13. Penelitian

1704 Words
Pria itu berjalan sambil menarik tas travelnya. Di tangannya memegang paspor dan tiket pesawat. Pria itu hendak pergi juga? Kimberly bertanya-tanya. Dia menelangkan kepala ke arah lain karena mengiringi rombongan Xander. Rombongan pengusaha kaya itu dikawal hingga ruang tunggu VIP di lantai 3. Loco berdiri menjaga di depan pintu. Ruangan itu tenang dan sejuk. Di dalam ruang tunggu terdapat sofa besar, berbagai jenis makanan dan minuman. Bahkan sarana hiburan seperti karaoke dan video gim juga tersedia. Xander Xin duduk di sofa dengan kaki bersilang sambil membaca sesuatu di pangkuannya, sementara Marcus berdiri menghadap dinding kaca sambil bicara di ponsel. Sekretaris Kim menyuguhkan espresso dan pastri roti mungil aneka bentuk di meja. "Kopi Anda, Tuan Xin!" ujarnya. "Hmm," sahut pria itu tanpa mengangkat wajahnya dari laporan di pangkuannya. Sekretari Kim lalu menghampiri Marcus. Pria itu selesai menelepon dan ia melipat tangannya di da.da. Di balik kacamatanya, Marcus memandang manusia yang lalu lalang di lantai bawah dalam bandara melalui dinding kaca satu arah. Sekretaris Kim berdiri di sampingnya, turut memandang melalui kaca itu. Dia menyentuh gagang, untuk membetulkan posisi kaca matanya yang tebal. "Kaca mata itu ada fungsi memperbesarnya, ‘kan? " tanya Marcus tanpa mengalihkan pandangannya. "Yeah ...," sahut Sekretaris Kim seraya menyengir. "Lihat, lihat! wanita itu sedang mememperbarui statusnya, ia memajang fotomu di statusnya," katanya bersemangat sambil menunjuk ke arah seorang wanita yang duduk di bangku tunggu di bawah mereka. Tangan Sekretaris Kim menarik lengan bajunya. Marcus tidak dapat menahan bahunya tertarik ke arah Sekretaris Kim. "Sekretaris Kim, kau tidak boleh mengintip ke ponsel orang. Itu melanggar privasi orang," peringat Marcus dengan suara datar yang serius. Sekretaris Kim terkekeh dan menepuk pundaknya. "Apa maksudmu? Dia memajangnya di sosial media. Semua orang bisa melihatnya, apanya yang privasi?" Dia balik menuding Marcus. "Bagaimana dengan kau sendiri? Kacamatamu bisa melihat tembus pandang, kau melihat orang-orang itu tanpa busana. Jadi, siapa penjahat sebenarnya? Dasar me.sum!!" "Ah...!" rahang Marcus terjatuh. Wanita ini! Ia tergagap "A-aku tidak ...." Sekretaris Kim mentertawakannya. "Me.sum! Me.sum!" "Apa maksudmu?! Aku tidak melakukannya!" Marcus berusaha menjelaskan. Ia melepaskan kacamatanya dan memperlihatkan pada Sekretaris Kim tombol rahasia di gagang kacamata. "Lihat ini! Lihat, aku tidak mengaktifkannya ...." Sekretaris Kim semakin mentertawakan dan mengejeknya. "Buhahaha, kau berbohong! Kau bisa saja mengubahnya dengan jari lihaimu. Dasar me.sum tukang bohong!!" "Aku tidak bohong!" Marcus berusaha membela diri dengan wajah merah padam. Sekretaris Kim masih mentertawakannya. CEO Xin mengangkat wajahnya dan memperhatikan dua orang itu saling mengejek. Wajar baginya melihat anak buahnya bercanda, karena mereka sering berkumpul untuk berlatih atau menjalankan misi, tetapi saat ini ia sedang tidak berhasrat untuk melihatnya. "Ehmm!!" Ia mendeham keras, membuat Marcus dan Sekretaris Kim menoleh padanya keheranan. "Ada apa, Bos??" tanya dua orang itu bersamaan. Kompak. "Sekretaris Kim, kemari!" ujarnya sambil mengarahkan jarinya pada Sekretaris Kim. Wanita itu mendekat. Xander meletakkan berkas yang dibacanya di meja. "Katakan bagaimana menurutmu tentang proyek investasiku kali ini," ujarnya sambil memberi tanda dengan dagunya. Ia mengangkat cangkir berisi kopi hitam buatan Sekretaris Kim. Kopi yang tidak enak karena komposisi yang tidak seimbang antara gula dan air. Namun ia tetap menyeruputnya seraya mengehela napas panjang. Sekretaris Kim duduk di ujung sofa, mengambil berkas bertuliskan Xin Corp dan mulai membacanya dengan serius. Xander Xin memberi tanda pada Marcus supaya keluar ruangan. "Saya akan menunggu di luar, Tuan Xin," kata Marcus penuh hormat lalu ia ke luar ruangan meninggalkan dua orang itu untuk berdiskusi. Sekretaris Kim tampak mengernyitkan kening memeras otaknya. Kepalanya ditelengkan dan sorot matanya tajam. Dia lalu mengangkat wajahnya untuk menatap CEO Xin. "Ini memang investasi yang sangat menguntungkan, Tuan Xin," ujarnya mantap, "jika yang Anda maksudkan soal investasi tambang minyak mentah di Kutub Utara ini. Sebenarnya Anda tidak perlu opini saya karena Anda sudah memiliki beberapa investasi serupa, Tuan Xin. Anda sudah tahu jelas prospeknya.” CEO Xin diam saja. Mata abu-abunya menatap tajam. Ia membiarkan Sekretaris Kim bicara lebih lanjut. "Anda pasti menemukan sesuatu yang baru di sana, kalau tidak, Anda tidak perlu repot-repot mengurus langsung investasi yang sudah biasa Anda lakukan, Anda akan menugaskan orang lain yang sudah berpengalaman." CEO Xin mengeluarkan sebuah map lagi. Ukurannya lebih kecil, bertuliskan Xin Corp Meteorology and Archeology Research Laboratory. Sekretaris Kim mulai membaca berkas baru itu. Isinya sangat penting dan mengejutkan dunia. Namun wanita itu tampak tenang, seolah sedang membaca cerita dongeng. Teori Bigbang menggambarkan bahwa bumi terbentuk dari kumpulan benda-benda luar angkasa, membentuk daratan padat dan berlapis-lapis, ditempa terus menerus selama beribu-ribu tahun. Jika suatu saat manusia menggali dan mencapai laisan tertentu, mereka akan menemukan berbagai zat, senyawa, bahkan kehidupan baru. Baru bagi manusia dipermukaan, tetapi sebenarnya sesuatu itu sudah ada bahkan sebelum manusia diciptakan. "Ini, luar biasa, Bos! Hebat!!" ujarnya dengan mata berbinar-binar. Xander Xin memang ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Wajah Xander semakin menggelap. Rahang tirusnya terkatup rapat. Sekretaris Kim berdiri dan berjalan menuju dinding kaca, membawa hasil pemeriksaan laboratorium itu di tangannya. Hasil pemeriksaan mineral jenis baru yang ditemukan di dalam tanah di Kutub Utara. Wajahnya dingin dan sorot matanya tajam seolah hendak membunuh. "Ini sangat luar biasa ... sekaligus sangat berbahaya," katanya sambil berdiri membelakangi CEO Xin. "Benda itu telah menyebabkan cedera beberapa orang," kata Xander yang masih duduk di sofa dan bersilang kaki. Sebelah tangannya bertumpu di sandaran, meleluasakan jarinya menyentuh ujung bibirnya sendiri. "Maksudmu, mereka semua mati, Tuan Xin?" tanya wanita itu. Xander Xin enggan menjawab. Ia diam sesaat, melempar pandangan ke arah lain lalu mendesah. "Ya," jawabnya akhirnya. Yang sangat disesalkan Xander, mereka adalah orang-orang terbaiknya. Mereka dalam proses memindahkan sejumlah kecil benda itu, sebuah zat yang tidak stabil dan tidak diketahui jenisnya, lalu terjadi ledakan. "Ada harga yang harus di bayar untuk mencapai sesuatu" kata Sekretaris Kim kemudian. "Tuhan menciptakannya pasti ada tujuannya, kan? Zat ini sangat berbahaya, tetapi bisa juga sangat berguna. Zat ini, Tuan Xin akan menjadi terobosan bagi dunia. Bahkan jika kita berhasil mengisolasinya nanti, zat ini bisa digunakan sebagai sumber energi bagi manusia. Seperti baterai, memberikan kekuatan pada orang yang memakainya." Xander mengernyitkan keningnya, "Maksudmu seperti superhero berbaju besi itu?" Ia mereferensikan pada tokoh komik yang dijadikan film. Wanita ini … apa dia menghayal? Terlalu banyak membaca komik? "Betul!" Sekretaris Kim berbalik cepat menghadapnya. Wajahnya terlihat gembira. Namun dalam sekejap hilang, berganti wajah sedih dan kecewa. “Tetapi semua kembali lagi tergantung pada manusianya. Bagaimanapun ... manusia tetaplah manusia. Mereka membuat kesalahan." Sedetik kemudian, dia kembali tampak optimis. “Tetapi saya percaya pada Anda, Tuan Xin. Anda tidak akan membuat kesalahan. Zat ini berada di tangan yang tepat." "Bagaimana kau bisa begitu yakin? Belum apa-apa benda ini sudah memakan nyawa." Xander berujar kecewa. "Semua perlu waktu, Tuan Xin," imbuh Sekretaris Kim lagi. "Anda baru saja menemukan benda ini, biarkan saja dulu ia apa adanya di habitat aslinya. Ia perlu penyesuaian. Tunggulah beberapa saat." Menunggu berarti harus ada pos khusus yang mengawasi are di mana zat asing itu bersemayam. Xander memantapkan keyakinannya. Setelah mendapat masukan dari Sekretaris Kim, CEO Xin memutuskan membangun laboratorium penelitian di pedalaman padang salju di Kutub Utara. Xander bangkit dari kursi dan berjalan mendekati Sekretaris Kim. "Sepertinya tak ada hal yang menjadi misteri bagimu," katanya sambil berusaha memandang ke dalam mata wanita itu, yang berwarna hitam karena lensa kontak. Ia tahu di balik mata hitam seorang Sekretaris Kim, ada isterinya, Kimberly. "Kenapa merepotkan diri menyelidiki kematian orang tuamu, padahal kau bisa menyuruh orang lain melakukannya? Katakan saja, Honey, kau hanya perlu menyebut nama, maka aku akan membereskan orang itu.” Sekretaris Kim memandang ke arah lain, menghindari tatapan pria itu. "Masalah ini sangat personal, Tuan Xin. Setiap orang punya ketakutannya sendiri," ujarnya. "Aku takut melihat kebenarannya, karenan itu aku harus menghadapinya sendiri." "Kebenaran?" Xander Xin berusaha memahami maksudnya. "Betul," ujar Sekretaris Kim pelan. "Kebenaran bahwa kematiankulah yang diinginkan pembunuh itu, bukan orangtuaku.” Xander membeku mendengarnya. Untuk apa seseorang menginginkan kematian gadis kecil yang tidak tahu apa-apa soal dunia? "Bisa kau bayangkan jika aku mendengar itu dari orang lain? Betapa bodohnya aku jadinya," keluh Kimberly dalam tampilan Sekretaris Kim. "Dan kita hidup dalam lingkaran se.tan ini, Xander. Bagaimana menurutmu, jika suatu saat kita berhadapan sebagai musuh, apa yang akan kau lakukan?" "Aku tidak akan pernah menyakitimu, Kimberly," jawab Xander cepat. Matanya gelap seolah berada di dasar sumur yang dalam dan ia berusaha meraih Kimberly. Sesaat, mereka berhadapan, melihat ke dalam mata masing-masing. Sangat dekat. Namun seolah terbentang jarak yang sangat jauh di antara mereka. Tiba-tiba Kimberly tertawa. "Hahaha, aku cuma bercanda, Bos!" Dia melompat lincah mendekati Xander dan memeluk pinggangnya. "Tentu saja kau tidak akan menyakitiku, Bos, kau sangat menyayangiku, " ujarnya sambil membenamkan wajahnya di da.da Xander. Xander terperanjat, ia hanya bisa memutar bola matanya dan balas memeluk Kimberly. Wanita itu menyeruduk manja di dadanya seperti anak kucing yang minta dibelai. Xander menghela napas lega. Kemudian ia berkata, "Jika suatu saat aku menjadi musuhmu, Honey, kau boleh membunuhku." Ia memeluk wanita itu seraya memejamkan mata. "Hmm, ya .... Aku akan melakukannya," sahut Kimberly sambil menikmati aroma kolonye Xander. Dia bergumam sesuatu yang membuat Xander tersenyum. "Aku akan membunuhmu, Xander, karena aku wanita yang sangat jahat." Xander mengangkat wajah Sekretaris Kim dan mengelus pipinya. “Kau tahu, Love, jangan bilang dirimu wanita jahat. Kau akan membuat pria baik-baik sepertiku semakin menginginkanmu.” Ia mengecup lembut bibir merah tua Sekretaris Kim. Ciuman itu adalah ciuman perpisahan mereka untuk hari itu. Xander berangkat dengan jet pribadinya menuju Kutub Utara. Menyempatkan menjenguk istrinya yang meminta cerai, membuat Kimberly merasa terlalu dimanja. Xander seharusnya tidak melakukan itu. Karena pria baik-baik membuatnya ingin melakukan hal-hal jahat. Di limosine, dalam perjalanan pulang dari bandara, Sekretaris Kim duduk santai dengan kaki bersilang di kursi penumpang. Dia memainkan ponselnya sebentar, lalu mendesah lelah. Sekretaris Kim menjatuhkan ponselnya ke samping. Dia melonggarkan kerah setelan kerjanya, melepas kacamata dan membuka gelungan rambutnya. Rambut hitam legam tergerai bebas dan dia menyibak rambut yang menutupi wajahnya. Marcus dan Loco di kursi depan memperhatikan melalui pantulan cermin depan. Dari bahasa tubuh yang celamitan, mereka tahu wanita itu sudah berganti mode. "Hei, Zee!" panggil Kimberly tiba-tiba dan mendekat ke kursi Marcus. Marcus menoleh padanya. "Ada apa?" tanya Marcus. Bibir merah tua Kimberly tersenyum lebar. Ekspresi wajahnya terlihat antusias dengan mata hitam berbinar. "Kau pernah pergi ke bar gay?" tanyanya. Kening Marcus mengernyit. Entah acara apa lagi yang ingin dilakukan istri bosnya itu. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD