Hujan di malam minggu itu terdengar bising sekali, sangking derasnya. Gemuruh petir disertai kilatan cahaya beberapa kali menyambar jendela kamar. Kaki ini rasanya dingin banget mau nginjek lantai dan menutup gorden. Namun kilat di luar sana memaksa gue harus menutup gorden.
Kembali gue rebahin badan di atas kasur sambil narik selimut. Waktu masih menunjuk pukul 08.00 WIB, tapi ngantuk sudah menyerang. Cuacanya mendukung sekali untuk tidur. HP yang dari tadi tak lepas dari tangan gue kini akhirnya tergeletak di samping bantal. Baru saja gue berdoa dan memejamkan mata, tanda pesan masuk terdengar dari HP, membuat mata ini kembali melek. Namun terpejam kembali.
Sekali, dua kali, tiga kali, lalu berkali-kali suara pesan masuk terdengar beruntun. Mungkin itu penting. Dengan malas, gue meraih HP itu dan membuka pesan. Belum selesai gue ngebaca seluruh pesan, panggilan masuk sudah memenuhi layar HP.
? Anakan katak
"Halo, Nan! Lo di mana?!"
Gue dengar suara Glen yang hampir kalah dengan derasnya hujan.
"Di rumah, lah. Bidadari mah kalo malem minggu diam di kamar," jawab gue sekalian memuji diri sendiri.
"Halo, Nan! Lo denger suara gue gak? Gue gak bisa denger suara lo."
Gue ngelihat layar HP, kali-kali saja tombol bisukan tertekan, tapi tidak.
"Nan! baca pesan gue aja. Penting!"
Tut
Glen : Kinaaaaan!
Glen : Lo di mana?
Glen : P
Glen : P
Glen : P
Glen : Penting!
Glen : Gue butuh pertolongan, bensin motor gue abis, duit gue juga abis :'(
Glen : Ke sini dong, Nan....
Lokasi diterima
Polsek Sukarame.
Pengin rasanya gue mampus-mampusin anak itu. Sudah tahu dari sore cuacanya mendung, masih saja keluar.
Me : Males, gue mau bocan.
Glen : Ya Allah, Nan. Bantuin gue ngapa, katanya sahabat :(
Me : Lo kan lagi sama Gladis, minta tolong sama dia lah, ngapain minta tolong sama gue.
Glen : Gladis udah gue anter pulang, Nan. Sekarang gue lagi neduh karena motornya abis bensin. s**l bener gue!
Me : Ya udah lo tunggu aja sampe besok pagi. Gue mau tidur.
Glen : Ya Allah, Nan....
Glen : Kinaan!!
Me : Makanya kalo punya duit itu gak usah boros.
Glen : Ya maaf, Nan, mepet gini.
Me : Gue ngantuk, minta tolong temen yang lain sana.
Glen : Teganya dirimu padaku Nan....
Bodoamat. Gue pejamkan kembali mata ini tanpa membalas pesan si Glen. Lagian orang mana yang mau hujan-hujanan malam-malam begini cuma buat ngurusin masalah dia. Biarin saja dia dapat pelajaran.
CTAARR! ⚡
Mata gue reflek menutup serapat mungkin akibat suara yang dahsyat itu. Gue tarik selimut sampai menutupi kepala, mencoba menenangkan pikiran. Namun tetap saja kepikiran.
Sudah gue coba untuk tidak peduli. Berkali-kali tubuh ini pindah posisi kanan dan kiri, berusaha mengabaikan HP yang terus menerima pesan masuk. Gue intip layar yang menyala itu, terlihat di jendela apung pesan Glen yang manggil-manggil dengan emot nangis.
Sekali lagi, bodoamat, pokoknya gue gak peduli. Gue memutar tubuh dan membelakangi HP yang berisi pesan itu.
Suara gledek kembali terdengar. Menyambar-nyambar bak paduan suara. Dan rasa bersalah seakan menghantui. Sepertinya gue bakal mengutuk diri ini kalau sampai Glen meregang nyawa karena sambaran petir.
Tubuh gue bangkit dari berbaring dan melihat jendela kamar yang sudah tertutup gorden.
"s****n emang si Glen!" umpat gue sambil turun dari kasur dan mengambil HP. Lalu, memasukkannya ke dalam tas selempang kecil, gak lupa gue juga masukin dompet ke dalam situ.
"Bikin tidur gue gak nyenyak aja!"
Sebelum meninggalkan kamar, gue memakai jaket dan rok panjang karena sebelumnya gue cuma pakai celana pendek. Juga, memakai jas hujan lalu mengeluarkan motor sebelum emak berteriak dan bertanya mau ke mana gue hujan-hujan begini.
"Nandira! Mau ke mana?!"
"Sebentar, Ma. Ijin keluar, assalamualaikum."
Mungkin emak gue cuma geleng-geleng di sana sambil beristigfar menyaksikan kenaifan anaknya inu. Iya memang gue b**o! b**o banget! Sangking begonya sampai gak ada lagi kata b**o untuk mewakili diri ini. Kalau saja gue gak jatuh cinta, mungkin gak akan seperti ini.
Sebelumnya mudah banget bagi gue untuk nolak segala macam permohonan dia bahkan dalam keadaan genting sekali pun. Meski gue selalu nolak, dia tetap tidak pernah berhenti meminta. Gak tahu apa yang ada di otaknya itu. Awas saja nanti, gue pastikan dia tak akan bebas dari ceramah berjudul 'Makanya' malam ini.
Jalanan licin itu gue lewati dengan hati-hati. Jangan sampai gara-gara mau bantuin Glen jadi gue yang kena musibah. Terlihat dari jauh motor Glen yang terguyur hujan, sedangkan dia sedang jongkok di bawah atap sebuah toko sambil menadah tangannya di bawah hujan.
Gue parkirin motor di sebelah motornya dan berlari menghampirinya. Tangan gue sudah siap buat jitak kepalanya mumpung dia sedang jongkok. Namun, dia dengan semangatnya langsung bangkit dan memeluk gue yang bahkan belum melepas helm dan jas hujan.
"Kinaaan!!! Ya Allah, gue gak nyangka lo beneran dateng ke sini huhuhu," ucapnya dengan suara tangis tanpa air mata. "Gue udah kayak gelandangan, gak punya duit, missquen, sengsara," sambungnya.
Gue gak bermaksud sedikit pun untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini, dan ini bukan salah gue. Glen memeluk erat sekali sampai buat kaki ini berjinjit dan hampir terangkat. Setelah itu, terdengar suaranya yang mencium pucuk helm yang gue pakai.
Glen menepuk helm itu dan menunjukkan cengirannya. Gue membuka kaca helm sambil menyembunyikan blushing.
"Apa senyum-senyum!" seru gue, berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan niat tersirat karena menolongnya.
"Ya ampun, Nan. Jangan marahin gue terus ngapa, gue udah cukup sengsara ini," katanya sendu.
"Gimana gak mau dimarahin! Lo nya bikin marah!"
"Iya..., maafin gue...." Dia mengambil duduk di bangku kayu depan toko itu.
Sebenarnya gue masih mau ngocehin dia, tapi melihat rautnya yang benar-benar sendu itu gue jadi ngurungin niat.
"Kenapa lo?"
Glen menarik napas panjang dan mengembusnya. "Kecewa gue...," katanya sendu.
"Kecewa apaan?"
Glen memberikan HP-nya ke gue. Dengan dahi berkerut dan perasaan yang mungkin juga berkerut, gue ambil HP itu. Setelah membuka HP-nya dan melihat layar yang langsung menampilkan pesan pribadi dari Gladis, gue ngerasa tertampar banget sebagai orang yang kini mencintainya.
Gladis : Aku baru kali ini tau naik motor ujan-ujanan.
Glen : Masaa? Seru kan? ?
Gladis : iya. Ngga juga. Soalnya dulu mantan aku pada bawa mobil.
Glen : Hmm..
Gladis : iya, hehe..
Sumpah! Belagu amat orang ini! Kalau saja punya keberanian yang cukup, sudah gue kasih permen karet rambutnya itu. Gue tepuk pundak Glen yang layu sambil berusaha membujuknya.
"Udah, gak usah dipikirin."
"Bukannya mau mikirin, Nan? Tapi kepikiran!"
"Apa, sih, yang bikin lo kepikiran! Emangnya karena dia ngomong kayak gitu terus sekarang lo bakal mohon-mohon sama emak bapak lo supaya dibeliin mobil?"
"Gue bisa, sih, minjem sama kak Gilang, tapi gak bisa tiap hari. Sedangkan gue keluar sama dia tiap hari. Kira-kira kalo gue minta, dikasih gak, ya?" tanyanya yang terlihat b**o sekali.
Sumpah! Demi hujan yang turun malam ini. Gue sakit hati dengarnya. Gak nyangka Glen berpikir kayak gitu. Segila itu dia jatuh cinta sama Gladis. Gue pikir dia bakal mempertimbangkan untuk mundur, tapi nyatanya bukan, justru malah sebaliknya.
Seketika tubuh ini ikutan layu. Gue kecewa, tapi juga bingung. Siapa yang harus gue salahin atas kekecewaan ini. Glen? Bukan. Gladis! Ya, Gladis yang salah. Seandainya dia tidak ada, pasti tidak akan ada kekecewaan seperti ini. Gue cuma gak mau nyalahin perasaan gue. Dia terlalu rapuh untuk disalahkan.
"Nih." Gue kasih dia selembar uang dua puluh ribuan.
Dia menerimanya. "Buat beli mobil?"
"Buat beli dunia dan seisinya!" geram gue. "Ya buat beli bensin, lah!"
Dia cuma memasang wajah cemberut.
"Gue udah janji sama emak gue supaya gak pulang malem-malem. Gue duluan."
Sebenarnya tak ada janji apa pun yang gue bilang ke emak. Gue cuma sakit hati jika terus berada di sini.
"Yaah, Nan ... lo gak mau nganterin gue beli bensin apa?"
"Gak!"
Gue lanjut berjalan dan menuju motor sambil memakai helm. Glen berteriak sebelum gue menjalankan motor dan menjauh dari situ.
"Hati-hati, Nan!"
Kasur yang seharusnya tadi tak gue tinggalkan kini terasa dingin dan menyakitkan. Gue menekan wajah di atas bantal sambil meracau, merutuki kebodohan yang hampir kronis. Sia-sia saja yang gue lakukan, gue gak akan pernah bisa buat dia jatuh cinta. Semakin gue berusaha, justru semakin gue sakit hati. Bagaikan memeluk pohon kaktus.
Seandainya ada jasa untuk menyewakan hati, sudah tentu gue sewain, nih, hati sampai rasa cinta itu benar-benar kandas tak berbekas. Sayangnya barang berharga itu hanya bisa di jual. Dengan sisa-sisa kekecewaan, gue mengambil HP dan mengetik di pencarian google.
Tempat jual hati.
Beberapa artikel membuat gue sadar, betapa gilanya gue. s****n! Setan mana yang ngerasukin barusan! Sampai-sampai mau jual hati yang paling berharga ini. Gue buang HP itu di kasur dan berdoa supaya hati ini cepat sembuh.
***
Pagi ini sebenarnya gue malas banget masuk sekolah. Karena hujan-hujanan semalam, gue jadi pilek. Dari tadi ingus meler terus. Lembaran-lembaran tisu bekas ingus pun sudah tak terhitung jumlahnya di dalam laci. Gue sudah menghabiskan sebayak dua plastik tisu.
Sudah tersiksa batin, tersiksa pula hidung ini. Gue lihat dari pantulan cermin kecil yang gue bawa, hidung merah dan mata sembab.
"Hadeeh."
Gue tidurkan kepala di atas meja sambil mengaduh berkali-kali.
Lalu seutas kata-kata mutiara melintas di benak gue. Membuat hati sedikit bersyukur.
"Tidaklah Allah memberikan sakit, kecuali Dia mengampunkan dosa hambanya"
Dari gue menelungkupkan kepala di atas meja, terdengar Glen yang baru saja mendudukkan diri di kursinya. Sepertinya sekarang dia sedang memerhatikan. Gue merasakan kalau dia memiringkan kepala di atas meja dan melihat ke arah gue. Mungkin karena dia mendengar suara hidung yang seperti terisak.
"Lo kenapa, Nan?"
Gue cuma bergumam sambil menggelengkan kepala tanpa mengangkatnya dari meja.
"Ada yang nakalin lo, ya?" tebaknya.
Dikira gue bocah SMP apa. Yang nangis karena diusilin teman sebaya. Pikir gue.
Glen mengusap rambut cantik yang barusan gue pakaikan kondisioner.
"Nan, bilang ke gue, biar gue begal orang itu pulang sekolah nanti," katanya.
"Gak usah pegang-pegang rambut gue!" perintah gue masih dengan posisi kepala telungkup.
Dia menghentikan usapannya sejenak lalu mengacak rambut gue dengan geram.
"Yaelah, Nan!" geramnya. "Kenapa lo pagi-pagi buta gini udah nangis."
Gue mengangkat kepala. "Siapa memang yang nangis?"
Dia nampak terkejut melihat muka gue. "Jelek amat, geh, Nan. Idung merah, mata sembab, rambut acak-acakkan."
"Biarin! Emang dari lahir!!!" kesal gue sambil menelungkupkan kepala lagi.
"Becanda Nan, jangan ngambek."
"Basing lo!"
"Dih, serius dia. Nan ...."
Dia menoel bahu gue. Sekali, dua kali, gue biarin.
"Kinan ...."
Kali ini dia ngedorong-dorong bahu gue.
"Nan."
"Diem!" titah gue.
"Ya maaf Nan ... ajak gue ngobrol ngapa," katanya.
"Ogah!!"
"Ya Allah, Nan ... marah beneran, tah, sama gue?" Glen merangkul leher gue sambil bertanya panik di telinga kanan.
"Marah, lah! Dasar, gak ada otak!" kesal gue sambil mengangkat kepala dan menyingkirkan rangkulannya.
Dia malah tertawa. "Ya maaf, Nan...."
"Maaf aja yang lo tau!"
"Yaudah, sebagai gantinya gue traktir," katanya.
"Males! Gak sudi jadi kambing conge," tolak gue.
"Yee! Nethink aja. Gue gak sejahat itu, Nan. Lagian, sih, kelamaan jomblo, cari doi, tah, sana,"
Gue diam saja. Terlalu malas untuk meladeninya. Biar saja dia berkicau sepuasnya. Bahkan sampai terdengar ke kutub utara pun biarkan saja.
Biarin, biar dia puas. Sudah biarin aja, jangan diladeni, biar, biarin. Jangan ditanggapin, biarin aja, dengerin aja.
Sampai guru mata pelajaran pertama masuk, baru anak itu berhenti berkicau. Lalu ngedorong pipi gue sebagai ucapan terakhir.
"Denger gak Nan," ucapnya.
Gue cuma berdeham dan berharap dia puas.
***
Setelah pulang sekolah, Glen benar-benar meneraktir gue makan. Dia ngajak ke sebuah kafe yang belum pernah gue datangi. Terlintas di pikiran gue, tentang gaya hidup Anakan Katak ini yang sungguh berubah drastis, tis, tis, tis.
Gue menaruh HP yang tersambung earphone di meja itu. Lalu melihat menu yang disodorkan pelayan dan memesan mie goreng seafood dan lemon tea. Gue memilih menu dengan harga standar. Buat jaga-jaga kalau saja lidah gue gak sama seleranya dan hidangannya malah gak kemakan. Sedangkan Glen, terserah dia mau pesan apa.
"Nan," panggilnya ketika gue sedang beradaptasi dengan tempat itu.
Gue memusatkan pandangan yang sebelumnya menyapu seluruh sisi ruangan ke arahnya. "Hm?"
Dia tersenyum, terpancar aura bahagia di wajahnya. Gue mencoba meneguhkan hati kalau-kalau dia bercerita tentang Gladis. Benar saja, sosok Gladis kembali menembus gendang telinga gue dan menusuk pertahanan hati gue.
Dengan antusiasnya, dia bercerita tentang Gladis yang minta maaf padanya karena seharian ini dia ngambek dan tidak menemui Gladis. Hingga akhirnya Gladis yang menemuinya dan membujuk hatinya dengan kalimat mesra dan manja yang dia miliki.
"Kalau ada cewek yang lucu dan manja, dia pasti Gladis. Atau kalau ada cewek yang lembut dan mesra, dia juga Gladis."
Bahkan saat makanan sudah siap disajikan pun dia masih saja berkicau tentang Gladis. Mulutnya itu penuh dengan Gladis dan spaghetii bollognais. Makanan gue jadi gak enak lagi rasanya.
Gue membuang napas sabar. Lalu sebuah ide terlintas, gue memasang earphone ke telinga dan membesarkan volume musik di HP. Akhirnya, gue bisa makan dengan tenang.
Gue tetap merespon Glen yang terus bercerita dengan gerakan kepala sambil berdeham meski kini gue gak dengar suaranya. Setidaknya dia mendengar suara dan melihat mata gue yang merespon positif ceritanya.
Makanan yang gue pilih ternyata enak. Senikmat mungkin gue merasakan cita rasa yang unik ini.
Hingga akhirnya, Glen sadar kalau gue menipunya. Sepertinya dia sudah mengganti topik pembicaraan, tapi masih melihat respon gue yang tetap sama. Dia pun menarik earphone yang gue pakai dengan geram.
"s****n! Dari tadi lo gak dengerin gue!" protesnya.
Gue terkejut karena earphone itu langsung lepas dari lubang telinga.
"Ngapa, sih, Glen!" Gue mengaduh karena dia menariknya secara tiba-tiba.
"Yaelah, lo dengerin gue gak, sih, Nan?"
"Dengerin, loh." dusta gue.
"Apa coba?" tesnya.
Mata gue mutar-mutar mencari jawaban. Sudah terlanjur, Glen sudah tahu kalau gue bohong.
"Tega lo, mah," katanya dan melanjutkan makan dengan kecewa.
Siapa, sih, yang harusnya kecewa? Pikir gue. Kurang baik apalagi gue ini? Apa harus semenyakitkan ini karena mencintai dia?
"Lagian lo cerita mulu! Bosen gue. Sekali-kali tah, lo yang dengerin cerita gue!"
Sesuatu yang menusuk terasa di d**a ketika mengucapkan kalimat itu. Glen mengangkat kepalanya dan menatap gue. Gak tahu apa yang ada dipikirannya. Sebelum malu karena perasaan ini, gue buang pandangan darinya dan melanjutkan makan.
Glen tertawa kecil. "Yaudah, iya, gue dengerin cerita lo. Buruan," katanya.
Gue memutar bola mata sambil menarik napas panjang, lalu mengembusnya pendek.
"Tadi malem gue tidur nyenyak banget, terus pagi-paginya bangun dengan semangat meski pilek menyerang. Terus ada yang minta maaf sama gue dan mau neraktir gue, sampai akhirnya gue ditraktir makan dan disuruh dengerin ceritanya."
Glen menahan tawanya, lalu tertawa terbahak-bahak untuk merespon cerita itu. Sekarang apalagi kalau bukan ngatain gue. Dia tertawa sambil memberi pendapat.
"Tragis amat geh cerita lo. Makanya Kinan ... kan, gue udah bilang, cari doi," katanya.
Gue memandangnya malas dan bergegas memasang kembali earphone itu di kedua telinga.
______________________
Jangan lupa follow Taci Fey :) Semangat for me!