Dream and Reality

1465 Words
     Malam itu sudah sangat larut namun, Marshal masih belum tertidur. Ia sedang memandangi langit malam di balkon kamarnya, sesekali ia mengetukkan jarinya ke pagar balkon menciptakan nada tak beraturan.        "Ma… Ma… Mama…."         Marshal menoleh setelah mendengar suara Karina, dengan langkah terburu- buru ia kembali masuk ke kamar dan melihat Karina yang masih tertidur dengan tubuh berkeringat dingin. Jemarinya mencengkeram ujung selimut kuat-kuat masih dengan meracau.          Marshal mencoba membangunkan Karina yang sedang mengigau. "Karina... bangun sayang… kamu bermimpi buruk lagi?"          Tiba- tiba saja tubuh Karina tersentak dan bangkit dari tidurnya dengan mata bergetar. Keringat dingin kembali membasahi wajahnya. Marshal mengusap jejak peluh Karina kemudian menangkup wajahnya.          "Kamu bermimpi buruk lagi?" tanya Marshal.         Karina diam.        "Minumlah, tenangkan dulu dirimu." Marshal menyodorkan segelas air mineral yang sengaja ia bawa dari dapur sore tadi.         "Karina, besok aku akan meminta Mama untuk tinggal di sini menemani kamu ketika aku bekerja," ucap Marshal.         Karina menghela napas panjang namun, tak mengindahkan ucapan Marshal. Ia justru kembali menidurkan tubuhnya memunggungi Marshal. Terdengar bahwa Karina sedang terisak sendiri.          “Kapan kita bisa menghakimi pelakunya?” tanya Karina lirih nyaris hanya terdengar seperti gumaman.         “Insya Allah secepatnya, terlalu sulit untuk mencari pelakunya. Kita hanya berdua di sana saat itu, CCTV juga enggak berfungsi saat itu," jawab Marshal.         “Polisi juga enggak percaya….”      “Insya Allah, Karina. Secepatnya kita bisa menangkap pelakunya,”  gumam Marshal, “Sekarang kamu tenang saja, kita sudah menikah. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”        "Kamu bahagia dengan pernikahan ini?" tanya Karina sinis.         Marshal menghela napas panjang. “Aku paham kamu masih trauma dengan kejadian itu tapi, kita bisa memulai dari nol, Karina. Insya Allah kalau kita dengan ikhlas memulai segalanya yang sudah digariskan Allah kita bisa mendapatkan berkah.”         “Aku membencimu, kamu enggak perlu sok suci berkata seperti itu,” celetuk Karina, “Kamu enggak paham bagaimana perasaanku, kamu enggak mengerti keadaanku, aku benci kamu.”         "Aku enggak bakal paham karena kamu menyimpannya sendirian," balas Marshal.         Karina hendak menyahutinya lagi namun, dering telepon rumah membuatnya mengurungkan niatnya. Marshal beranjak dan menggapai telepon rumah yang ada di atas lemari televisi di kamar itu—walaupun pada kenyataannya ia sangat malas mengangkatnya karena sudah terlalu larut malam.         “Halo, assalamualaikum.”         “Marshal, bisa kita bertemu?”          Marshal menurunkan telepon tersebut saat menyadari bahwa itu adalah Yeri, mantan pacarnya yang sengaja ia tinggalkan untuk menikahi Karina. Marshal masih tak tahu apakah ia masih mencintai Yeri atau tidak, ia juga tidak bisa gegabah untuk meninggalkan Karina yang masih belum bisa menerima kenyataan dan melalui traumanya.           “Maaf, aku sibuk, Yeri. Lagi pula ini sudah malam, waktunya istirahat.”         “Aku mengerti kamu sibuk bercinta dengan j a l a n g mu itu, 'kan? Oh ayolah Marshal, aku tahu kamu masih mencintaiku.”          “Yeri, sudah cukup. Kalau kamu hanya ingin membahas ini aku pikir ini sudah cukup, selamat malam. Sungguh tidak sopan jika menelepon orang tengah malam seperti ini, Waalaikumsalam.”           Marshal memutuskan sambungan telepon dan mematikan lampu chandelier yang menerangi ruangan itu. Lantas segera membaringkan tubuhnya di sebelah kanan Karina.          “Kenapa enggak mau bertemu Yeri?” tanya Karina.         “Ini sudah malam, bukan hal penting juga. Tidurlah,” ucap Marshal.        “Sebelum ini… apakah pernah kamu menomorduakan Yeri?” tanya Karina.        “Karina. Tidurlah, kamu perlu istirahat.”   ***         “Pagi ini kamu terlihat sedang enggak baik- baik saja, ada apa?” tanya Bulan pada Marshal yang sibuk membuat proposal untuk pengajuan meeting dengan calon investor.          "Hanya sedikit lelah karena banyak sekali map file yang diberikan oleh Ridho,” jawab Marshal.         “Oh, ya. Kudengar… kamu dan Karina kembali meminta polisi untuk melanjutkan mencari pelakunya?” tanya Yudha yang tiba-tiba datang dan duduk di sofa ruang kerja Marshal dan Ridho.          Perusahaan tempat Marshal bekerja memang sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti keluarga yang sudah turun temurun dikelola oleh anak cucu dari Triandri Reynold Hadiwira. Namun, walaupun Marshal masih memiliki darah yang sama dengan Triandri, Marshal hanya diberikan pekerjaan dengan gaji-gaji pas-pasan yakni sebagai sekretaris tidak resmi dari seksi humas.         “Karina yang memintanya tadi pagi, aku sendiri kurang setuju dengan hal itu. Tapi, aku kembali teringat kalau Karina sedang hamil… mungkin saja dia mengidam ingin memukuli pelakunya,” jawab Marshal sedikit membuat lelucon.         “Mengidamnya beringas kalau begitu. Omong-omong  kamu enggak mau cerita bagaimana kamu bisa sampai di gudang itu? Padahal kamu tahu sendiri kalau di sana itu tempat para begundal nakalnya kampus,” kata Bulan.        Sekarang Marshal berhenti mengetik, ia melirik Bulan dan kemudian mengangguk.        “Bagaimana?” sahut Yudha ikut penasaran.         “Saat itu aku baru saja pulang latihan, aku ingat itu jam delapan malam. Semua kelas juga sudah tertutup rapat tinggal ruang latihan sama ruang gymnamsium saja yang belum tertutup. Waktu itu aku ingin mampir ke toko buku jadi aku lewat gerbang belakang biar bisa cepat sampai di toko bukunya. Saat aku lewat di depan gudang aku mendengar suara minta tolong bersamaan sama suara kayu patah, karena aku pikir ada sesuatu yang aneh aku datangi, aku coba buka pintu gudang itu yang gemboknya sudah di rusak orang, tapi enggak bisa di buka. Pas aku mau mendobrak pintunya tiba- tiba saja… ada orang yang memukulku dari arah belakang.”          “Kamu enggak lihat orang itu siapa? Atau kamu dengar sesuatu  pas kamu enggak sadar?” tanya Yudha.         “Pas di bawa masuk aku masih bisa melihat keadaan sekitar gudang itu yang sudah acak-acakan, entah hanya ilusi saja atau memang begitu adanya. Yang aku ingat mereka pakai masker lalu mengeluarkan suntikan.”          “Berarti pelakunya anak dengan prodi kedokteran?” tanya Bulan meminta penjelasan secara rinci.          “Enggak tahu, semua barang bukti sudah enggak ada. Sudah dilenyapkan oleh pelakunya, entah prodi kedokteran atau bukan,” balas Marshal.          “Bodohnya lagi, aku sempat berpikir kok bisa ada orang kurang pekerjaan yang mengorbankan masa depan seseorang demi percobaan konyol seperti ini,” celetuk Yudha.         Marshal mengangguk. “Surat itu memang enggak jelas maksudnya. Kalau percobaan yang mereka lakukan itu memang benar adanya kenapa mereka enggak membuat surat izin. Enggak dengan cara yang aneh ini? Alibi yang bagus untuk merusak hidup orang.”         “Tapi, aku salut sama kamu,” gumam Bulan, “Kamu mau bertanggung jawab padahal belum tentu kalau anak yang dikandung Karina itu anakmu.”          “Aku yakin kalau bayi yang ada di perut Karina adalah anak aku, entah kenapa aku berpikiran seperti itu. Tapi, jujur kalaupun anak itu bukan anak kandungku aku enggak apa-apa menjadi Ayah tirinya,” balas Marshal.         “So… kamu cinta sama Karina?" tanya Bulan.         “Aku akan berusaha belajar mencintai Karina,” jawab Marshal.         “Bagaimana hubunganmu dengan Yeri?” tanya Yudha.          “Kami enggak berjodoh ....”   KLEKKK!          Pintu terbuka dan seorang satpam menghampiri Marshal dengan langkah terburu-buru bahkan napasnya terengah naik turun tak beraturan. Keringat dingin bercucuran membasahi dahi pria parubaya tersebut.         “Maaf, mengganggu Den. Di luar ada wanita mengamuk sedang mencari Den Marshal,” ungkap satpam tersebut.         Marshal mengernyit. “Siapa, Pak?”         “Enggak tahu, Pak. Saya belum pernah melihatnya sebelum ini, sedari tadi dia teriak-teriak dan minta Den Marshal keluar,” jawab satpam tersebut.          “Jangan-jangan itu Karina,” celetuk Yudha.          Marshal segera berdiri dan pergi ke lantai bawah dengan tangga darurat karena lift sedang terpakai. Marshal berlari cepat ingin sampai dengan waktu singkat ke lobi perusahaan.        “Kar—“         “Akhirnya kamu turun juga, lihat, nih! Bawahan kamu merusak tas aku,” ujar seorang gadis yang ternyata bukanlah Karina.        “Yeri?” Marshal tertegun begitu mengucapkan nama itu, cukup lama ia berdiam di hadapan gadis berambut panjang itu—membuat senyumnya kian surut.          “Kamu kenapa? Kamu kaget? Ada yang salah kalau aku datang ke sini? Aku ke sini untuk kamu lho sayang, masa kamu malah menyambutku seperti ini?”  runtut Yeri.         “untuk apa kamu ke sini, Yeri? Sudah kubilang semalam kalau kita su—“         “Apakah aku salah kalau datang menemuimu ke sini?” tanya Yeri dengan tatapan menyelidik.         Rahang Marshal menegas seketika merasa kesal karena Yeri tidak berpikir terlebih dahulu sebelum nekat menemui dirinya di sini. Yeri tetap mengomel meminta penjelasan dari Marshal kenapa ia tega meninggalkan Yeri hanya karena wanita yang tidak jelas hamil dengan siapa.       Dari jauh, seorang laki-laki dengan langkah kasar mendatangi Marshal dan Yeri. Ya, dia adalah Mario kakak ipar Marshal yang saat ini menjawab sebagai presdir di Hadiwira Groups.         “Ada apa ini?” tanya Mario.        “Enggak ada apa-apa, Kak.” Marshal menjawabnya tanpa menoleh.         Sementara itu Mario menatap Yeri yang masih saja mengomel tanpa henti. Mario mendengus. “Apa yang kamu lakukan di sini, Nona?”        “Diam kamu! Kamu enggak tau apa-apa!” sentak Yeri kepada Mario.         “Security! Bawa dia keluar dari perusahaan ini! Dan jangan biarkan dia masuk ke sini!” teriak Mario kemudian.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD