Teman kue coklat

1341 Words
Hari semakin sore, langit tampak begitu indah. Berwarna jingga keemasan dengan semburat kemerah-merahan mengitarinya, bak lukisan di angkasa luas. Disebuah taman, dekat kompleks perumahan. terlihat dua anak manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mereka tampak bahagia dengan melakukan berbagai permainan. Selesai bermain ayunan, dua bocah itu kemudian melakukan sebuah perlombaan untuk mengakhiri sore mereka. Yaitu, berlomba lari. Dalam lomba itu, mereka membuat sebuah kesepakatan. Siapapun yang sampai terlebih dahulu di pohon ceri yang berada di ujung taman tersebut, dan berhasil menyentuh batangnya, maka dialah pemenangnya. Dan, sebagai hadiah, boleh makan sepuasnya kue coklat paling enak buatan ibu kandung bocah laki-laki tersebut. "Jadi, siapapun pemenangnya maka boleh makan kue coklat buatan mama sepuasnya, gimana?" Kata bocah laki-laki itu mengusulkan ide yang terlintas di benaknya. "Kamu curang! Mana mungkin aku menang dari kamu, kamu kan dari dulu paling juara soal lari." Protes bocah perempuan itu, tak terima. wajahnya terlihat merengut, pun juga bibirnya terlihat maju hingga beberapa sentimeter. Terlihat begitu lucu dan imut. Bocah laki-laki itu pun tersenyum, setelah itu mengalah. "Aku larinya bakal pelan-pelan deh." Katanya. Seketika, merubah wajah suntuk bocah perempuan itu menjadi terlihat lebih ceria. "Janji ya..." Pinta bocah perempuan itu, sambil mengangkat jari kelingkingnya keudara. "Janji." Jawab bocah laki-laki itu yakin. setelah itu, menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking bocah perempuan tersebut. Sebagai bentuk kesepakatan perjanjian tersirat yang bocah-bocah itu buat. Setelah itu, kedua bocah itu terlihat berdiri sejajar untuk memulai pertandingan. Bersama-sama mereka mulai menghitung. "Satu..." kedua bocah itu mulai membungkungkan tubuhnya. "Dua..." Ancang-ancang mulai dipersiapkan dikepala. "Ti..Ga.." Kedua bocah itu melesat, meninggalkan garis start, berlari sekencang-kencangnya untuk mencapai garis finish didepan mereka. Demi meraih kemenangan, terbayang kue coklat enak, yang seperti terlihat didepan mata. Kedua bocah itu, melewati jalan setapak yang meliuk-liuk, ditepi taman tersebut. Mereka terlihat begitu menikmati perlombaan itu. Tawa bahagia tak lepas dari wajah keduanya, meski peluh terlihat mulai menetes disekitar wajah. Namun, rasa lelah seolah tak terasa bagi mereka. Disepertiga putaran terakhir, bocah perempuan itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan mulai berteriak keras memanggil teman laki-laki itu. "Zydan.." Panggil bocah perempuan itu, pada bocah laki-laki yang berada cukup jauh didepannya. Nafas bocah perempuan itu tampak terengah-engah. Lelah. Pun akhirnya bocah perempuan itu tak sanggup melangkah, dan memilih berhenti. Ia menatap kesal pada teman laki-laki, yang dipanggilnya dengan sebutan Zydan, yang sudah berada jauh didepannya, dan hampir mencapai garis finish. "Zydan ngeselin. Katanya tadi mau lari pelan-pelan. Ayla nggak mau lagi temenan sama kamu!!" Gerutu Ayla sebal, sambil melipat kedua tangannya didepan d**a. "Kamu marah ya?" Tanya Zydan, dengan nada suara menggoda, membuat Ayla membuang pandangannya kelain arah. Merajuk "Ya sudah aku kesana." Bujuknya, setelah itu berlari lagi, mendekati Ayla. Derap bunyi sol sepatu Zydan yang membentur ubin, terdengar semakin mendekat, seketika menerbitkan senyum dikedua sudut bibir manis Ayla. Bocah itu terlihat melirik pada Zydan melalui ekor matanya. Merasa begitu senang, karena teman laki-lakinya itu selalu mengalah demi dirinya. Bocah itu terkekeh geli memikirkannya. "Hehehehee..." "Hemb..! " Dehaman Zydan, terdengar cukup keras ditelinga Ayla, menandakan jika ia sudah berada disamping Ayla. Bocah perempuan itu pun menoleh, dan menatap Zydan dengan kedua bola mata yang terlihat melebar sempurna, nyaris mau keluar dari tempatnya. Setelah itu kembali membuang muka. Seolah enggan untuk menatap Zydan, yang sudah berdiri disampingnya. Maka satu-satunya cara untuk kembali meluluhkan hati Ayla adalah, dengan meminta maaf. Dan, zydan sangat hafal betul diluar kepala dengan salah satu sifat Ayla itu. Bocah laki-laki itu pun menekuk kedua lututnya sampai menyentuh tanah, bersimpuh didepan Ayla. Kedua tangannya sengaja ditangkupkan didepan d**a, sambil kepalanya menengadah, demi bisa menatap wajah manis Ayla. Setelah itu mengucapkan kata kuncinya. "Maafkan hambamu ini tuan putri." Pinta Zydan dengan suara lirih. Ayla terlihat mencebikkan bibirnya, masih belum puas menggoda teman laki-lakinya. "Maaf ya.. Tuan putri tidak bisa mengampuni perbuatan kamu!" Ucapnya ketus. Tepat seperti yang ada dikepala Zydan, Ayla akan menjawabnya demikian. Bocah laki-laki itu pun tersenyum lebar, setelah itu mengeluarkan jurus pamungkas andalan, yang pasti akan meluluhkan kekesalan Ayla dalam sekejap mata. "Jadi, mau tidak, menghabiskan kue coklat buatan mamaku? " tawar Zydan, dan secepat kilat, Ayla langsung menyetujui tawaran Zydan tersebut dengan anggukan kepalanya beberapa kali. Bukan lagi garis senyum yang tampak diwajah bocah itu, melainkan senyum yang begitu lebar. Terbayang-bayang nikmatnya kue coklat yang membuat air liur bocah perempuan itu meleleh. Syuut. Sejurus kemudian, Zydan tampak melingkarkan tangannya dibelakang leher Ayla. Kedua bocah itu akhirnya kembali berdamai, dan berjalan bersama, menuju rumah Zydan, yang berada tak jauh dari sana. Diselingi candaan lucu yang dibuat oleh Zydan, dan membuat mereka berdua tertawa bersama. Seperti itulah akhir dari permainan sore mereka. Sampai dirumah Zydan. Ayla terlihat duduk manis, dengan senyum lebar diwajahnya. Berhadapan dengan Zydan dimeja makan. Bocah perempuan itu, terlihat begitu menikmati kue coklat sederhana buatan Marina , ibu kandung Zydan. Rasanya begitu legit, sangat pas dilidah Ayla. "Heemb... Ini enak sekali." Ucap Ayla, dengan kedua pipi yang terlihat menggembung, penuh dengan kue didalamnya. Zydan terkekeh geli melihat bagaimana Ayla menyantap kue coklat buatan ibunya. Itu merupakan pemandangan terindah, yang ingin dilihat setiap hari olehnya. Dan ketika melihat kue dipiring Ayla sudah habis tak tersisa. Maka, bocah itu pun menawarkan kue miliknya, untuk bisa dinikmati Ayla. "Mau tambah lagi Ayla?" tanya Zydan. "Mau.." Jawab Ayla penuh semangat, dengan kedua bola mata yang tampak berbinar-binar. Pun Zydan segera menyerahkan potongan kue miliknya, dan meletakkan kue tersebut keatas piring Ayla. "Waahhh.... " Lirih Ayla begitu senang. Mendapatkan kue coklat milik Zydan, hal itu seperti mendapatkan uang saku yang banyak dari ibunya. Jarang sekali kan?. Hihihii.. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ayla menyisihkan garpu dan sendok yang tadi digunakan untuk menyantap kue miliknya. Menurutnya, terlalu repot harus menggunakan dua benda tersebut. Atau, terlalu lama. Bocah itu memakannya langsung menggunakan kedua tangannya. Terasa lebih nikmat. "Haahhh... Rasanya kenyang sekali." Kata Ayla, sambil mengusap perut yang terlihat buncit. Ia terlihat duduk menyandar pada punggung kursi kayu dibelakangnya. "Emb.. Zydan" panggil Ayla. "Ada yang mau aku tanyakan," Katanya. "Apa?" Tanya Zydan mulai penasaran. Bocah laki-laki itu pun mengangkat wajahnya, menatap Ayla yang masih duduk dikursi tersebut. "Kenapa kamu selalu mengalah demi aku?" Tanya Ayla pada akhirnya. Dan seketika menghentikan tangan Zydan, yang terlihat sibuk memainkan mobil-mobilan diatas lantai. Zydan tampak berpikir sejenak, mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Ayla. Tidak banyak jawaban yang dilontarkan oleh Zydan, hanya satu kalimat sederhana namun terasa dalam, sampai bisa menembus hati Ayla, yang membuat bocah perempuan itu mampu menitikan air mata. "Kamu adalah teman terbaik yang aku punya. Dan aku rela menukar nyawaku demi keselamatanmu." Jawab Zydan, santai dan begitu tenang. "Sungguh?" Tanya Ayla tak percaya. Namun, segera diangguki kepala oleh Zydan. "Kamu juga teman kue coklatku yang paling aku sayang." tutur Ayla. "Hehehehee.." *** Ayla terbangun dari tidurnya dengan nafas yang berantakan. Keringat terlihat mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya. Gadis itu melirik pada jam yang menempel di dinding kamar tidurnya. Jarum masih menunjukkan pukul dua dini hari. Waktu yang sama dan selalu dialami gadis itu terus menerus setiap hari. Gadis itu menyeka keringat yang menetes diujung dagu dengan menggunakan punggung tangan. Ia membuka selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Ia pun segera bangun dari tempat tidurnya. Berjalan mengelilingi ruangan tersebut, dan berakhir duduk ditepi jendela besar yang berada di kamarnya. Rutinitas yang selalu ia lakukan untuk mengurai berbagai pikiran yang sudah seperti benang kusut, yang memenuhi isi kepala. Ayla mengacak rambut hitam miliknya, menjadikan rambut berukuran panjang itu terlihat semakin kusut dan berantakan. Menengadahkan kepala, menatap rembulan purnama dari balik kaca jendela kamarnya, sinar purnama itu terlihat tak begitu terang. Mungkin, purnama itu tengah resah, seperti yang dirasakan Ayla malam itu. Tangan gadis itu terangkat keudara, seolah tengah membelai lembut bulan yang tampak berukuran sama dengan bola lampu yang ada didalam kamarnya. Gadis itu meringis, menertawakan dirinya sendiri, yang menurutnya begitu menyedihkan. Setelah itu pandangannya beralih pada sebuah buku bersampul tebal, meraihnya, kemudian mulai menorehkan tinta berwarna hitam diatas lembaran putihnya. Garis-garis hitam pada lembaran buku tersebut, seketika mulai dipenuhi dengan deretan kata-kata. Dear diary .. siapakah aku? Rembulan pun rasanya tak mampu untuk menerangi malamku. Apa karena aku yatim piatu,, sehingga tidak ada bunda yang bisa kuminta tolong untuk meraih bulan disana Tuhan... Aku merindukan ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD