3. Karat Hati

2569 Words
Glen sudah memberikan coklat itu pada Gladis. Dia menaruhnya di laci meja tempat Gladis duduk di kelas. Gue belum dengar lagi gimana kabar selanjutnya, tapi gue yakin banget mereka bakal pacaran. "Kinan!" Kepala gue terangkat dari buku yang berisi sejarah Kapiten Patimura. Barusan anak itu berteriak di ambang pintu kelas, membuat siapa saja yang berada di kelas melihat ke arahnya. Dia berlari menuju bangku gue dan mendudukkan bokongnya dengan semangat. Glen tersenyum sambil mengangkat jempol kanannya. Gue sudah mengerti maksudnya sebelum dia menjelaskan dengan kata-kata. Pasti dia diterima sama Gladis. Setelah tiga hari menunggu jawaban Gladis, akhirnya dia diterima juga. Bakal tidur nyenyak gue malem ini karena dia gak akan sibuk lagi nelponin atas ketidaktenangan hatinya. "Akhirnya, ya. Gue bisa tidur nyenyak malem ini," kata gue sekalian nyindir dia yang mengganggu tidur gue tiga hari belakangan ini. Dia menunjukkan cengirannya dan merangkul leher gue mendekat ke dadanya. "Makasih, Nan. Lo emang the very very best partner." Dia menepuk kepala gue dua kali sebelum akhirnya lari lagi keluar kelas setelah menaruh tasnya. "Huft." Dasar, seenaknya saja buat jantung orang mau copot. Terus, datang dan pergi semaunya. Gue lanjutin bacaan gue dengan pikiran yang mungkin resah dan kondisi hati yang up normal. Bukan salah gue, itu semua terjadi karena reflek yang dikirim syaraf sensorik. Punya hati tapi sakit melulu, mau gak punya hati tapi serem. "Arrhhh!" Gue uyek-uyek buku sejarah itu dan menjedutkan kepala di atasnya. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, sampai salah satu teman gue berdiri di samping meja sambil mastiin kalau gue masih waras. "Nandira," "Apa? Gue masih waras, kok. Tenang aja." Gue lihat dia mengerutkan keningnya. "Bayar uang kas," tagihnya. Ternyata gue salah ngira, dia cuma mau nagih. Gue kasih dia selembar uang dua ribuan, dan dia langsung pergi. Kembali gue tidurin kepala di atas buku itu. *** Istirahat kali ini gue makan sendirian, besok-besok juga paling masih sendirian. Memang kadang jengkel, sih, kalau ada Glen, tapi kalau dia gak ada malah bosan, gak ada yang bikin gue marah-marah. Otot-otot di tubuh gue semuanya tidur, darah gue gak naik-naik, malah asam lambung yang naik, bikin mulut bau karena gak ada yang ngajak ngomong. Habis selesai makan, gue langsung balik ke kelas. Lalu, nampak anak cowok yang lagi bercandaan sambil narik-narik cewek yang berusaha ngelepasin tarikannya. Awalnya gue kira mereka berdua bercandaan, tapi karena cewek itu pegangan sama gue sambil memohon supaya bantuin dia, gue pun gak tega ngelihatnya. "Kenapa, sih?" tanya gue heran karena dia narik-narik gue. Dia berusaha ngelepasin tangannya yang ditarik cowok itu sambil pegangan tangan gue. Melihat kesulitannya, gue bantuin dia ngelepasin tarikan cowok itu. Dia langsung lari dan ngumpet di belakang gue. "Wih, parah lo Fir, udah ditungguin sama anak-anak sekelas," kata anak cowok itu, gue lihat name tag-nya, Dio. "Aku, kan, udah bilang kalau aku gak mau," katanya sendu. Gue gak tahu nama cewek itu. Name tag-nya gak kelihatan karena tertutup kerudung yang dia pakai. "Liat dulu makanya Fir, liat dulu." Kalau gue lihat dari raut wajah cowok itu, kelihatannya dia mau ngasih kejutan. Tapi, kalau gue lihat raut cewek ini, dia malah kayak ketakutan. Terus beberapa orang nongolin kepala dari pintu kelas yang gue rasa kelas mereka. "Kenapa, Yo?" Salah satu cewek keluar. "Firdanya gak mau," jawabnya sambil masuk ke kelas. Gue yang awalnya sudah bingung malah tambah bingung pas ngelihat Si Firda nangis. Lalu, teman-teman ceweknya itu nyamperin dan menenangkannya. "Ya Allah ... maaf ya, Fir, gue gak tau kalo lo beneran gak mau sama Marcel." Gitu, lah, kira-kira yang gue dengar. Karena merasa keberadaan gue gak penting lagi, gue lanjut jalan sambil mendengus berkali-kali. Anak zaman sekarang memang kebanyakan drama. Gue masuk kelas, dan belum lihat Glen duduk di situ. Ya, iya, lah, dia pasti masih sama Gladis. Baru saja b****g gue nyentuh permukaan kursi, telinga ini sudah mendengar obrolan dua cewek yang barusan lewat bangku gue. "Gak nyangka aja gue, seorang Marcel suka sama cewek kayak Firda." "Sama, gue kira dia bakal suka sama Gladis." Gue baru paham tentang apa yang tadi buat bingung. Ternyata kayak gitu kisahnya. Tapi, gue gak tahu siapa Marcel. Maaf ini, mah, teman-teman. Selain katrok, gue juga nolep :) Mulai dari situ, gue nyari tahu sedikit tentang Marcel. Ternyata dia cogan yang sering menjadi topik pembicaraan cewek-cewek itu. Dari awal gue emang tahu muka orang itu, cuma gue gak tahu namanya. Emang, mata gue gak bisa bedain mana yang ganteng mana yang biasa saja. Menurut gue Glen ganteng. Setelah gue telaah lebih jauh, ternyata Si Marcel-Marcel itu punya dua mata, guys. Maksud gue, dia punya mata yang sering dipakai buat ngelihatin si Firda. Gue sengaja dengarin obrolan Firda dan teman-temannya waktu makan di kantin. Temannya itu bilang ke Firda kalau Marcel sudah terlanjur cinta padanya, tapi Firdanya gak mau. Gue gak tahu kenapa Firda gak mau. Mungkin karena kerudungnya. Ah, mana mungkin. Buktinya masih banyak yang berkerudung, tapi tetap pacaran. Dan ada yang tidak berkerudung, tapi tidak pacaran, gue contohnya. *** "Dor!" Kejutan Glen ngebuat tubuh gue terlonjak sedikit. "Ngagetin aja!" "Hehehe," cengirnya. Dia mendudukkan bokongnya di kursi teras rumah gue. Gue kira dia mau bantuin jemur baju. "Tumben lo ke sini," sindir gue dengan suara nyeletuk. "Yah elah, Nan ... emangnya lo gak kangen apa sama gue?" tanyanya dengan ke-PD-an yang mencapai level 99+. "Gk!" dusta mulut gue. "Huu! Gue aja kangen, makanya gue ke sini," katanya dengan nada kecewa. Membuat tangan gue berhenti sejenak untuk menjemur baju. Gue bisa bedain mana becanda dan mana serius, tapi gue gak bisa bedain mana cinta utuh dan mana cinta sebagai seorang sahabat. Gue menggelengkan kepala mengusir niat buruk dalam otak. Glen sudah punya pacar. Bersyukurlah, Nan. Glen masih mau nganggap lo sahabat. Jangan minta lebih. Buru-buru gue selesaiin jemuran itu, lalu berjalan masuk. "Mau minum apa?" "Widih, tumben lo nawarin gue minum, biasanya juga gue diusir," kata Glen sambil tertawa girang. Membuat gue malu dengan perasaan ini dan ingin berteriak. "Yaudah sana pulang! Ngapain lo ke sini-sini." Hasilnya kata-kata itu lah yang selanjutnya keluar. "Bercanda, Nan ... marah-marah mulu, cepet tua, loh." "Bodo amat." Gue tinggal masuk anak itu sambil ngangkat ember bekas jemuran. Lalu, Glen berteriak, "Kopi s**u ya, Nan!" "Buat sendiri!" teriak gue balik. "Inget, tamu adalah raja yang harus diberi minum." Gue denger Glen cekikikkan. Terpaksa gue buatin dia minum meski tidak terlalu terpaksa seperti sebelum-sebelumnya. Gue taruh kopi s**u teriakan dia itu di meja dan gue duduk di sebelahnya. "Nih, buat makhluk halus yang ngaku tamu!" sindir gue. Dia tertawa, lalu meniup kopi itu dan menyeruputnya. Sudah seperti suami sendiri, haha. Gue tertawa dengan khayalan bodoh yang bikin gue sendiri malu ngomonginnya. Seandainya gue bisa bikin Glen jatuh cinta sama diri yang apa adanya ini. Arrhh! Bisa gila gue lama-lama. "Nan, tau gak?" tanyanya setelah menaruh kembali kopi itu. "Nggak," jawab gue. Bau-baunya, sih, bakal ngomongin Gladis. Dan benar saja. Gladis lucu, gladis cantik, gladis unik, gladis kayak squishy, pokoknya semua yang bagus-bagus milik Gladis. Glen cerita ke gue, katanya, Gladis itu menyenangkan dan bawel. Setiap mereka jalan berdua, pasti ada saja tingkah lucu yang dilakukan Gladis. Entah karena sikapnya yang petakilan, atau karena perilakunya yang bar-bar, sampai bisa menabrak tembok bioskop yang gak bersalah. "Lucunya, dia malah ketawa sambil lari duluan karena malu. Ya, gue yang awalnya kasihan malah jadi ikut ketawa," kata Glen antusias. Terus lagi, dia bilang, Gladis itu gak bisa diam kalau lagi di jalan naik mobil. Pasti ada saja sesuatu yang dia bicarakan, entah tentang mie goreng yang direbus, atau tentang teh gelas dalam botol. Dan yang sebenarnya paling malas gue kasih tahu ke lo orang, tentang kemesraan yang mereka jalani. Sakit hati pokoknya gue nulis ini. Gladis yang lagi makan es krim dan duduk di samping kursi kemudi itu nyuapin Glen es krim, satu suap, dua suap, banyak suap. Pastinya mereka bahagia sambil menikmati setiap detik kebersamaan mereka. "Gue seneng banget, Nan!" teriak Glen, membuat ayam tetangga gue b***k. "Wih, keren banget, ya, Si Gladis. Mau gitu disuruh nyuapin anakan kerbau." Glen langsung menekuk wajahnya yang semula sangat lurus, lalu menempeleng kepala gue yang paling berharga. "Yaelah! Dasar lo, udah ninggiin, malah ngejatohin." Gue cuma menatapnya sinis sambil memperbaiki kepala gue. "Udah sana pulang," usir gue. "Ya jangan ngusir-ngusir, sih, Nan. Udah kayak ayam aja gue diusir-usir," katanya dengan raut melas itu. "Lo gak cocok jadi ayam." Glen memasang raut gembira. "Iyalah, cocoknya jadi apa?" "Jadi t**i AYAM," kata gue sambil bangun dan berjalan masuk. Lagi-lagi wajah yang sebelumnya gembira itu jadi tertekuk. "Dasar, nih, cewek, gak pernah salah pokoknya." Dia meminum kopi itu dan menghabiskannya. Malam harinya, otak gue malah ngebayangin gimana serunya Glen sama Gladis. Padahal gue sudah berusaha buat gak ngingetin hal itu, sampai-sampai gue rela yoga di kamar malam-malam begini. Hasilnya malah badan pegel-pegel dan otak gue tetap saja terbayang. Seandainya gue gak mabukan, mungkin gue bisa jadi kayak Gladis. Nyuapin Glen makan es krim, ketawa-ketawa, ngobrol, bercandaan di dalam mobil. Ah, memang dasar payah. Sampai kapan pun gue gak akan bisa jadi kayak Gladis. *** Semakin matahari meninggi, semakin ramai anak-anak yang datang, dan bel masuk sudah waktunya untuk berbunyi. Glen belum sampai di kelas, dari tadi gue nungguin dia sambil mencoba menulis. Namun, sepanjang penantian itu, gue cuma bisa nulis dua patah kalimat. Dear, diary. Aku jatuh cinta. Cuma itu. Gue terlalu malu untuk menulis namanya dalam sebuah kertas. Gue takut kertas dan pena itu menuntut seandainya gue bilang yang sebaliknya. Mata gue melihat sosok Glen yang baru saja masuk ke kelas, setidaknya hal itu membuat raga ini sedikit semangat. Sudah gue simpan diari itu di laci sebelum Glen mendaratkan bokongnya di kursi sebelah. Gue dengar dia mengembus napas lega. "Dari mana lo?" "Neneknya Gladis sakit, jadi dia gak masuk hari ini. Untung tadi gue sempet nganterin mereka ke rumah sakit." Glen menyandarkan kepala di kursi sambil mengusap keringat di keningnya. "Sakit apa?" "Sesak napas." Gue mengangguk sambil bergumam, lalu menyiapkan buku pelajaran pertama. Glen nampak sedang berbicara dengan ketua kelas yang barusan nyamperin dia. Gue sempat berpikir Glen bakal ngabisin waktu bareng gue hari ini karena Gladis gak masuk. Dan benar, seharian Glen bareng gue di sekolah, kayak hari biasanya sebelum ada Gladis. Waktu kami lagi makan di kantin, dua orang cewek nyamperin Glen dan ngobrol sedikit. Mereka nanyain Gladis. "Gladis gak masuk kenapa?" tanya Jesy. "Neneknya sakit, emang lo orang gak dikasih tau sama dia?" kata Glen. Mereka berdua mengerutkan kening sambil berpandangan, lalu menggeleng. "Nggak, kalian cuma berdua?" "Oh, iya, kenalin, nih, sahabat gue, Kinan. Nan," panggil Glen, dia mengisyaratkan dengan gerakan kepala supaya gue berkenalan. Kami berkenalan seperti biasanya dan tidak ada yang aneh. Mereka pergi setelah bosan berbasa-basi. "Lo gak gabung sama gengnya si Dea, Nan?" tanya Glen. "Buat apa?" tanya gue balik tanpa melepas fokus pada nasi yang dari tadi sedang dinikmati. "Yaelah! Emangnya lo gak pengen ngehits bareng mereka. Nih, ya, Nan, gue kasih tau, SMP sama SMA itu beda. Mending lo gabung, deh, sama mereka. Biar punya pengalaman yang menyenangkan." "Maksud lo, pengalaman gue gak ada yang menyenangkan gitu?" "Ya abisnya lo nolep banget," kata Glen dengan cibiran khasnya. "Emangnya lo gak bosen maen sama gue terus?" tanyanya. "Ya bosen, lah!" dusta gue untuk kesekian kalinya. "Nah, makanya. Tapi jangan sementang punya kawan baru, terus lupa sama gue!" katanya memperingati. Gue gak terlalu memikirkan masalah geng. Menurut gue, geng itu dapat memisahkan dan membeda-bedakan antar teman. Pastinya kalau sudah bergeng akan sulit untuk memisahkan diri. Kalau saja memisahkan diri, mungkin akan jadi buah bibir. Berteman seperlunya mungkin cukup bagi gue, dan satu orang sahabat yang tulus sudah lebih dari cukup buat gue. "Kadang gue jajan bareng sama Ira. Gak musti bergeng, kan, kalau mau berteman," kata gue. "Ira?" Glen terlihat sedang berpikir. "Yang cupu itu!" hardiknya. "Heh!" seru gue. Dia langsung menutup mulutnya sambil celingak-celinguk, memastikan kalau orangnya tidak ada di sini. "Gak ada orangnya, kan?" bisiknya memastikan. Gue menatapnya sinis dan penuh kebencian. Sejak kapan dia jadi sosok yang suka membeda-bedakan kayak gitu. Gue gak nyangka dia bakal ngatain orang yang gak punya salah sama dia. Mungkin saja kalau gue bukan sahabatnya, dia juga bakal ngomong gitu ke teman-temannya, dan nganggap gue sama kayak Ira. Gue taruh sendok nasi di piring, lalu bangkit dan jalan duluan ke kelas. "Nan?" panggilnya heran. "Tumben gak diabisin?" tanyanya karena melihat piring nasi gue yang masih setengah. "Gak napsu." "Yah elah ... kebiasaan cewek, suka berubah setiap waktu." Sepanjang koridor menuju kelas itu gue jalan sendirian, melamun sambil mikirin ucapan Glen tadi. Kalau saja gue ini Ira, pasti gue sakit hati banget dengarnya. Apalagi karena tidak ada komunikasi sebelumnya. Bukannya gue setuju dengan ucapan Glen, tapi kalau melihat Ira, memang seperti itu adanya, seperti yang diucapkan Glen. Ditambah lagi Ira yang diam-diam saja dan duduk di pojokkan kelas. Gue berhenti sejenak di ambang pintu, melihat ke tempat di mana Ira duduk. Dia hanya diam sambil menundukkan kepala di sana. Dia sedang membaca buku. "Misi, dong, Nan!" seru Dea karena gue menghalangi pintu masuk. "Sorry," kata gue sambil minggir. "Eh, Nan! Glen itu pacaran sama Gladis, ya?" tanya Dea dengan nada secepat kilat. "Ke mana aja lo sampe baru tau," gue jalan ke bangku setelah mengatakannya. "Oh My God! Gue kira lo sama Glen itu pacaran lah, Nan." Gue sempat berhenti dan menoleh ke arah mereka yang berjalan menuju bangku. Bangku tak bersalah itu menjadi saksi atas gibah mereka setiap hari. Sejak geng itu semakin mencuak, mereka meminta anak yang duduk di belakang Dea dan Amanda untuk tukeran tempat sama Dinda dan Sally. Sedangkan Lili dan Mega sudah dari awal duduk di depan Dea. Gue duduk dengan perasaan yang tercabik-cabik akibat ucapan Dea. Bisa-bisanya dia bilang seperti itu di hadapan kelas. Kalau saja Glen dengar, pasti malu banget gue. Sepuluh menit menjelang masuk itu gue cuma main HP, ngurusin pou peliharaan gue. Lalu Glen datang, dia duduk, selanjutnya menoel bahu gue dengan jari telunjuk. Gue mendecak. "Apa?" "Masih ada aja marahnya. Gue salah apa, sih?" katanya. "Pikir sendiri!" "Ya Allah, Nan ... ya udah gue minta maap." "Ngapain minta maaf sama gue." "Lah, terus sama siapa?" "Noh, sama Ira." Glen sontak terdiam, gue rasa dia baru sadar kenapa gue marah. "Nan, lo marah gara-gara gue ngatain Ira?" dia mendekatkan wajah sambil berbisik. Gue tatap balik matanya yang menatap dengan serius. "Kalo iya kenapa?" Glen mengembus napas, "Aish, Nan! Jangan cuma gara-gara itu lo gak mau lagi maapin gue." "Apa salahnya juga lo minta maaf sama dia?" "Ya bakal aneh kalo gue tiba-tiba minta maaf. Toh, dia juga gak tau kalo tadi gue ngatain dia." Terserah, lah. Capek juga lama-lama. Gue buang pandangan darinya dan lanjut ngasih makan peliharaan. Terus dia malah narik pipi gue sambil ngarahin balik pandangan ke arahnya. "Kinaaan!" Sebelum sesuatu dalam tubuh ini bergetar hebat, langsung gue singkirin tangannya itu. "Apaan, sih, gak usah pegang-pegang bisa!" kesal gue yang sungguh sangat kesal. Dia gak tahu yang gue rasain setiap dia nyentuh gue. Gue benci sama perasaan gue sendiri, dan gue gak suka nerima kenyataan kayak gini. Dia diam mematung dengan perasaan bersalah, mungkin sebentar lagi dia cuma bisa bilang maaf, maaf, dan maaf. Sebelum mendengar kata-katanya itu dan melihat tampang ibanya itu, gue sudah pergi meninggalkan kelas. Pokoknya gak ada yang boleh tahu kalau gue nangis kejer-kejer di kamar mandi sekolah. ____________________ Don't forget to follow Taci Fey.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD