3. The X.

1243 Words
KIMBERLY terkejut dan menoleh ke arah pintu ruang belajarnya yang terbuka lebar. Seorang pria dengan jaket kulit hitam, celana jeans dan sepatu bot bersandar di ambang pintu. Secuil rambut merahnya terjuntai di kening kirinya. Tangannya terlipat di da.da. Vincent!! Laki-laki itu tersenyum pada Kimberly yang membeku melihatnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Tak tahukah kau caranya untuk mengetuk pintu?" cecar Kimberly. Melihat Vincent menyengir mengejeknya, Kimberly jadi tersadar panggilan teleponnya masih terhubung. Dia bicara ke telepon. "Honey, ada sesuatu yang harus kulakukan. Kututup dulu teleponnya, ya?" Dia memutus panggilan tanpa menunggu sahutan lawan bicara. Kimberly meletakkan ponselnya di meja dan memasukkan berkas yang tadi dibacanya ke dalam laci. "Kau menanyakan hal itu padaku, bukankah siang tadi kau sendiri yang masuk tanpa permisi ke ruanganku?" balas Vincent. Tak ada tanggapan. Kimberly hanya mendengus menahan marah. "Pacarmu?" tanya Vincent. Penasaran dengan orang yang bicara dengan wanita itu di telepon sehingga membuatnya tersenyum seperti idi.ot. Kimberly berjalan cepat kearahnya dengan wajah cemberut. Wanita itu melewatinya dan memberi tatapan tajam. Dia terus berjalan menuju pintu depan. Kimberly membuka pintu lebar-lebar. "Keluar!" bentaknya. Vincent menjatuhkan tangannya ke samping dan ia berbalik menghadap Kimberly. Wanita ini, sudah tidak tahu terimakasih, tidak punya tata krama, kasar, temperamental ... tetapi dia cantik ... jadi tidak apa-apa. Ia bisa memakluminya. "Apa tadi kamu teleponan dengan pacarmu?" todong Vincent sambil berjalan pelan. Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Bukan urusanmu!" "Sekali seumur hidup baru kali ini aku melihat wajahmu tampak normal seperti tadi. Apa kau tahu wajahmu biasanya seperti apa? Seperti ikan mati!!" ejek Vincent. "Bukan urusanmu!" sahut Kimberly sambil memalingkan wajahnya. Dia melihat ke arah luar rumah. Vincent menatap ke arah wanita muda itu. Ia teringat pada Violet. Kimberly dan Violet adalah saudara kandung, walaupun sifat dan fisik mereka sangat berbeda. Violet bertubuh tinggi besar untuk ukuran wanita, cenderung berotot, berkulit agak gelap dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat tua, berenergi, ramah dan penyayang. Sedangkan Kimberly bertubuh mungil, sekarang agak berisi, dengan warna kulit, rambut dan mata yang lebih cerah, kakinya yang indah terekspose jelas dengan pakaiannya saat ini. Dia lumayan cantik, tetapi perilakunya ... buruk. Vincent tak dapat menahan untuk mengerutkan dahi. Kenapa gadis ini makin dewasa makin berani dan kasar? Anehnya, ia menyukainya. "Ini bukan sikap yang seharusnya kau tunjukkan pada orang yang lebih tua ...," tegur Vincent. Oh, lihat, siapa yang bicara? Mata Kimberly berputar. "Katakan saja apa maumu, lalu pergi dari sini!" Kimberly berkacak pinggang, membuat tonjolan dadanya makin jelas. Tungkai kakinya yang terlihat jenjang terbuka lebar. Vincent membayangkan jika sepasang kaki itu melingkari pinggangnya. Wanita ini... dia lulusan universitas ternama, apa dia tidak pernah belajar sopan santun? "Aku datang untuk mengecekmu apa kau sudah makan siang. Aku tahu kau biasanya tidak memperhatikan makanmu. Itu tidak bagus, akan buruk bagi kesehatanmu...." Bla bla bla …. "Bukan urusanmu!" Kimberly mengorek hidungnya dan mengusapkan upilnya ke kusen pintu. Anything to kick this guy off. Vincent terpana takjub dengan kejorokan wanita itu. Namun ia tidak mau mengalah begitu saja. Vincent buru-buru berjalan ke dapur. "Heh, mau kemana kau?" teriak Kimberly. "Aku akan memasak makan malam untukmu." Kimberly mengejarnya. Vincent membuka lemari es dan ia terpana. Kosong. Kimberly mendengus kesal. "Tak ada yang bisa dimasak di sini. Pergi sana!" Vincent menegakkan tubuhnya berhadapan dengan Kimberly yang puncak kepalanya pas berada di bawah pundaknya. "Tidak bisa begini,” rutuk Vincent. “Kau … apa kau .... Bagaimana kau menjalani hidupmu selama ini?" Kening Vincent berkerut dalam mencemaskan Kimberly. Lihat... siapa yang bicara? Kimberly meremehkan dengan tatapan diseret pada pria urakan itu. “Aku hidup baik-baik saja!” celotehnya. Vincent memeriksa sudut-sudut dapur, mencari-cari bahan yang bisa dimasak di lemari. Ia hanya menemukan sekotak cereal dan sekotak s**u murni dan melirik miris pada Kimberly. Siapa yang hidup di rumah ini? Anak SD? "Dengar, Vincent, aku sudah dewasa! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil. Berhenti mengurusiku. Aku bukan adikmu dan kau bukan kakakku. Kau bukan keluargaku. Kau bukan siapa-siapaku!" Vincent segera mendekati Kimberly lagi dan berkacak pinggang. Ia menatap lurus ke dalam mata wanita itu. "Kau punya pacar?" "Bukan urusanmu!" "Jawab saja pertanyaanku!" desak Vincent "Tidak punya!" "Kalau begitu, kencanlah denganku!" "Hah!" Kimberly murka. "Aku tidak kencan dengan eks-kakakku!!" "Kalau begitu ... fu.ck me." Tidak tahu malu! Pipi Kimberly bersemburat merah dan tubuhnya memanas. "I don't fu.ck with my sister's-ex," jawabnya dengan rahang terkatup. *** DI belahan dunia yang lain. Jam 1 dini hari. Di suatu tempat dilapisi salju tebal, badai salju ringan sedang terjadi. Dingin dan kegelapan menyelimuti kawasan itu. Seorang pria bersetelan jas dalam mantel tebal berdiri menghadap jendela. Sorot mata abu-abunya sedingin udara malam itu. Rambut hitamnya kontras dengan kulit pucatnya. Wajah berahang tirus dengan tulang hidung tinggi dan alis menukik tajam di atas mata kelamnya, membuat wajah tampannya memancarkan aura kejam dan mengintimidasi. Pria itu menyimpan ponselnya dalam kantong jas. Ia memandang keluar jauh dalam kegelapan. Ia mendengar suara seorang pria sedang bicara dengan istrinya saat ia menelepon tadi. Rasa tidak suka merayap di dalam hatinya. Xander Xin merasa cemburu. Pria itu berusia 32 tahun sekarang, namun rasa cemburunya tidak lebih seperti remaja umur belasan. Sendirian dalam ruangan, akhirnya Xander melepaskan napas. Pundak bidangnya yang tadinya tegap sekarang menurun. Jarinya memijit kening. Ia punya banyak urusan yang bernilai jutaan dolar, tetapi urusan cerai dengan Kimberly, istrinya, lebih menyita pikirannya. Dengan IQ-nya yang lebih tinggi dari wanita itu, ia masih tak dapat menemukan penyelesaian bagi masalah mereka. Apa saja selain bercerai, seperti yang diajukan istrinya. Apa aku kurang perhatian? Apa aku kekasih yang buruk? Apa aku payah di ranjang? Pertama kali melihat Kimberly, matanya sudah terpaku pada gadis muda itu. Aplikasi pendaftaran Universitas Xintel jurusan Matematika. Ia sudah mengenal gadis itu sebelum ia tahu namanya dan ia mengetahui riwayat Kimberly selain yang dicantumkan dalam CV-nya. Menguras uang beberapa biro judi online. Membobol sistem keamanan salah satu bank tanpa terdeteksi. Mengacaukan harga saham dunia, semua dilakukan gadis itu ketika dia baru berusia 10 tahun. Saat itu tidak ada yang bisa melacaknya. Xander berhasil melacak keberadaan Kimberly ketika dia berusia 15 tahun. Saat ia memantau ada aktifitas mencurigakan di sistem keamanan perusahaannya. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Ia berhasil mendapatkan identitas hacker itu, lalu ia memutuskan akan merekrut gadis itu jika sudah cukup umur. Awalnya, ia berpikir ia yang akan mendatangi gadis itu. Tanpa disangka, gadis itu datang sendiri padanya. Gadis itu meminta untuk bekerja padanya. Menjadi salah satu rekrutmennya, prajuritnya. Kimberly menjalani berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Hasilnya, Kimberly selalu melebihi ekspektasinya. Pelan-pelan ia memiliki perhatian khusus pada gadis itu. Ia punya banyak anak buah. Yang pintar banyak, yang lebih cantik, banyak. Namun yang membuatnya tertarik secara fisik hanya Kimberly. Ia sadar, Kimberly masih terlalu muda ketika menikah dengannya, masih banyak hal yang ingin dilakukan wanita itu. Ditambah sikap orang tuanya yang menekan Kimberly. Lagi pula pernikahan mereka baru akan memasuki 3 tahun. Kata orang, di masa-masa itulah sebuah perkawinan banyak menghadapi cobaan. Jika ini sebuah layang-layang, maka ia akan membiarkannya terbang bebas. Namun, ia tidak akan pernah membiarkan talinya putus. Seorang bawahannya menghampiri. "Lapor, Bos! Penggalian sudah mencapai target. Mereka berhasil menemukannya.” Memnggungi pria itu, Xander menjawab dengan dingin. " Bagus! Cepat selesaikan! Berikutnya, siapkan keberangkatanku ke Kota CC! Sepertinya sudah saatnya aku mengunjungi makam mertuaku.” "Siap!" Anak buahnya menyahut kemudian mengundurkan diri. Xander kembali memandangi kegelapan di tengah badai salju di luar sana. Ia bergumam pada bayang semu istrinya. " Love, bagaimana aku bisa menguasai dunia, jika aku tidak bisa membuatmu tetap di sisiku?" *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD