Bab 3

2306 Words
“Ini gila.” Pemilik telinga yang mendengar umpatan yang berulang kali diucapkan Richard itu, kini menatap dengan wajah heran. Penasaran. Kiranya soal apalagi kali ini yang membuatnya sedikit terlihat… frustasi? “Haruskah aku buatkan teh chamomile untukmu?” tawarnya, bernada ragu. “Aku muak dengan teh itu. Cukup untuk membuatku tenang, tapi tak membuat masalahku terselesaikan.” “Ah.” Mulut yang sempat terperanga berkata-‘ah’ itu kini terkatup, rapat. Matanya bergulir dari ujung kanan ke kiri, dahinya berkerut, memikirkan apalagi yang bisa ia tawarkan untuk Richard. Bibirnya beberapa kali terbuka, sudah ada kata yang hampir terucap namun hanya tergantung begitu saja, terhalang perasaan takut salah, takut ia endingnya akan mendapat semprot dari Richard. “Kau ingin mengatakan apa? Kenapa bertingkah seperti orang gagap?” Richard menaikkan satu alisnya, memandang penuh tanya akan tingkah asistennya yang ia nilai tak jelas. “Aku tak tahu harus berkata apa, Mister. Hehe,” jawabnya, dengan cengengesan. Sampailah Rihard menatap datar dengan tangannya yang agak gatal, ingin sekali untuk menggampar wajah Arnorld yang menurutnya… Sok imut! Ah, atau memang imut, dengan tubuhnya yang besar, sebesar mamut itu. Richard menghela napas panjangnya sembari menghempaskan tubuhnya pada punggung kursi kerjanya. Matanya memejam, tangannya kasar mengoyak dasinya agar melonggar. Ia tengah dalam upaya untuk menciptakan nuansa rilex. Sedari 2 jam yang lalu, ah, tepatnya sedari kepulangannya dari sesi bersama Dokter Alice, ia terus memikirkan bagaimana cara mengerjakan PR-nya. Kepalanya bahkan tak berhenti melakukan observasi. Yang membawanya pada kesimpulan bahwa dirinya harus berhenti terbuai akan penampilan fisik seorang wanita, tapi harus kepada nilai-nilai diri yang dimiliki si wanitanya. Atau ia akan terus terjebak dalam lingkaran setan, hubungan singkatnya. Richard menghempaskan napas gusarnya. Itu terdengar keras dan kasar. Bahkan tubuh besar Arnold mengalami oleng, sampai mengambil satu langkah mundur karenanya. Tentu, bukan karena napas Arnold yang sekuat badai, namun karena takut. “Apa kau ada masalah, Mister? Semua sidang sudah pasti akan kita menangkan. Bahkan soal HANA BANK pun sudah jelas kemenangannya ada di depan mata kita. Bukti pembukuan komisaris tidak ditemukan. Dan alasan kuat mengapa ia tak melaporkan transaksi dengan Bank J sudah cukup. Jadi, apa lagi yang membebani pikiranmu?” Rupanya Arnold mencoba mengulik alasan dari kesembrawutan isi kepala Arnold. Dan yang ia terka hanya sebatas permasalahan klien VIP Richard yang tersangkut hukum penggelapan senilai Rp 6.280 miliar untuk kepentingan pribadi. Namun jauh dari dugaan Arnold, soal kasus itu sangat mudah di tangani oleh Richard. Bahkan ia bisa memastikan kalau otoritas jasa keuangan tak bisa sedikitpun menyentuh kliennya. Meski memang, dana itu masuk ke kantung pribdinya. Namun itulah tugas Richard sebagai pengacara yang sudah dibayar untuk menyelamatkan Komisaris HANA BANK dari pihak penuntut. Mata Rihard terbuka dan langsung ia tatapkan kepada asistennya yang masih memasang seperti anak balita yang baru pertama kali melihat salju atau bintang jatuh di atas sana. “Ke-kenapa? Kenapa kau menatapku seperti itu? Dan kenapa kau ingin tahu apa yang sedang membebani kepalaku?” Hukk. Kaget. Arnorld merasa baru saja tersedak oleh untaian tanya yang diajukan Richard kepadanya. “Ah- itu…, ehm, itu…” kali ini serangan kegugupan yang melanda Arnorld. “Ada apa? Apa kebingunganku mengganggumu?” Richard menyelidik. Hingga makin tersudutlah Arnold karenanya. “A-ah tidak. Tentu tidak hanya saja…,” Richard menunggu, sementara Arnold ragu dan bingung bagaimana mengungkapkannya. “Apa?” “Kau terlalu sexy saat berantakan.” Itu adalah hal paling ambigu yang pernah Richard dengar dari asistennya. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Richard sampai cengo total karennanya. “Bisakah Mister bertingkah biasa saja layaknya orang yang sedang bingung, tak perlu sesexy itu, kenapa bibirmu jadi lebih sensual, kenapa buah adam di tenggorokanmu sangat menggoda, dadamu yang kembang kempis, hingga sesuatu yang menonjol di balik celanamu-“ “ARNOLD! KAU MASIH WARAS BUKAN???” Ricard membentak, karena ucapan vulgar yang Arnold ucapkan. Bahkan ia mulai takut kalau-kalau asistenya salah satu dari banyaknya kaum minor yang mengibarkann bendera pelangi. “Kau tak terangsang sampai ingin menerjangku, bukan? Kau masih menyukai wanita bukan?” Dari bagaimana raut wajah Richard saat ini sangat cukup untuk menggambarkan kegusaran dan khawatir yang dimilikinya. Namun untunglah, jawabnya … “Kalau aku wanita, tentu aku akan langsung menyerangmu.” Richard menghela napas lega. Otot-ototnya mengendur setelah semula agak tengang karena ucapan gila asistenya. “Kenapa kau sangat menggoda sekali? Akan bahaya kalau ada wanita yang masuk dan melihatmu. Atau, bayangkan kalau yang menjadi asistenmu adalah seorang wanita. Mungkin kau terus membuatnya dibakar gairah dan terus bercinta dengannya,” tuturnya. Itu mungkin akan jadi bayangan gila namun fantasi yang cukup menggoda untuk dilakukan seorang pria. Bercinta semaunya, dimana pun, kapan pun, membuat wanita mana pun tunduk hanya dengan modal pesona alamiah yang dimiliknya, sangat mudah untuk dilakukan Richard. Namun ia sadar betul, hal yang didapatnya dari aktifitas liar nan panas itu hanya kenikmatan yang bagai sebuah fatamorgana. Dan yang sedang Richard inginkan saat ini adalah sesuatu yang abadi. Seorang wanita yang bukan datang untuk pergi. “Itu akan melelahkan bagiku. Aku tak lagi tergoda untuk bercinta dengan seorang wanita. Aku benar-benar harus insfyaf dari seorang wanita yang hanya ingin bercinta denganku.” Mata Arnold melebar dengan sempurna, luar biasa kaget dengan penuturan bosnya. “KENAPA?” “Aku inginkan yang lain dari seorang wanita,” jawab Richard datar. Dan tentu, itu tak cukup memuaskan tanya heran asistenya. “Ta-tapi, kenapa? Kau masih memiliki hasrat seksual bukan? Kau tak memiliki kelainan bukan?” Richard menggelengkan kepalanya. Dan satu ide pun terbesit di kepalanya. “Bisakah kau mencarikan wanita untukku? Seorang wanita yang asyik untuk diajak bicara? Bicara sampai berjam-jam lamanya??” “Apa??” *** From Arnold : Kau selalu bisa berbicara dengan Miss Sera selama berjam-jam dan tak mau mendapat intrupsi apa pun. Jadi aku pikir dia adalah wanita yang kau cari, Mr. Arnold. Mendapati pesan juga pekerjaan tak beres dari asistennya, Richard benar-benar kesal sekali sekarang ini. Marah tak bisa, memaki orangnya tak ada, hingga ia hanya bisa memasang senyum lebar bagai badut di sebuah pesta yang dipenuhi oleh anak-anak nakal jadinya. “Ada apa kau ingin bertemu denganku? Tak biasanya. Ini juga bukan jam kerja? Apa ini sesuatu yang bersifat pribadi?” Richard pun tak tahu tujuan dan inginnya apa untuk bertemu salah satu pengacara terhandal di firma hukumnya. Wanita yang memang hampir selalu mengobrol panjang dengannya, bahkan menyita waktunya. Namun sayang. Itu bukan obrolan yang menyenangkan, melainkan sebuah perdebatan. Mereka selalu cekcok dan tak sependapat tentang mengurusi kasus hukum, bahkan selalu berlainan dari sisi idealis. Benar, Sera Salim, adalah wanita dengan idealisme tinggi. Ia tak segan untuk menentang keputusan final Richard yang selalu lebih condong kepada kepentingan firma dari pada kebenaran yang harusnya ditetapkan sebuah pengadilan. “Yeah, aku hanya…, ehm,” ini memalukan sekali menurutnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap mati kutu. Gugup dan tak percaya diri di hadapan wanita bergaya amat formal, berambut cepol dengan kaca mata yang setia bertengger di hidung mancung khas darah Arabnya. Ia bahkan tak pernah mengenakan pakaian terbuka yang menampilkan buah dadanya, yang Richard tahu pasti berukuran oversize. Selalu celana formal dengan garis lurus rapi, lebih mulus dari jalan tol kota, dan outer formal yang menjadi seragam hari-hari bekerjanya. Jelas sekali kalau wanita di hadapannya saat ini bukanlah seorang tipenya. Yang selalu berhasil membangkitkan gairahnya, seperti biasanya. “Apa? Tentang apakah ini?” Richard memejamkan matanya. Ia berusaha keras mendorong dirinya. Ia bahkan memutar kembali audio suara Dokter Alice yang ia rekam di dalam kepalanya. ‘Bayangkan ini sebuah perjalanan. Aku harus bisa membuangun sebuah obrolan dengannya. Walau dia bukan tipeku, tapi aku harus bersamanya. Lagi pula wanita mana lagi yang bisa menghabiskan banyak waktuku untuk mengobrol selain dirinya? Richard diam-diam terus meyakinkan dirinya. Ia bahkan mulai menetapkan bahwa pertemuan kali ini bukan untuk sebuah ending yang berakhir di ranjang lalu berpisah keesokan harinya, melainkan sebuah perjalanan panjang. “Ehm?” Sudah kode ke tiga yang diberikan oleh Sera. Richard agaknya terlalu lama berkutat dengan isi kepalanya. “Ah, tidak. Aku hanya ingin memiliki waktu santai denganmu. Kalau diingat lagi…, kita tak pernah memiliki waktu untuk mengobrol bersama di luar pekerjaan bukan?” Aneh. Sungguh aneh, nilai Sera. Sedikit banyak Richard tahu bahwa bos tempat ia bekerja itu tak mungkin melakukan hal yang ‘Cuma—Cuma’, seperti mengobrol bersamanya tanpa sebuah tujuan dan alasan berarti dibaliknya. Dan lagi, Sera tahu kalau ia bukan tipe Richard untuk menemani waktu santainya. “Apa ini soal ‘orang dalam’? Kau sedang menggali kebenaran desas-desus soal pengacara yang bekerja di Firma hukum-mu?” Dengan mata yang menuduh wanita itu bertanya. “Ah, HA HA HA, untuk apa aku peduli akan hal seperti itu? Kau ini. Ini sungguh-sungguh sebuah obrolan santai. Aku hanya ingin membuat suasana segar di antara kita.” Diawali dengan sebuah tawa canggung, yang dibuat-buat dan diakhiri dengan sebuah senyum dan tatap yang nakal, Sera yang cukup cerdas untuk tahu bahwa ada modus di baliknya. Walau memang Richard tak berbohong soal obrolan santai yang ia ucapkan. Namun yeah, ini hanya suasana yang agak asing, menurut pengacara wanita hebat itu. “Jadi, seberapa santai kita akan berbicara?” Sera membalas dengan melepas jas yang kenakannya, menyampaikannya pada satu kursi yang ada di sebelahnya. Dan itu jelas… sangat jelas, menampakan tubuh Sera yang selama ini selalu disembunyikannya. Kemejanya terlalu ketat, terlalu kecil, atau dadanya yang terlalu besar, ah pokoknya serba terlalu. Richard bahkan miris melihat Kancing-kancing kemeja yang dikenakannya. Meraka terlihat tengah berusaha untuk tetap saling bertautan, untuk menahan dua buah d**a yang seolah ingin mendobraknya. Itu lebih dari upaya untuk menahan dua gunung besar yang seoalah akan meledakan erupsinya. Gulp. Sepertinya Richard telah salah mengenai penilaiannya tentang Sera. Meski saat bekerja sebagai pengacara ia bukan tipenya, tapi saat seperti ini ia adalah jelas tipenya. Tak sampai di sana saja. Richard bahkan dibuat terpana saat cepol rambut Sera dilepasnya, memuat rambut panjangnya terurai dengan indahnya. Kaca matanya dilepas tangannya, dengan cara yang paling errr… menggoda. Itu sebuah kaca mata yang dibukanya, bukan bikini yang menampakkan bagian tubuh yang paling memnggiurkan, yang dibukanya. Richard bahkan sudah dibuat terbuai olehnya. ‘Tak salah, kalau orang bilang mata adalah pintu menuju kepada diri seseorang.’ Richard seolah sedang menontoni adegan paling sensual, paling seduktif, yang membuat miliknya kini berdenyut dan mengeras, menimbulkan sesak, hingga perasaan mendesak, rindu ingin melesak di sarang hangat milik seorang wanita. “So, kita mulai dari mana, Mr. Ricard?” Oh, God! Tak bisakah ia bertanya dengan cara yang biasa saja? Maksudku, tak perlu menyibakkan rambutnya, yang errr… menggudah penisku! Richard menggerutu dalam hati. Terlebih kini pusat gairahnya semakin mendesaknya. Dan itu sangat buruk, karena terbit sensai sakit dan agak ngilu di sana. Kepalanya berkelana, sudah membayangkan ada di sebuah kamar dan rambut panjang dan berkilauan itu tengah ia jambaki, kala mulut sensual Sara menghisap dan mengulum batangnya yang semakin detik semakin naik intensitas ketegangannya. Richard bukan lagi terpaku. Ia sudah berubah menjadi patung yang sepertinya akan terus membisu. Ia sudah jauh terperosok ke dalam pesona satu pengacara yang selalu ia nilai intelek, kolot, keras kepala, dan sangat tak modis penampilannya. “Baru aku tahu kalau seorang wanita tak memerlukan gaun yang indah dan sangat terbuka untuk memancarkan pesonanya.” Tiba-tiba kalimat itu yang secara acak diucapkan Richard setelah lama membisu. Jelas tersirat pujian teruntuk Sera di sana. “Tentu saja. Kenapa harus mengobral bagian tubuh untuk membuat seseorang perpesona. Semua orang memiliki pesona dan masing-masing memancarkannya dengan cara yang paling unik,” tukasnya. Jangan salah menarik kesimpulan. Itu lah pelajaran yang diambil Richrd dari sosok Sera yang berhasil memukaunya. Benar. Seseorang tak harus menggunakan gaun yang kekurangan bahan untuk menonjolkan sisi paling menggodanya. Mata Richard terlihat menelusuri dari ujung kepala sampai kepada ujung kaki wanita yang ada di hadapannya. Kepalanya mencoba mewaraskan diri, untuk memberikan penilaian paling objektif bukan tentang bagaimana sosoknya yang terlihat begitu seduktif. Tepatnya untuk tak termakan nafsunya untuk ingin segera merebahkan Sara di pembaringan lalu cepat melesakan penisnya yang sedang luar biasa terangsang. Dia cerdas. Cukup sukses sebagai seorang pengacara. Dia orang yang selalu hebat dalam memimpin sebuah obrolan. Parasnya cukup cantik, dan tidak kurang. Tubuhnya menggoda dan pasti sangat bisa memuaskanku. Dan kesimpulan yang terakhir tentang Sera adalah kalau dirinya bukan satu dari kawanan heyna yang hanya ingin menerjang tubuhnya, mencicip setiap daging di tubuhnya, lalu memanfaatkan status kekasihnya untuk menumpang dalam kehidupannya. “Kau…, kenapa kau jarang sekali untuk menghabiskan waktu bersama dengan orang lain?” Sera menggulirkan matanya ke kiri. “Karena itu lebih mudah. Aku bisa bergerak lebih lincah, melakukann apa saja, tanpa harus merasa tak enak, segan, atau risih dengan kehadiran seseorang di sampingku.” Dia tipikal wolf. Serigala. Yang sangat baik-baik saja untuk selalu seorang diri. “Apa kau risih dengan hadirnya aku bersamamu? Apa kau tak segan untuk menghabiskan waktu bersamaku?” Mata Sera membulat, alisnya sedikit terangkat merasa heran tanpa memberikan balasan kepadanya. Ia lantas memilih untuk menyeruput minumannya. “Apa kau merasa tak enak kalau kita bersama, terlebih karena aku adalah pemilik firma tempat kau bekerja?” tanya lain Richard. Yang membuat mata Sarah kini menatap dengan menelisik. Tak butuh waktu lama untuk ia mengetahui kemana semua arah tanya itu. Dengan masih mempertahankan tatap matanya pada Richard, Sera membawa duduknya jadi bersedidekap, seolah ingin mendekat kepada Richard. “Kau kehabisan wanita untuk menemani malammu?” Richard terkehkeh. Bukan kehabisan, tapi tepatnya ia sedang melakukan seleksi alam, hingga populasi wanita yang selalu menemaninya kini tersingkir dan tak bersisa. “Wanita-wanita itu tak habis, mereka masih hidup, namun seseorang berkata aku harus melakukan sesuatu yang lain, menghabiskan waktu dengan jenis wanita yang lain,” jawab Richard, hanya itu yang bisa jelaskan mengenai keadaannya sekarang ini. Ia menggigit bibir bawahnya kala mata Sera menyipit, tengah menyelidik kebenaran kata-katanya dari matanya. Oh, s**t! Matanya… kenapa aku serasa ditelanjangi oleh tatapnya! Tangan Richard mengepal, berusaha tetap bertahan. Namun sayang, burungnya sudah meriuh dibalik celananya, mendamba sarang yang akan ia pompa hingga mencapai pelepasannya. Richard menggelengkan kepalanya. Siap mengibarkan bendera putih kekalahannya. “Ah! Tidak bisa. Ikut aku! Aku sangat ingin dirimu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD