Izin Mendekati

1501 Words
Klak! Klak! Ken menekan tangan kanannya yang terkepal pada tangan kirinya yang terbuka hingga terdengar bunyi ‘klak’. Ditatapnya angkuh tiga pemuda yang saat ini tersungkur di tanah dan mengerang kesakitan dengan sorot matanya yang dingin dan datar. Beberapa saat sebelumnya, berdiri seorang pemuda yang tak lain adalah Joe dimana ia membawa dua teman yang berdiri di belakangnya dan menatap Ken layaknya preman menemukan mangsa. Dan tanpa mengatakan apapun, Joe langsung menantang Ken dengan alasan bahwa Ken adalah penyebab Aurora memintanya untuk putus. Perkelahian pun terjadi dimana tiga lawan satu. Ken melawan Joe beserta dua temannya yang menyerang di saat bersamaan. Namun dengan mudah Ken dapat melumpuhkan ketiganya. Bahkan ia yakin sepertinya telah mematahkan salah satu tangan Joe dan rekannya. “Bodoh,” maki Ken yang kemudian berbalik dan memasuki taksi online pesanannya yang telah sampai. Sementara Joe dan kedua temannya masih mengerang kesakitan dan tak kuasa sanggup berdiri karena rasa sakit akibat pukulan Ken. Jbles! Ken menutup pintu mobil dengan keras saat telah memasuki mobil dan menyuruh sopir segera melajukan mobil. Hela nafas panjang lolos dari mulut kala menyandarkan punggungnya. Ia setengah menengadah, mengangkat tangannya dan menatapnya dalam diam dimana tangannya itu terkepal dan terbuka sampai beberapa kali. Seketika ia teringat Aurora, apa yang terjadi adalah karena gadis itu. “Tsk.” Ia berdecak, meski ia berhasil mengalahkan ketiga pemuda kurang kerjaan itu tetap saja tangannya memar. Drt … drt … drt .... Getar ponsel dalam saku jaketnya membuatnya mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Dan melihat nama Zio tertera pada layar, ia segera mengangkat panggilan. ‘Kebetulan sekali,’ batinnya. [ Oi, Ken, kau di mana, hah?! ] “Di mobil,” jawab Ken singkat. [ Sialan kau! Sekarang katakan kau di mana, aku akan menjemputmu. ] “Aku dalam perjalanan pulang. Untuk apa? Bukankah kau tengah menghabiskan waktu dengan wanita itu?” sindir Ken disertai senyum remeh yang terukir di bibir. [ Mana mungkin aku bisa meninggalkanmu? Kau kan tak pernah keluar, aku takut kau tersesat jadi aku lebih memilih sepupuku yang polos dan meninggalkan gadis manis itu. Meski sebenarnya sayang, sih. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak mau om dan tante mencekikku nanti.] Ken terdengar mendengus, Zio memang tak pernah serius, batinnya. Kemudian tanpa mengatakan apapun ia segera mematikan sambungan telepon dan meminta pak sopir lebih cepat. Di tempat Zio sendiri, ia hanya bisa menatap layar ponselnya dengan menggaruk belakang kepala. “Dasar,” gumamnya. “Hai, bagaimana dengan temanmu?” Aurora muncul di belakang Zio, menepuk bahunya dan menanyakan Ken. Saat ini mereka masih berada di depan restoran dimana Zio memutuskan pulang menyusul Ken. “Sepertinya dia memesan taxi,” jawab Zio. “Duh, aku jadi semakin tidak enak. Tolong sampaikan maafku padanya, ya,” pinta Aurora dengan tangannya yang mengatup di depan d**a. “Kau tenang saja, dia akan cepat melupakannya,” sahut Zio diiringi kelakar tawa. “Eh? Benarkah?” “Ken itu tidak begitu memikirkan yang namanya wanita. Entah sudah berapa banyak gadis yang dibuat patah hati olehnya,” ujar Zio yang mengatakan kebenaran mengenai Ken. Bukan tanpa alasan atau tujuan, melainkan ia ingin memberitahu Aurora sebelum ia kembali menjadi korban patah hati Ken. “Sungguh? Kenapa? Apa dia gay?” tanya Aurora dengan hati-hati di akhir kalimatnya. “Hm.” Tangan kanan Zio terangkat dan mengusap dagu dimana tangan kirinya bersedekap menjadi tumpuan siku. Ia terlihat menengadah sesaat kemudian memutar bola mata ke kanan dan kiri seolah tengah berpikir keras. “Mungkin,” jawabnya. Seketika Aurora menutup mulut dengan matanya yang melebar. “Sungguh?” tanyanya yang seperti baru mendengar berita besar nan menghebohkan jagat maya. Zio yang melihat reaksi Aurora seketika menyilangkan jari telunjuk di depan mulut dengan sebelah matanya yang terpejam sesaat. “St … tapi jangan katakan pada orang lain, okey,” ucapnya. “Ya Tuhan … aku benar-benar tak mengira,” gumam Aurora yang perlahan mulai menurunkan tangan dari depan mulutnya. “Apa kau pasangannya?” tanyanya tiba-tiba dan menatap Zio dengan tatapan penuh selidik. Zio tapak cengo. “A-- Aku?” ulangnya dengan telunjuk yang menunjuk wajahnya sendiri. “Bukankah kalian selalu berdua? Kemarin di kampus dan sekarang. Jangan bilang kau hanya berbohong saat mengatakan kalian sepupu,” tuduh Aurora dimana seketika raut wajahnya seolah jiji menatap Zio. “Ish, bukan,” potong Zio segera. ‘Tsk, senjata makan tuan,’ batinnya. “Kau lihat sendiri kami hampir mirip bukan?” lanjutnya guna mengingatkan Aurora. “Ya siapa tahu kalian justru saudara kandung dan menjalin hubungan tak sehat,” ujar Aurora dengan mengedikkan bahu. “Hei, aku masih normal tahu! Aku bahkan sudah mengencani banyak gadis!” ujar Zio congkak agar Aurora percaya. “Kau semakin membuatku takut,” sahut Aurora yang terlihat bergidik ngeri. Namun seketika kelakar tawanya pecah. Ia berusaha menutup mulut menahan tawanya. Zio yang melihatnya pun hanya bisa mengernyitkan alis. “Apa yang lucu?” tanyanya. “Ah, maaf-maaf,” kata Aurora yang perlahan mulai melunturkan tawa. Ia berdehem dan berusaha kembali berbicara dengan serius. “Hah … aku percaya padamu, kok,” ucapnya kemudian. “Jadi? Apa yang kau tertawakan?” tanya Zio dengan setengah memiringkan kepala menuntut jawaban Aurora. “Aku percaya jika kau memang bukan, tapi untuk temanmu itu, aku tidak tahu apakah kau serius atau hanya ingin membohongiku. Tapi jika itu benar, bolehkan aku menyembuhkannya?” ujar Aurora dimana senyuman manis terukir di bibirnya setelah mengatakan kata terakhir. Sebelah alis Zio meninggi menatap Aurora dengan raut wajahnya yang tak mengerti. “Menyembuhkannya?” gumamnya yang masih dapat Aurora dengar. Aurora menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, memejamkan mata sesaat saat menunduk kemudian kembali menegakkan kepala dan menatap Zio dengan raut wajahnya yang terlihat begitu sejuk kemudian mengatakan, “Membuatnya menyukai seorang wanita yaitu … aku.” Deg! Zio tertegun melihat ekspresi Aurora. Aurora tersenyum hingga matanya menyipit, menatapnya dengan keyakinan yang tersembunyi di balik wajah cantiknya yang begitu manis. Seketika senyum tipisnya terukir, menatap Aurora dimana sorot matanya menjadi teduh. Hela nafas panjang pun terdengar lolos dari mulut. “Sebenarnya Ken bukan gay. Aku sengaja mengatakannya karena tak ingin kau kecewa jika berusaha mendekatinya,” ungkapnya. “Kau tenang saja, aku pasti bisa,” jawab Aurora segera tanpa melunturkan senyuman yang menghiasi bibirnya. Zio membalikkan badan dan memunggungi Aurora kemudian berteriak, “Hah! Ya Tuhan … hukuman apalagi yang kau berikan padaku?!” Setelah itu kembali berbalik dan menatap Aurora. “Lalu bagaimana dengan mantanmu? Apa secepat itu kau melupakannya hingga ingin mendekati Ken?” tanyanya seakan teriakan frustasi sebelumnya hanyalah ilusi yang Aurora lihat meski faktanya adalah kenyataan. “Bagiku mantan adalah masa lalu, dan yang harus aku lakukan setelahnya adalah mencari masa depanku,” jawab Aurora seperti tak ada beban sama sekali saat mengatakannya. Jika orang lain merasa bersedih saat berpisah dengan kekasihnya, rasanya berbeda dengannya. Karena dengan begitu Aurora bisa mendapatkan kekasih yang baru. Zio terdiam dan mengamati Aurora tiada henti. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, namun tiba-tiba ia teringat ratusan gadis yang berusaha mendekati Ken harus berakhir dengan tangis. Tapi … melihat Aurora, sepertinya ia berbeda. Dan jika ia memberinya lampu hijau, sama saja ia menaruh Ken di atas tajamnya pisau. Di matanya Aurora bagaikan dua belah mata pisau. Jika ia berhasil membuat Ken tertarik padanya itu bagus, itu artinya Ken bisa menyembuhkan ketakutan sekaligus kebenciannya terhadap wanita. Tapi apa yang terjadi jika kelak Ken benar-benar menyukai Aurora dan tiba-tiba Aurora memutuskan hubungan? Hal itu pasti akan kembali melukai Ken dan bisa membuatnya mengalami trauma yang lebih parah. Tapi … sepertinya Aurora memang berbeda dari banyak gadis yang sebelumnya berusaha mendekati Ken. Aurora bukan gadis biasa, bukan sekedar gadis yang tergila-gila pada Ken karena ketampanannya, bukan juga sekedar gadis yang penasaran. Entah seperti apa Aurora yang sebenarnya, ia tak dapat benar-benar membacanya dengan sempurna. Jangankan Zio yang baru mengenal Aurora dalam hitungan jam, bahkan semua mantan Aurora yang tak terhitung jumlahnya pun tak dapat mengetahui seperti apa dirinya yang sebenarnya. Aurora merupakan badgirl yang bersembunyi di balik wajah bidadarinya. Sudah banyak pria yang patah hati setelah menjadi kekasihnya hanya dalam hitungan hari. Dan yang paling lama bertahan hanya dalam hitungan minggu. Entah pria seperti apa yang ia cari, semua pria yang menjabat sebagai kekasihnya memiliki rupa yang sempurna, tak kalah dari Ken atau pria tampan lainnya. Mereka juga memiliki strata sosial sederajat. Aurora menjalani pacaran sehat, saat kekasihnya meminta sesuatu yang lebih maka ia akan menjadikannya alasan putus. Jika kekasihnya membawanya ke tempat sepi bahkan berani membawanya ke hotel, itu juga akan dijadikannya alasan putus. Dan bahkan jika kekasihnya terlalu baik dengan menuruti semua syarat dan keinginannya, ia juga menjadikannya sebagai alasan putus. Karena itu lah ia dicap sebagai bad girl namun tetap goodgirl di mata orang lain. Tak heran tetap saja masih ada pria yang berusaha mendekatinya dan yakin bahwa mungkin salah satu dari mereka bisa mendapatkannya sepenuhnya. Tapi bisakah? Mengingat bahkan tak ada yang tahu seperti apa karakter Aurora yang sesungguhnya dan alasannya yang seolah sengaja mempermainkan para pria. “Jadi … apakah aku mendapat lampu hijau darimu?” tanya Aurora dengan setengah memiringkan kepala dan kembali mengukir senyumnya hingga matanya menyipit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD