Apakah Dijebak?

647 Words
Mengenai insiden di kamar itu, Aysa sekilas berpikir, bahwa ia pasti sedang dijebak. Sebelum memasuki kamar hotel, ia dan teman-teman kampus mengadakan acara makan bersama di sebuah kafe. Berhubung malam sudah larut, ia dipesankan kamar gratis oleh seniornya, Pepen. Setelah acara jamuan makan malam bersama teman-teman kampusnya, Aysa melangkah gontai di koridor hotel. Pepen lebih dulu berada di depannya, mengayunkan kunci di tangannya sambil melirik wajah Aysa di sisinya dengan putaran mata berbeda, hanya saja Aysa tidak mencurigainya. Pepen berhenti di depan pintu kamar, memutar kunci kemudian membuka pintu pelan. Kamar remang-remang. “Masuklah! Ini kamarmu!” ucap Pepen kemudian melempar kunci ke arah Aysa yang segera ditangkap dengan sigap oleh tangan mungil gadis itu. “Makasih, Kak Pepen. Nggak nyangka bisa mendapat gratisan kamar malam ini.” Aysa tersenyum kemudian masuk kamar. Pepen hanya mengangkat alis, kemudian berlalu pergi. Aysa meletakkan tas ke meja. Menyalakan lampu dengan fokus pandangan ke arah ponsel, mengecek chat masuk. Ia tampak asik membaca chat sambil duduk di sisi kasur. Saking fokusnya dengan ponsel, ia sampai tidak menyadari ada sosok lain yang sudah lebih dulu tertidur di atas kasur. Selesai dengan pekerjaannya itu, Aysa mengembalikan ponsel ke dalam tas. Tidak seharusnya ia tidur mengenakan kemeja. Ia ingin mengganti pakaian dengan baju tidur. Dengan lincah, jemarinya membuka baju dan melempar ke kursi yang terletak agak jauh dari tempatnya duduk. Tiba-tiba kasur yang ia duduki itu bergoyang. Ada sesuatu yang bergerak di belakangnya. Ia menoleh dan terkejut saat melihat sosok pria sudah duduk di tengah-tengah kasur dengan mata memerah, baru saja bangun tidur. Dan ternyata benar, ia salah masuk kamar, seharusnya ia memasuki kamar sebelah. Pepeeeen… Awas, kusendok hidungmu nanti! Aysa kesal sekali mengingat hal itu. entah apa tujuan Pepen menjebaknya. Tubuh Aysa bergetar hebat, bergoyang kesana kemari. Buka gempa, tapi sejak tadi ia duduk di bak mobil pick up. Jangan heran kenapa Aysa bisa duduk menumpang di mobil bak terbuka. Motornya rusak dan dititip ke bengkel ketika ia pulang dari kampus, perjalanan pulang ke rumah masih agak jauh, terpaksa numpang mobil. Memasuki jalan berlubang, tubuh Aysa bergetar seiring lonjakan ban. Aysa turun setelah sampai di persimpangan jalan. “Makasih, Mas!” ucapnya pada pengemudi mobil yang ia kenal sering berjualan sayur di pasar jongkok. “Jangan sering-sering naik mobil beginian ya, Sa. Kamu kelewat cantik, bisa-bisa dikerjain cowok baru tau rasa!” jawab si mas pengemudi terkekeh sambil mengemudikan mobil. “Hm… Nakut-nakutin aja, deh. Modus aja tuh nggak mau ditumpangin,” seru Aysa sambil geleng-geleng kepala. Aysa berjalan beberapa meter hingga sampai di kediamannya. Di rumah sederhana milik tantenya yang seorang janda. Dua tahun lalu ditinggal pergi suaminya ke liang lahat alias meninggal dunia. Kepulangan Aysa langsung disambut lima keponakan yang usianya susun paku. Mulai dari si bungsu yang berumur dua tahun, kemudian kakaknya empat tahun, lima tahun setengah, tujuh tahun dan yang sulung Sembilan tahun. Semuanya laki-laki. Pandangan Aysa menyapu seisi ruangan, berantakan, seperti kapal pecah. Beginilah jika memiliki keponakan laki-laki semua. Dan yang menarik, bra warna ungu dengan dua bulatan itu menggantung di satu kaki kursi ke kaki kursi lainnya, setiap ujung talinya terikat tali raffia. “Ya ampun, ini kaca mata hipnotis punya kakak kenapa bisa digantung di sini, sih? Dari mana juga kalian menemukan ini? astogeh!” Aysa buru-buru melepas ikatan raffia di kedua ujung bra. Membuang botol bekas parfum kosong yang ditaruk di atas bulatan bra. “Kalau kepergok orang, bisa lari ngibrit pemuda yang ngelamar kakak. Hayooo… siapa yang bikin ayunan begini?” Aysa menatap satu per satu wajah keponakannya. Dimulai dari yang terkecil, Haris, Hamka, Helta, hanta, terakhir Heksa. Heksa cengar-cengir sambil menunjuk Haris, bungsu yang belum bisa bicara dengan jelas. Ada angka sebelas meleleh di atas bibirnya yang keluar dari hidung. Yiieeek… “Haris, kak. Ha haaa…” Heksa terbahak. “Udah dibilangin jangan main itu, tapi dia ngeyel.” Haris yang ditunjuk, diam saja, merasa tidak berdosa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD