sengaja di tinggal di meja makan berbunyi tanda pesan chat masuk. Karena penasaran, Karina membukanya.              Yeri [ Di mana? Sudah makan? Jangan lupa makan, aku dengar si j a l a n g itu enggak bisa masak. ]             “Kari—“               “Ada chat dari Yeri,” kata Karina sembari menyerahkan ponsel tersebut ke tangan Marshal.         Marshal membaca pesan kiriman Yeri secepat lirikan lalu ia berkata, “Jangan salah paham dulu… aku bisa jelaskan.”         “Menjelaskan apa?” tanya Karina.          “Aku dan Yeri sudah putus… jangan berpikiran yang macam-macam.”         “Kamu masih kontakan sama Yeri, Marshal?” Marrey ikut bertanya karena merasa ada yang tidak beres.          Marshal mengangguk. “Nomornya masih aku simpan, Ma. Tapi, akan aku blokir sekarang, aku akan berusaha menundukkan pandanganku kepada wanita lain selain istriku.”           “Kenapa harus diblokir?” tanya Karina.           “Karena kamu yang lebih penting bagiku,” balas Marshal kemudian.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD