2. Menemani Glen

2125 Words
Hari kamis pagi di jam pertama, ulangan harian Matematika berlangsung. Alhamdulillah, gue bisa ngerjainnya karena semalam sempat belajar mati-matian. Tapi Si Kutu Kupret ini malah buat jadi sulit mengerjakan, dari tadi tangan gue disenggol-senggol mulu. "Nan!" bisiknya seraya berseru. Ini sudah yang kesepuluh kalinya dia manggil-manggil gue, apa lagi kalau bukan untuk nyontek. Dengan suka hati, gue nutupin kertas jawaban darinya dan membuat jarak cukup jauh. Hal itu membuat Glen memasang wajah jitu yang membuat siapa saja tak tega melihatnya. "Makanya belajar, jangan main mulu!" bisik gue sebal. Namun, tetap saja dia memohon dengan wajah itu agar mendapat contekan. Sebal banget gue. Enak banget anak ini, semaleman dia main sama Gladis sampai-sampai gak belajar, padahal ada ulangan harian. Sekarang, dengan modal wajah itu dia berharap contekan. Jangan harap, kali ini gue gak akan kasihan padanya. Sampai akhirnya dia mengembuskan napas pasrah dan menidurkan kepala di atas meja dengan kertas jawaban yang masih kosong. Anak ini memang bikin emosi, tapi juga bikin gak tega. Terus, gak tahu sadar apa nggak, tiba-tiba saja tangan gue menggeser kertas jawaban ke dekatnya dan menoel bahunya. Glen mengangkat kepalanya dan tersenyum dengan cengirannya melihat kertas jawaban gue. Tanpa membuang waktu lagi, dia nyalin jawaban itu dengan kecepatan menulisnya saat nyontek. Gue membuang napas jengah biar gak kelihatan rela-rela amat karena dia nyontek jawaban. Waktu istirahat tiba, dan gue benci banget sama anak itu. Sumpah, gak tahu diri emang. Sudah dicontekin, sekarang dia gak tahu ke mana. Padahal gue gak ada kawan mau makan di kantin. Sepanjang koridor menuju kantin itu gue cuma bisa menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki jengkel. "Awas aja kalo ketemu! Gue jadiin sambel nasi uduk, terus gue kasih ke ayam!" Terus, rasa jengkel gue bertambah karena ngelihat Glen sudah duduk di kantin bersama Gladis. Astagfirullah! Pengin banget rasanya jitakin anak itu sampai botak. "Nah, Kinan! Sini," panggil Glen saat gue berhenti di pintu masuk kantin. Gue berjalan dengan wajah tertekuk dan langsung mendudukkan b****g di depan mereka. "Lama banget, udah gue WA dari tadi," kata Glen. Bodoamat! Batin gue. Gue gak perlu WA dari anak gak tahu diri. Kesal banget gue, sumpah, dah. "Bi, nasi uduk satu, sambelnya banyakin!" gue langsung memesan tanpa menjawab ucapan dia. "Busyet! Awas mabok sambel, Nan," katanya. "Dis, kenalin nih, Kinan, kawan gue yang paling smart and good," kata Glen ngenalin gue ke Gladis. "Cuma agak galak aja," sambungnya berbisik pada Gladis. Gak lucu, gak lucu, gak usah ketawa! Batin gue yang melihat Gladis tertawa. Anak baru yang kini jadi primadona sekolah itu pun mengulurkan tangannya untuk kenalan. "Gladis," katanya ramah. Gue jabat uluran tangan putih plus mulus cewek itu. "NANDIRA KIRANA," ucap gue penuh penekanan. Dia tersenyum dengan senyumannya itu, senyuman yang banyak dipuji para lelaki. "Kok, dipanggil Kinan?" tanyanya heran sambil menoleh ke Glen. Glen tertawa penuh semangat. "Kebagusan kalo manggilnya Nandira," katanya. Gladis hanya tertawa kecil karena lelucon garing si Glen. Sedangkan gue hanya menatap laki-laki itu penuh jengkel. Bisa-bisa darah tinggi gue kalau begini terus. "Yaelah, awas keluar, tuh, mata," kata Glen sambil ngedorong jidat gue. "Mau diganti mata harimau?" sambungnya. Sudah mau gue gigit tangannya itu kalau saja dia nganuin jidat lagi, dan dia malah ketawa. "Dis, lo tau gak kalo matahari mau dua?" tanya Glen. "Ha? Ya, gak mungkin, lah," jawab Gladis. "Mungkin, lah, liat aja kalau gak percaya," kata Glen. "Masa? Tapi, kok, orang-orang gak heboh." Bodohnya Gladis, dia percaya sama anak itu, sedangkan gue cuma diem dan menikmati nasi uduk. Glen tertawa terpingkal. "Iya, bener, matahari mau dua." Gue gak tega saja ngelihat muka Gladis yang kebingungan, makanya gue kasih tahu. "Maksudnya itu, mata harimau ada dua!" jelas gue. "Oh ... ya ampun!" Gladis tertawa terpingkal bersama Glen yang juga tertawa, sedangkan gue, cuma diem dan menikmati nasi uduk! Hingga akhirnya makanan gue habis dan kami kembali ke kelas. Gladis sudah pergi duluan ke kelasnya, dan sekarang cocotnya si Glen ini gak habis-habis menceritakan sosok Gladis. Bikin telinga gue panas. Rasanya sebentar lagi bakal keluar api dari mulut, hidung, dan dua telinga gue. Setelah dia berhenti memuji-muji Gladis dan menceritakan apa saja yang mereka lalui selama beberapa minggu ini, Glen menceritakan tentang kehidupan Gladis. "Dia pindah ke sini gara-gara orang tuanya pisah, Nan. Dia bilang kalau dia ikut ibunya tinggal di rumah neneknya." Gue cuma 'ham, hem, ham, hem' mendengarkan dongengnya. "Terus gue tanya, kan, dia berapa bersaudara. Katanya 2, tapi kakaknya ikut ayahnya. Gue gak nyangka aja dia semiris itu. Sedih gue denger cerita dia." Setelah gue pikir-pikir, kasihan juga si Gladis. Ternyata dibalik wajah cantiknya itu, dia menyimpan kisah yang memilukan. Gue juga jadi gak tega ngelihat wajah Glen yang tiba-tiba murung. Gue tepuk pundak anak yang tadi sempat bikin gue benci banget sama dia. Gak tahu dapat ilham dari mana, tiba-tiba saja gue menasihatinya dan ikut merasakan kesedihannya. "Yaudah kali, gak usah sedih gitu..., yang penting lo jangan bikin dia sedih, beban hidup dia udah cukup berat." "Iya, Nan, gue tau. Kira-kira kalau gue nembak dia hari ini, tepat gak waktunya?" tanya Glen tiba-tiba saja raut murungnya itu hilang. "Lo gila!" Glen memasang raut bingung akibat ucapan gue yang ngegas. "Kenapa memangnya? Bukannya wajar anak SMA pacaran?" "Emangnya lo serius mau pacaran?" "Iyalah. Kan, gue udah gede." Gak tahu kenapa, gue ngerasa gak setuju Glen memutuskan buat pacaran. Namun, gue sadar, cepat atau lambat, seorang remaja bakal ngerasain kasmaran. Apalagi di usia seperti sekarang ini. Meskipun gue tahu Glen gak pernah pacaran sebelumnya, itu gak akan menutup kemungkinan kalau dia bakal jatuh cinta. Sepertinya Gladis sudah buat dia jatuh cinta. "Kinan." Panggilan Glen menyadarkan gue dari lamunan singkat itu. "Kira-kira Gladis suka apa? Coklat apa bunga?" tanyanya. "Kok nanya gue, mana gue tau." "Secara gitu lo sama dia, kan, sama-sama cewek. Pasti cuma beda tipis, lah." Gue diam sejenak. "Ayolah, Nan, tolongin gue. Gue gak punya pengalaman apa-apa dalam urusan beginian. Gue baru mau mulai, nih." "Lo pikir gue ada pengalaman apa? Ntar, lah, gue mau pipis." Tanpa menunggu Glen menjawab, gue bangkit dari kursi dan pergi ke toilet. Sepanjang koridor menuju toilet, otak gue gak berhenti mikirin hal itu. "Memangnya harus pacaran?" pikir gue. Kalau setiap cinta harus diutarakan, mau taruh di mana muka gue. Tapi, masa iya, sih, gue jatuh cinta sama Glen? Cuma gara-gara dia meluk gue waktu itu? Ah, gue mikirin apa, sih! Terus, langkah gue terhenti melihat Gladis sedang ngobrol dengan temannya di depan kelasnya. Wajar kalau Glen jatuh cinta sama Gladis, orang dia cantik. Terus kenapa gue bisa jatuh cinta sama Glen? Dia gak ganteng-ganteng amat, bahkan suka bikin gue jengkel. Sumpah, gue gak ngerti kenapa harus begini. *** Sore ini, setelah pulang sekolah, mau gak mau gue nganterin Glen beli sesuatu buat nembak Gladis. Sebenarnya gue males banget, tapi karena dia bilang mau neraktir, makanya gue mau. Gue saranin ke anak itu buat beli coklat saja, daripada beli bunga, kayak orang mati. Baru juga selangkah kaki kami masuk, wangi coklat ini sudah bikin air mulut gue naik dan pengin ngerasain betapa manisnya coklat-coklat itu. Gue coba cari coklat yang paling unik, yang bikin Gladis gak akan bisa nolak Glen. Rugi juga kalau sudah beli-beli terus ditolak. Pasti sakit banget. "Coklat yang kayak gini ya, Nan?" Glen mengangkat coklat biasa yang bahkan banyak dijual di Indomayet. "Yang bagusan dikit ngapa, kayak gini, nih." Gue tunjukin ke dia deretan coklat dengan kotak berbentuk hati. Glen mendekat dan melihat-lihat daerah situ. "Yang ini cocok gak, Nan?" Dia menunjuk sebuah kotak coklat yang di dalamnya bertuliskan I Love You. "Gak norak, tuh?" tanya gue ragu. "Ya, nggak, lah. Ini malah bisa mewakili perasaan gue tanpa harus ngomong langsung," kata Glen. "Oh, gitu. Ya udah itu aja." Tanpa berlama-lama lagi Glen meminta coklat itu pada mba-mbanya, dan membayarnya di kasir. Setelah dari situ, kami makan ramen di Shabu. Sebenarnya gue lebih suka makan mie ayam di pinggir jalan, sih, tapi dia ngajak ke sini, yaudah. Sebagai pihak yang ditraktir, gue ngikut aja. Toh, yang bayar dia. Gue memesan beef ramen dan strawberry bubblegum, sedangkan Glen memilih udon sama marshmallow coffee. "Tumben lo neraktir gue makan di sini. Biasanya juga di mie ayam Ali," kata gue. Glen menunjukkan cengirannya. "Sekali-kali, Nan. Juga, biar nanti gak grogi kalau makan ke sini." Dia menaik-turunkan alisnya. Gue memutar bola mata malas. Nih anak benar-benar mau ngubah gaya hidup. Terserah, deh, yang penting dia punya duit. Padahal sebelumnya gue sering bilang ke dia, kalau warung makan pinggir jalan lebih membutuhkan uang kita daripada kafe-kafe ternama gini. "Yaelah, Nan." Dia ngedorong pipi chubi gue. "Tapi enak, kan, makan di sini?" tanyanya. "Gak tau, belom nyoba," jawab gue karena sekarang kami masih menunggu makanannya siap. "Lo cobain, pasti lo ketagihan." "Emang lo udah pernah makan di sini?" "Pernah sekali, pas kelas 1 SMP, waktu itu gue diajak Kak Gilang sama pacarnya." Gue cuma mengangguk. Kak Gilang itu kakaknya Glen, umur mereka berbeda 7 tahun. Sekarang Kak Gilang sudah sarjana, dia mengajar di sebuah bimbel dan juga sedang melanjutkan pendidikan S-2. Yang gue dengar, Kak Gilang mau jadi dosen. Dulu waktu SMP, gue sering banget belajar bareng Glen, diajarin kak Gilang. Apalagi kalau mau ujian, tiap malam gue ke rumah Glen buat belajar. Cuma kadang gue jengkel karena Glen gak pernah serius saat belajar, kerjaan dia bercanda mulu. Padahal Kak Gilang sudah men-jugde bahwa leluconnya itu gak lucu. Jadi, wajar saja kalau Glen suka nyontek. Dia selalu memohon biar gue gak ngadu ke Kak Gilang kalau dia suka nyontek. Selain itu, Glen juga ngancem kalau dia gak mau nemenin gue belajar lagi kalau sampai gue ngadu. Yaudah, lah, sama-sama, pikir gue. Jadi, gue gak pernah ngaduin dia. Hingga akhirnya pesanan kami siap. Gue perhatikan asap ramen yang menggebul. Pasti panas banget. Terus, gue gak tahu kalau wadah ramen itu panas, jadi gue pegang. Hasilnya gue berteriak sambil narik tangan yang kepanasan. "Aaw!" seru gue. Glen terkejut, lalu tertawa terpingkal melihat reaksi gue. Sumpah, deh, gue memang katrok banget :). "Ini yang dipegang Kinan, nih." Dia memegang alas kayu di bawah wadah panas yang tadi gue pegang lalu menggeserkannya mendekat ke gue. Kalau saja dia bukan Glen, sudah pasti malu banget. Beruntung dia cuma Glen. Namun, walaupun cuma Glen, gue tetap harus mendapat ketawaannya. Gue sudah mau mendaratkan jitakan di kepalanya, tapi setelah gue pikir-pikir lagi, jangan, deh. Ntar gue disuruh bayar sendiri lagi. Terus, gue bingung gimana makannya, di sana gak ada garpu. Kapan habisnya kalau gue makan mie panjang-panjang gini pakai sendok. Sendoknya kayak sendok bubur lagi. Gue masih ngaduk-ngaduk ramen itu, belum coba memakannya. Glen yang sedang makan menggunakan sumpit pun menghentikan kegiatan makannya sejenak. "Kok, gak dimakan, Nan?" tanyanya. Gue cuma bisa masang muka cemberut dengan bibir lima senti sambil ngaduk-ngaduk ramen. Gue lihat muka Glen sambil memberikan isyarat kalau gue butuh garpu. Namun Glen gak ngerti maksud gue, dia mengerutkan dahinya bingung. "Gak enak?" tebaknya. Gue menggelengkan kepala. "Garpu." Gue cuma bisa berkata pelan banget. Glen sempat terdiam, lalu menahan sesuatu, selanjutnya tertawa lepas. Sudah gue duga, pasti akan seperti ini. Gue gak bisa nyalahin dia, wajar dia ketawa, gue memang katrok banget. Kali ini gue gak marah. Gue ratapi ramen itu dengan iba. Sia-sia saja kokinya masak dan Glen bayar mahal-mahal, gue gak bisa makannya. Gue cuma menatap Glen agak sebal. Lalu dia mengambil sumpit dan menaruhnya di mangkuk gue. Terus, ngajarin cara memakainya. Sudah gue coba mempraktekkan, tapi tetap saja mie itu jatuh sebelum sampai ke mulut. Lagi-lagi Glen ngetawin diri ini. "Udah, lah, gak napsu." Gue dorong ramen itu menjauh. "Jangan ngambek, lah, Nan. Gue bercanda," kata Glen sok memelas, padahal gue yakin sebentar lagi juga dia akan ketawa. Tapi ternyata tidak, dia mengambil ramen di mangkuk gue dengan sumpit dan menyodorkannya ke mulut gue. "Nih, aak, gue suapin," katanya. Deg. Gue meneguk air di mulut, membayangkan rasa ramen yang mungkin sangat lezat. Tapi, getaran di jantung buat gue jadi gak bisa mangap. Sulit sekali, gue kenapa. "Aak," kata Glen sekali lagi. Gue bersikap seperti biasanya tanpa mengikuti irama jantung yang seperti benang kusut. "Gak mau. Emangnya gue anak kecil apa." Glen mengembuskan napasnya, mungkin sebal karena gue gak tahu diri, sudah dibaikin malah kayak gitu. "Memang anak kecil, harus pake garpu," ejeknya. Gue ngebuang pandangan darinya, malu. Terus, dia bangkit dari duduknya dan berjalan, gak tahu mau ke mana. Gue ditinggalin? Gue disuruh bayar semuanya? Gila aja anak itu. Pikir gue. Gue sudah kebingungan setengah mati dibuatnya, tapi ternyata dia cuma minjem garpu ke mba-mbanya. "Nih, garpu," katanya sambil memberikan benda itu. "Hehe." Gak tahu kenapa gue menunjukkan cengiran dan menerima garpu ajaib itu. "Kinan-kinan." Glen menggelengkan kepalanya dan kembali duduk di tempatnya. ___________________ Don't forget to follow Taci Fey
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD