Kontak fisik pertama

2020 Words
“Kamu di mana?” tanya Mamah. “Kaflin masih di jalan, ini macet Mah. Sebenarnya ada apa?” Kaflin sedang diskusi dengan teman-temannya untuk kegiatan koas yang akan diikutinya. Suara helaan napas kasar terdengar, lantas perasaan tak nyaman lantas menyusup di hatinya. “Ma. Ada apa?” menuntut ibunya untuk mengatakannya. Pikiran Kaflin sebenarnya sedang sangat rumit. “Nanti di rumah saja kita bicara, kamu menyetir hati-hati. Kami tunggu.” Meski didesak, Fani tetap tidak mau mengatakannya. Kaflin tak lagi menuntut, menyetir mobil dengan hati-hati seperti yang ibunya minta. Kian mendekati rumah, Kaflin kian merasakan hatinya terasa ada yang salah. Tetapi, ia tak bisa menduganya. Sesampainya di rumah, ia tak hanya menemukan orang tuanya, ada orang tua dari tunangannya. Sudut bibir Kaflin tertarik, melangkah menghampiri semuanya dengan sopan yang khas. “Tante, Om.. kalian datang sama Shenna? Di mana dia? Aku coba meneleponnya, beberapa hari belakangan Shenna—” “Kami tidak datang bersama Shenna.” Potong Papah dari Shenna cepat, raut wajahnya yang pias membuat senyum Kaflin perlahan memudar. “Kami di sini untuk mengembalikan cincin pertunangan yang kamu berikan pada Shenna.” Pria itu terdiam, bibirnya lurus dengan tatapan terkejut. Coba untuk menajamkan telinganya, beberapa detik dia berharap semua tak sungguh di dengarnya. Sayangnya, sepasang orang tua tunangannya di depannya kembali bicara. “Shenna tidak bisa melanjutkan hubungan kalian lagi.” Sembari mendekat, meraih tangan Kaflin yang gemetar lalu meletakan satu kotak beludru di sana. Kaflin ragu, tapi ia tetap membuka dan melihat sebuah cincin indah yang pernah di sematkan di jemari lentik tunangannya. Cincin itu tidak berubah, seperti hatinya saat ini. Hari itu, ia ditinggalkan tanpa pernah tahu pasti apa alasannya. *** Ami mengemasi barang-barang, hari ini dia keluar dari tempat kos untuk pindah ke rumah Lais. Setelah resmi diterima menjadi perawat pribadi Nyonya besar Lais. Fani Kamala Lais Ami terus menghafal nama tersebut. Seorang wanita paruh baya penderita stroke. Semalam Ami bergadang untuk pelajari beberapa hal untuk merawat penderita stroke. Ami tidak punya pengalaman sebelumnya. Dia menjadi suster pun untuk anak-anak. Menutup tas yang akan dibawa, Ami akan selalu menjalankan pekerjaannya dengan sepenuh hati. Setelah memastikan semua barang sudah di kemas. Tidak banyak, karena fasilitas barang-barang tersedia dari tempat kos. Ami datang hanya membawa pakaian dan keperluan, serta buku-buku semasa kuliahnya. Yang akan Ami bawa ke rumah Lais. Ami akan tinggal di sana selama kerja dengan Dokter Kaflin. Seperti perjanjian dalam kontrak kerja yang sudah di sepakati. Dalam satu pekan, Ami dapat libur bila Dokter Kaflin atau ayahnya libur kerja. Dan bila Ami tetap masuk di hari libur, dokter akan menambahkan bonus. Ami berbaring di atas kasur lantai berukuran untuk seorang, seprei merah muda dengan motif abstrak membungkus kasurnya. Ini akan jadi malam terakhir tidur di tempat kos. Bekerja dan dapat tempat tinggal, Ami yakin dengan begitu bisa menghemat. Ami akan menabung dan keperluan keluarga termasuk biaya adik-adiknya bisa terjamin. Malam ini Ami ada harapan, padahal beberapa minggu lalu ketika ibunya menelepon dan mengeluhkan pemasukan yang bahkan tidak menutupi biaya sehari-hari sekolah adiknya, Ami ikut memikirkan. Penghasilan dia dengan status baru bekerja di rumah sakit, belum lagi pengeluaran sehari-hari dan untuk biaya tempat tinggal, Ami hanya bisa mengirim uang pada orang tuanya sedikit. Ibunya memang tidak pernah protes, tapi Ami tahu jika ibunya sudah menangung pikiran tersebut. Ami hampir tertidur ketika ponselnya berdering. Ponsel lama, Ami tidak pernah minder walau teman-teman seprofesinya memakai ponsel keluar baru. Bagi mereka mengganti ponsel semudah membalikkan tangan. Semua rasa syukur yang Ami tanamkan karena ayahnya. Nak.. berapa pun rezeki yang kamu terima, terasa cukup bila kamu selalu mensyukurinya. Nasihat yang baik, akan selalu Ami ingat. Ami melihat nama sang adik. Tepat di bawahnya, adiknya berusia enam belas tahun, baru kelas sepuluh di sekolah menengah kejuruan negeri. Bicara sebentar sampai adiknya bilang.. “Mbak, Ibu mau ngomong.” “Mana Ibu?” Lalu ibunya bicara, “apa kabar, Nak?” “Aku sehat, Bu. Ayah bagaimana?” “Ayahmu begitu saja, belum ada perubahan.” Ami mendengar nada lirih ibunya, mengurus rumah, ayahnya yang sakit lalu ibunya juga harus mencari tambahan pemasukan. Pasti tidaklah mudah. “Ibu jangan khawatir lagi soal biaya adik-adik dan pengobatan Ayah. Ami dapat pekerjaan baru.” Meski tinggal jauh, Ami selalu terbuka pada ibunya. Ami cerita tentang pekerjaan barunya. “Di mana pun kamu bekerja, lakukan dengan sepenuh hati.” Begitulah nasihat ibunya, “jaga dirimu, Nak. Jangan kecewakan Pak dokter yang sudah percaya padamu.” Ami mendengarkan semua nasihat ibunya dengan baik-baik. Lalu panggilan berakhir, Ami istirahat. Pagi hari, Ami pamit pada pemilik kos juga mengembalikan kunci kamar kos. Dia membawa satu koper, dan tas ransel. Ada satu kardus berisi buku-buku. Ami akan pesan taksi Online ketika panggilan dari nomor Kaflin masuk. Kening Ami mengernyit, “sepagi ini, Pak dokter meneleponku?” Gumamnya. Sebelum panggilan berakhir, Ami segera menjawab, meletakan ponsel di telinganya. “Hallo..” “Ami, alamat tempat kosmu benar?” “Eh, iya Pak. Tepat di belakang rumah sakit.” “Sebelah mana? Saya sudah di jalan besar dekat toko fotokopi.” Ami butuh beberapa detik untuk paham sampai-sampai Kaflin kembali memanggil namanya. “Hallo... Ami—“ “Pak Dokter bilang apa?” tak yakin dengan pendengarannya sendiri. “Saya baru pulang tugas, kamu pagi ini pindah ke rumah saya kan? Jadi saya berpikir untuk sekalian menjemput kamu.” Ami kemudian minta Kaflin menunggu di dekat fotokopi. Karena tempat kosnya ada di dalam gang tepat di sebelah toko tersebut. Gang sempit yang hanya muat untuk jalan kaki. Ami keluar membawa koper dan juga mendekap kardus. Kaflin yang berada di dalam mobil melihat kerepotan wanita itu segera mendekat, membantu. “Tidak perlu, Pak.. eh” Ami terkesiap juga jantungnya berdegup kala tangannya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Kaflin. Dia masih berdiri di sana dengan wajah melongo, hingga tidak sadar kardus tersebut sudah pindah tempat. “Bungkam mulutmu, Amira. Nanti ada lalat masuk.” Tegurnya sambil berbalik. Blush! Pipi Ami merona seketika. Dia memerhatikan tangan Kaflin yang kemeja dikenakan, lengannya digulung hingga siku. Ami menelan ludah melihat bulu-bulu halus yang cukup lebat menghiasi tangan tegap dan berotot itu. Bahkan ketika Kaflin mengangkat bagasi belakang mobil yang digunakan, otot di lengan atas dan bahunya mengencang, tercetak di kemeja merah muda yang dipakai. Biasanya Ami kurang nyaman kalau melihat pria memakai baju dengan warna mencolok seperti merah muda maupun kuning. Tapi, entah mengapa di tubuh Kaflin begitu pas. Ami menggigit lidahnya. Tepat Kaflin menoleh dan mengejutkan dengan suara baritonnya. “Amira, mau sampai kapan kamu berdiri di sana?” “Eh... oh iya pak!” suaranya gugup, Ami melangkah dan terburu hingga kakinya tersandung “Akh!” Kaflin berada di depannya sigap menangkap tubuh Ami membuat posisi mereka lekat dan wajah mereka begitu dekat. Ami terburu berdiri, “Pak dokter, maaf..” “Kamu sangat ceroboh sekali.” Ami menunduk, Kaflin segera mengambil koper miliknya. Menyusul masuk bersama kardus dan tas lainnya. Brak! Kaflin menutup bagasi, “ayo naik!” Ami mengangguk, akan menarik pintu belakang. “Kamu akan duduk di belakang?” “Ya..” jawabnya bingung. “Di depan, Amira. Saya, bukan sopir.” Ucapnya gemas, Kaflin berjalan menarik pintu dan masuk ke belakang kemudi. Ami mengerjap. Tintt! Tinnt! Terlonjak begitu mendengar suara klakson yang Kaflin bunyikan. “Tidak sabar sekali.” Menggerutu. Ami akhirnya berlari kecil dan masuk ke kursi sebelah Kaflin. “Amira—“ “Ami saja. Pak dokter pasti lupa.” Kaflin menatap Ami yang sedang menatapnya. Dari semua pelamar untuk jadi perawat ibunya, Kaflin memilih Ami karena polos, jujur dan terlihat pekerja keras. Dan kini pandangan Kaflin tentang wanita di depannya bertambah. The clumsy girl alias si gadis ceroboh. Berdehem kecil, “Hm, pakai seatbeltmu.” “Oh, iya pak! Sorry..” Ami melirik sabuk pengaman, ketika akan menariknya terasa keras, macet. “Kok susah Pak dokter?!” Tanyanya lagi polos. Terus menarik-narik tetapi tidak bisa. “Susah bagaimana?” “Ini, tidak bisa di tarik—“ kalimat Ami tertelan oleh tindakan Kaflin yang melepas seatbeltnya sendiri, kemudian mendekat. Membuat aroma maskulin yang menggelitik kembali Ami hirup. Deg!! Jantungnya berdebar, sungguh kedua kali di waktu yang tidak lama mereka sangat dekat. Dari jaraknya, Ami bisa melihat hidung Kaflin yang tinggi dari sisi. Wajahnya rupawan sekali pantas bila Kaflin menjadi dokter yang paling dibicarakan sekaligus banyak penggemarnya. “Sudah, mudah. Kamu hanya kurang tenaga.” Kata Kaflin yang sudah kembali ke posisinya, setelah memasangkan sabuk pengaman dan memastikan melingkupi tubuh gadis itu. “Makasih, Pak.” Kaflin kembali memakai seatbelt dan mulai melajukan mobil. Tangan Kaflin menekan-nekan layar monitor di tengah. Kemudian musik terdengar mengisi kecanggungan. Tentu hanya Ami yang merasa canggung, tidak dengan Kaflin yang biasa. Please.. stop, Ami bertindak norak begini! Batinnya. “Pak, kenapa repot menjemput saya?” “Saya sudah bilang tadi, saya baru pulang. Tugas malam. Sekalian. Tidak merepotkan, dibanding kamu tersesat nanti.” Katanya dengan nada geli. Ami memutar bola matanya, “Saya memang baru di Jakarta, tapi masa sampai tersesat Pak.” Tatapan Kaflin fokus ke depan, sementara Ami sesekali meliriknya. Dokter Kaflin baru pulang kerja, tapi wanginya sudah seperti baru selesai mandi. Batin Amira sampai menggeleng-geleng. “Kenapa?” tegur Kaflin. “Ya, Pak?” Ami berhenti bertingkah konyol. “Kepalamu menggeleng-geleng, pusing? Tadi kamu hampir jatuh, tapi kepalamu berhasil saya selamatkan sebelum terbentur aspal.” Ujarnya buat Ami membulatkan mata. Kaflin menangkap basah dia bertingkah konyol. Oh ya ampun! Selanjutnya Ami pilih jaga sikap, diam dan membiarkan penyanyi dari stereo mobil jadi latar suasana mobil. Sesekali ia melirik dokter Kaflin, Ami sering melihat pria tampan, tetapi berada begitu dekat seperti sekarang membuatnya gugup. “Awas!” ujar Kaflin dengan suara cukup keras, membuat Ami mendongak dan matanya membulat sempurna. Ciiiittt! Kaflin menginjak rem mendadak hingga menimbulkan suara berdecit, membuat tubuh keduanya terdorong. Lalu Refleks tangannya terulur ke bagian depan Amira. Seolah melindunginya. Mobil berhenti, bersamaan suara klakson dari kendaraan di belakang. Ami sempat menahan napas. Kaflin menatapnya, “kamu tidak apa-apa?” ingin memastikan dirinya baik-baik saja. Ami masih sedikit syok, “sa-saya baik, Pak dokter.” Bagusnya mereka pakai sabuk pengaman. Tangan Kaflin masih di bagian depan tubuh Amira, posisi menjaga yang membuat jantung Amira berdentum. Ami melihat ke arah tangan kekar itu, jantungnya yang berdetak lebih kencang mungkin lebih disebabkan karena Kaflin yang reflek menjaganya. Kaflin langsung menarik tangannya saat menyadari tangannya masih berada tepat di bagian sensitif Ami. Mereka bertatapan, merasa sama-sama grogi. Kaflin berdehem untuk mengusir rasa tidak nyamannya. Entah apa sebabnya jantungnya juga ikut berdebum. Keduanya menatap pengendara motor di depan mereka. Seorang wanita. Tetapi alih-alih meminta maaf hampir membuat celaka sebab hendak belok ke kanan malah mengambil jalur kiri dan tidak memberi tanda akan berbelok, wanita itu terus melaju tanpa merasa bersalah. Kaflin membuka jendela, lalu mengangkat tangan ke pengendara di belakangnya. Meski bukan dirinya yang salah, ia tetap meminta maaf. Beruntung tak Ada insiden tabrakan. Menutup kembali jendela mobil, Kaflin mulai menjalankan mobil kembali. “Kita sudah hati-hati, tetap bisa celaka karena kecerobohan orang lain.” Ujarnya. Ami tersenyum kecil, kagum. Biasanya pria akan mengumpat kasar dan berakhir emosi bila mendapati insiden seperti tadi. Dokter Kaflin berbeda, ia terkejut tetapi tidak dengan emosi. Dia tetap tenang. Menjadi awal yang baik, membuat Ami tahu jika Dokter Kaflin memang sebaik yang orang-orang lain katakan. Sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar. Kaflin menekan sesuatu dari ponselnya, membuat gerbang otomatis bergeser. Awesome! Batinnya. Baru disuguhkan gerbangnya saja Ami sudah terkagum-kagum. Dari memasuki Kawasan perumahan elite tersebut memang tidak ada rumah sederhana, semua sangat megah dan rumah di depannya yang termegah. Beberapa penjaga berpakaian serba hitam mengangguk sopan, Kaflin menekan klakson. Ternyata dari gerbang menuju bangunan rumah cukup jauh, kalau berjalan pasti melelahkan. Dan ketika Ami menatap bangunan rumah Lais. Dalam benaknya kalau itu bukan hanya rumah mewah, melainkan seperti gambaran sebuah Mansion yang sering Ami baca di dunia novel. Dan kini, sampai ke depan Ami akan tinggal di dalamnya. “Ini rumah orang tua saya. Semoga kamu betah bekerja di sini, Ami.” Kata Kaflin. Tentu saja, Ami yakin dia akan sangat betah tinggal di dalam rumah keluarga Lais. Selain dia butuh uang, siapa yang tidak betah bekerja di rumah seorang dokter setampan dokter Kaflin? Siapa tahu dia bisa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD