tiga

1592 Words
"Kita bagi tugas. Deal?" Mbak Angel mengulurkan tangan, aku tertawa kecil. Namun, tak urung juga tetap mengangguk setuju. Sudah hampir dua minggu ia menempati rumah barunya. Dan, dua minggu itu aku jadi mengetahui kalau Mas Bian seorang produser. Film-film yang diproduserinya lumayan banyak. Beberapa roman dan ada sekitar dua---yang kuingat---adalah film sejarah. Aku juga tahu kalau Mbak Angel pure sebagai ibu rumah tangga. Mas Bian melarangnya bekerja. Padahal, aku mendengar ceritanya, kalau ia sudah banyak sekali pengalamannya sebagai seorang pramugari. Nah, wajar, kan, kalau dia cantik. Dia mantan pramugari. "Ini bayaran Mbak Angel mahal ya kalau diundang di rumah gini?" Iya, Mbak Angel ini jago masak. Meskipun ia dan dan Mas Bian sama-sama vegetarian, tetapia ia juga sering mengajari orang-orang mengolah ayam, ikan dan daging. Seperti apa yang akan kami lakukan sekarang. Mbak Angel sering menulis beberapa resepnya di blog. Luar biasa sempurna. "Ha-ha. Tenang. Buat teman bisa dinego." Aku mencebik saat melihat ia mengedipkan mata. "Gratis, dong! Please, please, please?" Aku mengatupkan kedua tangan di depan d**a. Supaya aksiku terlihat semakin kredibel. "Mas Bian udah banyak duitnya ini." "Iya, iya, gratis." Mbak Angel mengurai tanganku. "Kayak anak kecil." Mendengar ejekannya, aku mencebik, berpura-pura tersinggung. "Bahan-bahannya boleh Mbak Angel sebutin sekarang? Aku nggak sabar." Kulihat, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, sebelum ia mulai menyebutkan bahan. Aku yang mengeluarkan apa yang ia sebut dari dalam plastik hasil berbelanja kami tadi. "Ayamnya keluarin. Kamu siapin air kelapanya tadi, tiga atau empat daun jeruk, tiga daun salam. Terus, sebentar, apa, ya? Oh, lengkuas yang sebesar jari itu sama dua serai. Selesai." "Tadaaa!" Aku memamerkan semua bahan yang berhasil kusiapkan dengan gerakan tangan. "Terus, buat bumbu halusnya, ya, Mbak?" "Benar sekali. Mau kamu lagi yang nyiapin atau aku?" "Aku dong!" Tangannya terulur, mengacak rambutku. Akhirnya, setelah sekian lama, aku merasakan lagi memiliki seorang teman dan kakak perempuan. "Satu ruas jari kunyit biar nggak amis. Empat bawang putih dan bawang merah. Keluarin kemiri tadi, nanti lima puluh gram aja. Apalagi yang belum, ya?" Mbak Angel terlihat berpikir. Bagaimana dia bisa banyak mengetahui resep makanan? "Ohya! Garam dapur, nanti aku aja yang ngira-ngira secukupnya. Merica dan gula pasir." "Udah! Banyak juga ya, Mbak, bumbunya?" "Tapi kalau udah terbiasa nanti, biasa aja kok." Mbak Angel berjalan mendekatiku. "Well, sekarang aku boleh minta tolong?" Aku mengangguk antusias. Aku di sini untuk memasak bersama. Jadi, semua ucapanya adalah panduan untuk hari ini. "Kamu halusin semua bumbu untuk bumbu halus ini, sementara aku mau menyiapkan bumbu oles sekalian motong ayam. Oke?" Sedetik setelah aku menyetujui, Mbak Angel terlihat mulai mengeluarkan bumbu-bumbu dan memotong ayam. Wahai, Tuhan, selain cantik, dia juga begitu cekatan dalam memasak. Sempurna sekali. Aku sudah selesai dengan tugasku, sementara Mbak Angel sedang menumis bumbu yang tadi berhasil kuhaluskan. Aku terus memperhatikannya sampai ia menyadari dan tersenyum. "Kamu mau nyoba?" Dan berikutnya, ia memberiku intruksi untuk memasukkan daun jeruk, lengkuas dan juga serai. "Tunggu sampai aromanya harum baru masukin daging ayamnya, ya." "Udah harum, nih, Mbak!" Aku tidak sabar. Ini menyenangkan! "Masukin langsung ayamnya, ya?" "Iya. Abis itu tuangin air kelapanya. Sampai nanti tinggal setengah air kelapanya dan kalau ayamnya udah mateng langsung diangkat." Setelah menunggu cukup lama---waktu itu kami gunakan untuk meminum jus---akhirnya air kelapanya sudah berkurang dan Mbak Angel memintaku untuk mengangkatnya. "Abis diolesi bumbu ini terus dibakar?" "Iya. Nanti, kalau udah agak kering, diolesi lagi, terus dibakar lagi sampai warnanya kuning kecokelatan. Setelah itu, selesai!" "Yeay!" Aku mengelap peluh, sembari menanti ayamnya agak mengering. Ternyata cukup lama, ya. "Gimana, asyik kan memasak?" "Bangeeeet." "Dan, perlu kamu tahu, suami suka rindu sama masakan istri." Tertarik dengan ucapannya, aku langsung menoleh ke arah Mbak Angel, sekaligus menerima gelas jus yang ia sodorkan. "Berarti istri harus bisa masak?" Mbak Angel menggeleng. "Minimal tahu makanan yang enak untuk dihidangkan di depan suami." Aku tersenyum lebar. Mendekati Mbak Angel dan memeluknya. "Makasih karena udah jadi tetangga Gea." "Lebay!" Aku tertawa kencang. To be honest, aku memang senang dan berterima kasih karena Mbak Angel hadir. Aku tidak bisa membayangkan kalau rumah Pak Jamal masih tetap kosong, akan sesepi apa hari-hariku selama Rafa mengajar. "Mau nyoba menu baru?" "Apa?" Aku langsung menyimak dengan baik. "Ayam rica-rica!" *** Aku dan Mbak Angel sedang duduk di sofa, menghadap layar telivisi yang menayangkan acara talkshow antara Deddy Corbuzier dengan seorang gadis muda yang berhasil meraih runner up dalam lomba kaver majalah remaja di Canada. Katanya, remaja itu akan menjadi model di kaver majalah terbesar di Canada bulan depan. Aku melirik Mbak Angel. Ia sedang menyilangkan kaki sembari memakan camilan yang kami beli. Sementara kakiku bersila. Ehm, apa aku juga harus mendapatkan beauty class dari Mbak Angel? Perlahan, aku mulai mengikuti cara Mbak Angel duduk. "Mbak Angel, aku boleh tanya sesuatu?" "Tanya aja, Ge." Dia tersenyum. "Mas Bian jarang pulang, kan? Sama kayak Papa. Sibuk banget padahal mereka, kan, bos. Mbak Angel nggak ngerasa kesepian?" "Kalau sepi tinggal telepon Mas Bian." "Bukannya Mas Bian sibuk?" "Dia sebisa mungkin angkat teleponku. Kamu sendiri nggak bosan?" "Bosen." Aku mengambil air putih dari gelas, lalu meneguknya. "Makanya, aku pengin hamil. Enak kali, ya, Mbak ada anak kecil di dalam rumah. Jadi rame." Aku mengerutkan kening saat ekspresi Mbak Angel sedikit berubah. Apa aku salah bicara? "Mbak Angel kenapa?" "Enggak apa-apa!" Dia tertawa kecil. "Aku sama Mas Bian sepakat buat nggak punya anak." Aku langsung tersedak camilanku. Wahai, Tuhan, apa aku tidak salah mendengar? Pasangan sesempurna mereka tidak ingin mempunyai keturunan? "Kemu kenapa kaget gitu?" Mbak Angel mengelus lenganku. "Prinsip kami aneh, ya?" Tanpa pikir panjang aku mengangguk cepat. Duh, bahaya. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bagaimana kalau Mbak Angel tersinggung dengan jawabanku? Namun, yang selanjutkan kulihat dari ekspresi Mbak Angel membuatku bernapas lega. Ia tertawa. "Mas Bian orangnya romantis banget, ya, Mbak?" Aku masih ingat beberapa foto mereka yang berlibur ke luar negeri. Bukan hanya itu, setiap ekspresi yang diberikan Mas Bian untuk Mbak Angel, seakan penuh kasih dan cinta. "Romantis itu kan representasinya beda-beda, ya, Ge?" Dia meminta izin untuk mengecilkan volume telivisi dan aku langsung menyetujui. Ceritanya nanti jelas jauh lebih menarik dibanding iklan produk itu. "Tapi aku senang dengan cara Mas Bian memperlakukanku. Dia romantis menurut versiku. Dia memahamiku. Yang paling penting, aku bisa merasakan cintanya begitu besar." That's a real relationship goals! "Kalau Rafa gimana? Orangnya humoris, ya?" Memang kebaca, sih, dari wajah tengilnya Rafaku. "Mas Bian so sweet banget, sih. Ah, aku jadi cemburu. Tapi, Rafaku juga sweet, kok. Paling cuma aku yang ngerti sweet-nya dia." Aku tertawa. Disusul tawa Mbak Angel. Memangnya dia mengerti maksudku sampai ikut tertawa? "Tapi dia kalau lagi lelah ngeri, Mbak." "Ohya? Dia suka main tangan?" Raut wajah Mbak Angel terlihat takut. Aku terbahak, dan itu membuat mukanya semakin terlihat bingung. "Bukan!" Aku mengibaskan tangan. "Ngeri di ranjang," bisikku. Yah, pipiku terasa panas. Memalukan. Mendengar klarifikasi itu, giliran Mbak Angel yang tersedak. "Kamu, ih! Aku pikir dia suka main tangan. Udah mau aku temenin buat lapor Pak RT." Mbak Angel melanjutkan memakan camilannya. "Mas Bian itu sepaket dengan bunga dan coklat, Ge. Setiap pulang ke rumah, selalu dua itu yang dibawa." "Walaupun nggak ada hari spesial?" Mbak Angel mengangguk. Aku menganga. Baru Mbak Angel akan membuka mulut untuk kembali melanjutkan, dering telepon dari smartphone miliknya menginterupsi. Mbak Angel mengangguk padaku, kemudian mengangkat telepon itu. "Iya, Mas?" Dia diam mendengarkan. Itu pasti Mas Bian. Entah apa yang dikatakan lelaki itu, yang pasti wajah putih Mbak Angel sudah merona. "Iya, ini lagi di rumah Gea. Masak bareng. Dia antusiasnya kayak biasa." Matanya menggerling kepadaku. "Oh kamu udah mau sampai gerbang satpam? Iya. Ini mau pulang. Iya. Nanti aku salamin. Hati-hati." Telepon berakhir. Mbak Angel membenarkan rok selututnya. "Dapat salam dari Mas Bian, Ge. Katanya, nanti kapan-kapan mau cobain masakan kamu." "Waduh, jelas rasanya jauh sama hasil Mbak Angel!" "Kan, aku gurunya." Ia menunjuk dadanya, pongah. Membuatku tertawa kencang. Mbak Angel pamit. Bertepatan saat aku akan menutup pintu, kulihat Avanza milik Rafa datang dan ia memasukkannya ke dalam garasi. Rafaku sudah pulang. Berarti, hari ini dia mengajar kelas malam juga. Atau, ada kelas pengganti seperti biasa yang terkadang membuatku cemburu dengan kampusnya itu. Mereka lebih memiliki banyak waktu dengan Rafa dibanding aku "Sayaaaaang!" Aku langsung menyongsong Rafa begitu ia turun dari mobil. Senyuman lebarnya membuatku semakin bertambah rindu. "Capek, ya?" Aku mengambil ranselnya. "Enggak." Dia menyeringai. Ow ow ow, suamiku melakukan apa hari ini? "Kamu kenapa?" Rafa duduk di sofa, melepas sepatunya dan menyandarkan punggung. "Karena aku pasti dapat kejutan malam ini." Aku tidak menjawab. "Kamu abis masak sama Mbak Angel, kan?" "Ih, nggak suka!" Aku mencebik kesal. Memukul lengannya cukup kencang. "Kok kamu bisa tahu, sih? Kan itu kejutaaaaan." Gemas sekali. Aku menggigit bahunya, membuat Rafa berteriak minta ampun. "Geli, Wil!!" teriaknya. Ia menjauhkan diri, masih tetap menetawakanku. "Tadi di gerbang ketemu sama Bang Bian. Dia bilang Mbak Angel abis masak sama kamu." Aku mengeram kesal. "Mas Biaaaaan. Eghhh! Bikin kesel." Gagal sudah kejutanku. Rafa menatap beberapa olahan hasil Mbak Angel dan aku dengan penuh binar. Ada ayam bakar kecap pedas, kemudian ayam rica-rica. Dan, sayurnya adalah tumis kangkung ala Mbak Angel. Rasanya benar-benar nikmat. Dan, karena Rafa juga suka masakan manis dan pedas. "Ini yakin kamu ikutan masak, Wil?" Rafa mulai mengunyah ayam bakar yang kusiapkan di piringnya. "Nggak percaya, deh." "Ih, harusnya tadi aku rekam biar kamu percaya." Aku menyodorkan air putih. "Enak, kan?" "Ini, sih, tarafnya udah restoran bintang tujuh." Aku memutar bola mata. "Ini namanya ayam diapain? Dicabein?" Rafa menunjuk piring yang berisi ayam rica-rica. Aku memukul tangannya. Enggak sekalian terong dicabein? "Itu ayam rica-rica! Ih tinggal makan aja. Bawel." Dia tertawa. Terlihat menikmati makanannya. Benar kata Mbak Angel. Aku mungkin tak perlu pandai memasak, tetapi memastikan kelayakan makanan untuk suami adalah wajib.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD