Waktu terus berlalu, meninggalkan segala kisah yang pernah terjadi, dan menyisakan kenangan. Sejak malam itu, gue jarang banget ngobrol sama Glen, kecuali terakhir kali saat pembagian kelas baru.
Setelah melalui libur panjang yang membosankan, meski tidak semuanya, gue berdiri di depan kelas 11 IPS 1, membaca daftar nama yang akan menghuni kelas itu. Nama gue tidak ada. Hingga sampai di deretan nama kelas 11 IPS 3, tangan gue berhenti pada nama Glen, membuat bayangan kelam tentang masa-masa yang pernah terjadi sebelum ini.
Sekali embusan napas terdengar, entah embusan senang atau sesal, gue membaca nama yang juga tertera di sana, Nandira. Memang, hati tak bisa membohongi takdir. Namun kini, segalanya tak akan sama. Meskipun kami sekelas lagi, jarak yang cukup tetap harus tercipta.
Untuk pertama kalinya gue berbicara tatap muka dengan dia setelah waktu itu. Sepanjang liburan kemarin, gue sengaja menutup jalan untuk bertemu dengannya. Kami hanya ngobrol seperlunya via chat.
Kami bertemu di pintu kelas. Dia sedikit terkejut saat berpapasan. Dan dia masih sama seperti sebelumnya, enjoy, happy, dan santuy, seolah tidak ada yang memberitahunya tentang sesuatu malam itu.
"Kinan! Akhirnya muncul jugaa," dia berkata riang sambil mendaratkan tepukan di pundak gue, "duduk samping gue," pintanya.
"Gak, ah! Bosen duduk di belakang, gue mau duduk di depan aja." Gue menolak dengan alasan yang telah dipikirkan matang-matang.
"Udah ada yang duduk sini?" gue bertanya pada gadis berhijab yang duduk di kursi paling depan dekat pintu.
Dia menggeleng.
"Gue duduk sini boleh?"
Dia mengangguk, mengizinkan duduk di sebelahnya.
Glen mematung di tempatnya dengan raut tak percaya. Memang, gue juga sebenarnya tak percaya diri karena memilih tempat duduk paling depan. Tapi mungkin ini yang terbaik.
"Lo serius?" katanya dengan intonasi menekankan.
"Hm," gue cuma berdeham dengan raut meyakinkan.
"Ayolah, Nan! Gue udah nolak tiga orang biar gak duduk di sono, tau." Glen menunjukkan tiga jarinya gemas.
"Sebentar lagi juga pasti ada yang nempatin tempat itu."
Benar saja, cuma dalam hitungan detik, seorang pria berkulit putih dengan rambut kribo mendaratkan b****g di sana tanpa bertanya-tanya lagi. Kami bertiga menyaksikan pria itu dari awal menginjakan kaki masuk ke kelas hingga mendarat di sana. Glen terbengong dengan mulut terbuka dan perasaan tak terima.
"Bener, kan." Gue kembali menatap ke arahnya setelah melihat ke belakang.
"Kenalan sana!" suruh gue sekalian mengusirnya secara halus.
Glen berjalan menuju bangku sambil memandangi gue dengan tatapan sinis dan mulut lima senti. Ekspresinya itu membuat siapa saja tergelitik.
Mulai saat itu, interaksi dengan Glen benar-benar terminimalisir. Gue lebih sering ngobrol dan pergi dengan teman sebangku, Firda. Yah, dia orang yang sempat menjadi pembicaraan cewek-cewek karena menolak Marcel, cowok ganteng yang jadi idola kaum hawa di sekolah, tidak termasuk gue.
Lama berteman dengannya, gue banyak belajar sesuatu yang belum pernah terpikirkan baik-baik. Selain cerdas dalam pelajaran sekolah, Firda juga sangat religius dan sangat paham akidah. Dari situ, gue merasa sudah salah menilainya dulu. Dia sungguh wanita baik-baik.
Dan Marcel, gue gak nyangka kalau dia tetap berusaha menarik perhatian Firda. Belakangan ini gue sering diteror anak itu karena selalu bersama Firda. Hampir setiap hari dia nanyain gue tentang Firda, mulai dari sudah makan apa belum, punya rencana mau pergi ke mana, mau makan apa, bahkan maksa minta nomor HP gue buat nanyain segala hal yang dilakukan Firda.
"Fir! Marcel itu waras gak, sih?" gue bertanya dengan intonasi geram setelah mendapat pesan Marcel yang nanyain Firda lagi ngapain.
"Kenapa memangnya, Nan?" tanya Firda, dia menggaris buku tulisnya. Kami sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Firda waktu itu.
"Nanyain lo terus," gue menjawab dengan napas jengah.
"Nanyain apa?" katanya yang masih fokus pada tulisannya, belum tertarik dengan ucapan gue.
"Nanyain lo lagi di mana, sama siapa, lagi ngapain, udah makan belum, makan pake apa, banyaklah pokoknya." Gue kesal sendiri dengan notice yang belakangan ini sering masuk ke HP.
Kali ini Firda menghentikan kegiatannya dan termenung dalam waktu yang agak lama.
"Fir...," gue panggil dia sebelum mahkluk halus merasukinya.
"Jadi kamu yang kasih tau dia." Firda menatap protes.
"Eee..., abisnya gue kasian sama lo, daripada lama nungguin ujan, kan."
Waktu itu, kami berdua jalan bareng, niatnya mau makan bakso. Setelah lama nemenin Firda nyari buku, kami berjalan keluar toko untuk mewujudkan niat. Namun, adzan zuhur memisahkan kami. Firda nyuruh gue duluan ke warung bakso sekalian memesankan pesanannya. Kebetulan masjidnya gak seberapa jauh dari tempat makan.
Jadi, setelah menurunkan Firda di masjid, gue langsung tancap gas ke sana. Tamu bulanan yang lagi mampir membuat gue gak bisa ikut Firda salat. Lalu, entah malang entah berkah, hujan deras membuat Firda tak bisa langsung berjalan ke tempat makan. Padahal bakso-nya sudah hampir dingin dan menangis karena tak segera disantap.
Dan notice masuk dari Marcel. Apa lagi kalau bukan nanyain Firda. Dia bertanya kami lagi di mana. Tadinya gue niat gak mau balas, tapi setelah dipikir-pikir, ada untungnya kalau dia gue suruh jemput Firda di masjid.
Beberapa menit kemudian, Firda sampai dengan sebuah payung.
"Kok sama payung, bukan sama Marcel," pikir gue.
Dia melipat payung itu lalu mengetok-ngetok ujungnya agar airnya jatuh. Dia duduk di hadapan gue.
"Payung siapa, Fir?" gue tanya dia.
"Ee..., Marcel," jawabnya. "Kok dia tau aku di sana ya, kaget tau aku," sambungnya sambil ngasih kecap ke bakso dan mengaduknya.
Gue tertawa kecil. "Dia ngomong apa?"
"Kan aku nanya dia ngapain di sana, katanya neduh. Jelas-jelas dia bawa mobil!" kata Firda geram.
Gue hampir tersedak karena terbahak. Natural banget b**o-nya anak itu.
"Dia nawarin tumpangan, kubilang gak usah karena mau makan, terus dia ngasih payung," sambungnya.
Sebelumnya gue memang gak pernah ngasih tahu Firda tentang ini. Selain gak boleh sama Marcel, kadang gue juga kasihan sama dia, apalagi kalau berurusan dengan anak-anak centil di sekolah. Ya, meski Firda bisa menanganinya sendiri, tapi gue tetap gak rela dia di-julid-in.
"Nan, kamu gak perlu repot-repot kasih tau dia," kata Firda lembut.
"Ya memang agak repot, sih. Dari dulu dia emang kayak gitu apa, Fir?" tanya gue heran.
"Nggak. Mungkin karena waktu itu kami sekelas."
Gue mengembus napas, sesekali meniup bagian atas rambut, dan melanjutkan tulisan.
***
Mencoba menjarak memang hal yang bagus, tapi lama-lama, rasa rindu mengepung juga. Sudah lama gue gak main sama Glen. Jangankan main, untuk sekadar ngobrol bercanda ria saja sudah tidak pernah. Gue selalu mengelak dengan serius saat dia membuka lelucon. Sungguh, sebenarnya sangat ingin meladeni gurauannya, tapi sekarang terasa sulit.
Membayangkan segala lelucon dan keusilannya, membuat tubuh tenggelam dalam laut kenangan. Suaranya yang selalu bersemangat meski terkadang manja, cengiran kuda dan tawanya yang khas, sentuhan hangat yang terkadang begitu usil, juga geramannya. Waktu itu seperti tidak ada yang salah pada kami, kenapa sekarang jadi seperti ini.
Dapat melihatnya, tapi tak bisa meraihnya. Kami tak terpisah dengan jarak yang jauh atau terpisah oleh belahan bumi yang berbeda, tapi rasanya seperti itu, sangat jauh.
Menyaksikannya di sini tanpa bisa bertegur sapa ternyata lebih menyakitkan daripada mengetahuinya berada di belahan bumi yang lain.
"Nan,"
"Nandiraa?"
Sentuhan tangan Firda membuat gue tersadar dari lamunan singkat siang itu. Firda memandang ke arah yang gue pandang, mencari tahu sesuatu yang membuat gue tak menjawab panggilannya. Pandangan yang tak lepas dari jendela, melihat lapangan futsal, dan terfokus pada satu sosok.
"Em, kenapa Fir?"
"Kamu ada masalah?" bukannya menjawab, Firda malah bertanya kembali.
"Nggak, kok," gue berdusta untuk kepentingan pribadi.
"Kamu ada masalah sama Glen?"
Firda tak bersuara selama gue terdiam, memikirkan sesuatu.
"Menjaga jarak dengan lawan jenis memang penting, Nan..., tapi, menyambung silaturahmi gak kalah penting." Ucapan Firda itu masuk ke rongga terdalam telinga, tersekat di sana, dan terekam oleh syaraf motorik, membuat gue memikirkannya.
"Aku mau beli pena, kamu mau ikut?" tanyanya kemudian.
"Nggak, deh."
"Yaudah jangan rindu, hehe," guraunya sambil beranjak keluar kelas. Gue cuma tertawa geli mendengarnya.
"Silaturahmi...?" gue bergumam dalam pandangan lurus ke lapangan, "memangnya lebaran."
Sambil mencoba mengusir beban pikiran yang membuat kepala berat, gue memejamkan mata. Sekarang rasanya malah tambah berat.
Gue menelungkupkan wajah pada lengan yang terlipat di atas meja, memikirkan asmara yang harusnya tak datang secepat ini.
Secepat itu hatimu jatuh, hanya karena pelukan hangat dan suara detak jantung yang berirama. Tidakkah dia merasakan apa yang kurasa. Apakah salah jika aku merasa. Dan tak adil jika hanya aku yang merasakan!
"Bukankah tidak segala hal berasal dari hati meski kamu sangat menginginkannya? Bisa saja itu nafsu syaitan."
Suara Firda kala itu melintas dan bergema dalam benak yang penuh dengan hasrat.
"Sesering apa pun kamu berharap, jika Allah gak mengabulkan, itu tanda cinta Allah. Karena Allah gak mau kamu berada di jalan yang salah. Jangan jadikan larangan-Nya sebagai harapan."
"Keputusan kamu untuk menjaga jarak dengan dia itu sudah sangat baik. Percaya dong, Allah menjauhkan kamu dengan dia karena memang itu yang terbaik, dan Allah gak mau kamu terjerumus dalam zina yang lebih besar, Nan...."
Berulang kali, otak gue mengulang kalimat yang pernah masuk dan terekam begitu jelas. Jika dipikirkan dan dirasakan, banyak kebenaran yang harusnya membuat gue bersyukur. Selama ini gak pernah sedikit pun terenung tentang hal itu dalam benak.
Sudah begitu jauh kaki melangkah, umur bertambah, tapi jalan tak pernah terarah. Mungkinkah sudah saatnya untuk hijrah.
"Tidak semua kebahagiaan bisa kita miliki. Allah punya cara sendiri untuk membahagiakan hamba-Nya. Entah di dunia..., atau di surga-Nya."
"Apa kamu rindu keindahan surga, Nan? Aku benar-benar rindu, meski gak pernah melihatnya."
Kata demi kata Firda yang ternyata begitu indah kini terngiang dan memenuhi ruang kosong dalam diri.
Ya Allah... sudah berapa lama aku melupakan-Mu.... Sudah berapa lama aku mengabaikan perintah-Mu.... Ampun... Ya Rab... Hatiku benar-benar telah hancur karena berharap pada makhluk-Mu.
Dan berdosanya aku... berani berharap atas larangan-Mu. Egoisnya aku yang berdoa dan meminta pada-Mu ketika aku tak mengindahkan perintah-Mu.
Sungguh saat yang tak terasa air mata jatuh membasahi meja kayu itu. Untuk pertama kalinya setelah sangat lama tak pernah memikirkan-Nya, gue bersyukur air mata ini datang. Air mata penyesalan yang sebelumnya tak pernah menyapa, air mata yang datang karena Allah, karena ingin bersyukur atas hidayah yang masih sampai.
"Nandira?"
Gue menahan isak tangis yang mungkin terdengar dari tadi. Kepala ini begitu enggan untuk bangkit dan menghapus air mata yang membanjiri lengan hingga ke meja. Firda mengelus rambut gue lembut, dia tidak bersuara lagi selama itu, hanya diam dan menenangkan.
Dia begitu pengertian, tak bertanya apa-apa dan membuat gue merasa tenang atas apa yang dirasakan. Dia menenangkan dengan begitu tulus tanpa alasan. Dan gue merasakan kesabaran yang begitu besar dalam dirinya.
***
"Nandira, ada tamu!"
Teriakan emak itu membuat gue terkejut dan hampir menjatuhkan kerudung putih yang baru saja lepas segel. Gue baru membelinya kemarin sore dan berniat memakainya sekarang. Namun dari tadi rasa malu dan ragu meliputi diri, entah dari mana datangnya, rasanya belum siap mendengar pujian atau cacian, padahal belum tentu keduanya ada.
"Pakai kerudung itu bukan berarti sok alim. Mungkin yang ngatain belum pernah di sentil malaikat, hehe."
Gue tertawa kecil mengingat gurauan Firda waktu itu. Waktu dia di-julid-in cewek-cewek karena Marcel jalan bareng Suci, anak 11 IPS 1 yang lagi dekat dengan Marcel. Gak sengaja kami mendengar ucapan mereka yang mengarah secara tidak langsung ke Firda.
"Kayaknya bentar lagi Marcel jadian."
"Iyalah pasti! Emangnya gak capek nungguin cewek sok suci itu."
"Yang Suci aja gak ngerasa suci, haha!"
Gue menoleh ke Firda yang hanya memberi respon smile sambil bilang, "Aku gak ngerasa mereka ngomomgin aku, kok."
Gue tertawa kagum padanya dan melanjutkan suapan nasi uduk ke mulut.
"Nandira!"
Pintu kamar gue dibuka secara tiba-tiba. Membuat gue tersentak dan buru-buru menyembunyikan kerudung di laci rias, malu jika emak memberikan pujian romantis yang membuat gue merinding mendengarnya.
"Kamu mau berangkat sekolah jam berapa?" tanyanya.
"Sebentar lagi, Ma."
"Ada yang jemput, tuh, katanya kawan sekolah kamu."
Aduh, itu pasti Kak Ari, padahal gue sudah bilang gak usah repot-repot.
"Siapa itu? Pacar kamu, ya? Udah pacar-pacaran kamu, Nan?" emak gue bertanya dengan tatapan miring.
Gue mendecak. "Bukan, Ma..., kakak kelas aku. Udah dibilang gak usah jemput, dia ngeyel."
Gue melepas ikatan rambut dan menyisirnya.
"Tumben kamu gak pernah berangkat bareng Glen lagi? Kenapa?"
Entah apa yang merasukinya, pagi-pagi begini sudah banyak pertanyaan yang dilontarkan.
"Gak papa."
Emak medekat dengan raut penuh selidik. Gue melihat gerakannya yang penuh dengan introgasi. Dia mengarahkan kedua ujung jari telunjuk dan tengahnya ke kedua matanya lalu ke mata gue. Mengisyaratkan kalau dia akan selalu mengawasi.
"Yaudah berangkat sana," kata emak lantas keluar meninggalkan kamar.
Sepertinya belum siap memakainya hari ini. Gue ratapi kerudung putih yang kini terlipat di lemari. Lagian, lengan baju gue masih pendek. Kalo mau pakai kerudung musti ganti lengan panjang, atau pakai manset. Ah, mending ganti lengan panjang, tapi belum punya.
Beli seragam baru atau tidak sama sekali?
Gue menarik napas panjang dan mengembuskannya. Sebelum emak berteriak lagi, gue beranjak dan berangkat ke sekolah.
________________
Oke, dua episode hari ini :) Jangan lupa follow writernya yah, lovenya juga untuk cerita ini jika kalian suka....