it's not only about us

1632 Words
Akhir-akhir ini Vina merasakan hari-harinya jauh lebih menyenangkan. Padahal rutinitasnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi tiap kali Kiki memanggil namanya di pagi hari mengajak berangkat sekolah bersama, Vina langsung tersenyum lebar bersemangat. Begitu juga dengan Kiki, merasa diliputi perasaan bahagia yang bertahan hingga jam pulang sekolah. Wajah Vina masih secerah paginya dan hal itu menular sampai ke Kiki. Sebenarnya hari-hari Vina masih dipenuhi dengan ulah Dava yang menjahilinya. Tetapi rasa hangat yang meliputi kedua pipi Vina begitu melihat Kiki di gerbang mampu menggantikan mendung menjadi guratan senyum bahagia. Antusiasme yang berlipat ganda dari hari-hari sebelumnya. Padahal pemandangan dirinya ditunggu Kiki dari gerbang sekolah sudah menjadi hal biasa di hari-harinya. Menyenangkan sekali. "Udah sana masuk" "Bye" Vina melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba dari dalam rumah sang ibu berlari ke depan menyambutnya. "Vinaaaa, Kikinya mana?" "Siang tante" sapa Kiki yang seperti kebiasaannya masih di gerbang depan sampai benar-benar melihat Vina masuk ke rumah. Penasaran dengan yang akan disampaikan ibunya membuat Vina ikutan kembali ke gerbang depan membuntuti sang ibu. "Oke yaa, ajakin nanti mamanya ke sini!" "Ada apa sih?" Sayangnya Vina hanya kebagian sepenggal kalimat. Bukannya menjawab Kiki justru tertawa karena tingkah Vina yang baginya lucu. "Kepo bangeet siiih" Kiki mengacak gemas rambut Vina yang mengundang sungutan dari korbannya. "Ih ih nyebelin. Berantakan" "Sana masuk ganti baju! berantakan banget anak gadis ibu" Mendengar perintah sang ibu semakin membuat Vina sebal. Bahkan sebelum berlari masuk dia memberikan ejekan ke Kiki. Tentu saja Kiki membalasnya kemudian terkekeh sendiri. Ternyata Ibu Vina membuat banyak kue bolu yang akan dibagi-bagikan ke tetangga sebagai ucapan syukur atas prestasi anak-anaknya. Beberapa bulan yang lalu Vina berhasil mendapat peringkat dua olimpiade matematika dan kakaknya Vera baru saja lolos ikut serta tim debat nasional. Untuk itu Ambar mengundang Kiki dan mamanya untuk ke rumah. Hitung-hitung tetangga dekat jadi diberikan bingkisan spesial. "Ini nanti Vina bu yang nganter-anterin?" tanya Vina sudah sungkan menjalankan perintah yang sepertinya akan diucapkan ibunya. "Makan nasi dulu Na!!!" Sebenarnya apa bedanya jika yang masuk ke perutnya adalah karbohidrat, begitu gerutu Vina dalam hati. Ibunya mengomel karena Vina langsung mencomot potongan bolu pandan padahal hidangan makan siang untuk anaknya sudah tertata rapi di meja. Seperangkat nasi dan pendampingnya. Khas emak-emak Indonesia sekali takut anaknya makan sedikit karena sudah ngemil duluan. Makan itu harus nasi. "Nanti pake sepeda kakakmu taruh keranjang depan buat anterin bingkisannya" "Vina takut jatuh lah buu" "Kalau takut terus kapan bisanya?" Tidak seperti Vera yang bisa mengendarai sepeda sejak kecil, Vina sama sekali tidak pernah bersahabat dengan salah satu kendaran roda dua itu. Jika dipaksakan sebenarnya dirinya bisa tetapi lebih banyak takutnya saat mengayuh. Takut jatuh karena pengalamannya terjatuh dari sepeda juga sangat banyak. Masuk ke selokan, nyungsep di lapangan, tergelincir ke sawah, dan jangan lupakan dirinya pernah terlindas ban sepeda yang tengah dikendarai Vera. Total sudah rasa sebal Vina akan kendaraan bernama sepeda. "Nanti minta tolong Kiki aja kalau gitu. Biar ga bolak-balik depan di isi kamu bawa juga di belakang" "Kalau Kiki gamau?" Vina masih berusaha menghindar atau paling tidak acara memberi bingkisan ini bisa ia lakukan bersama ibunya naik motor. "Nanti biar ibu yang minta ijin ke mamanya dia" putus Ambar. "Assalamualaikum" Suara Mama Kiki terdengar dari pintu depan. Ambar yang menjawab salam sembari berjalan ke depan pun langsung mempersilakan Ibu dan anak itu untuk masuk. Kiki dan mamanya bergabung di meja makan area dapur yang separuh bagian penuh dengan banyak bingkisan. Vina duduk anteng mendiami kursi di bagian yang ada menu makan siang, berhadapan dengan sepiring santapan. "Waaaah ada acara apa ini jeng?" "Syukuran kecil-kecilan jeng Lina, alhamdulillah prestasi anak-anak" "Selamat ya Vinaa, kamu kok ga cerita ke mama sih Ki? kalau Vina abis juara" Lina baru saja membaca kertas ucapan di salah satu bingkisan. "Kiki udah makan siang?" "Anak ini kalau disuruh makan suka nanti-nanti jeng" "Mau sekalian makan siang bareng Vina?" "Icip bolunya dulu boleh ga tante?" "Husshh!! ga sopan" Lina memelototi anak semata wayangnya. "Haha gapapa kok jeng. Ini saya udah siapin bolu khusus buat Jeng Lina dan Kiki makan. Nah yang ini nanti dibawa pulang" Ambar menyerahkan masing-masing sepiring aneka bolu ke Kiki dan mamanya. Mendapatkan yang ia mau, Kiki pun langsung membawa bolunya untuk duduk dekat dengan Vina. Sedikit menepi dari obrolan ibu-ibu yang terus berlanjut. "Giliran anak orang lain dibolehin makan bolu. Anaknya sendiri harus makan nasi duluu" gerutu Vina lirih. "Biar pipinya ada isinya ini tu. Jangan ngambek aaaaaa" "Gamau ah campur-campur" Kiki menjahili Vina hendak menyuapkan sepotong bolu padahal makan siang gadis itu belum selesai. "Minta tolong bantuin aku anterin bingkisan keliling komplek mau gak?" "Jalan kaki?" "Kamu mau?" "Emang kamu berani bonceng sepeda?" Keduanya sama-sama melemparkan pertanyaan yang sebenarnya sudah mereka ketahui jawabannya. "Kiki abis makan anterin Vina kirim bingkisannya ya!" "Iya Ma" "Aduh makasih ya nak Kiki" Mendengar perintah mamanya semakin memperkuat tugas Kiki yang harus mengantarkan Vina. Sebenarnya tanpa diperintah mamanya pun Kiki pasti menyanggupi permintaan Vina. "Tuh udah diwakilkan mandatnya sama baginda ratu" Vina merasa sedikit tenang karena terhindar dari mengendarai sepeda sendirian. Meskipun berada di boncengan sepeda juga sama-sama hal menyeramkan baginya. "Tapi pegangannya jangan barbar yaa! Bagian sini nanti sakit" Kiki mengarahkan tangan Vina yang sudah selesai makan untuk mengusap bagian samping pinggangnya. Bagian yang sering menjadi korban dari cengkeraman Vina saat dirinya membonceng sahabatnya itu. Padahal jalannya mulus saja tetapi Vina sering heboh sendiri merasa bisa terjungkal kapan saja. "KII! PELAN AH!" "Aduh aduh.. Vii" Baru beberapa meter dari rumah, Vina sudah berteriak karena sepeda Kak Vera yang dikayuh bergerak-gerak akan oleng. Padahal hal itu wajar saat sepeda baru mulai digerakkan. Kiki merasakan sengatan panas di pinggangnya yang lagi-lagi menjadi korban cengkeraman Vina. "Udah diem, gapapa tau Vi. Pegangan begini, aman" Kiki mengalihkan pegangan tangan Vina yang semula di pinggangnya menjadi lebih melingkari perutnya. Tangan kirinya menangkup tangan dengan jari lentik itu, memeganginya memberi ketenangan bahwa mereka tidak akan terjatuh. Merasakan hangatnya telapak tangan Kiki membuat Vina beringsut menunduk. Meski tidak akan ada yang melihat pipinya yang bersemu merah tetapi rasanya Vina ingin bersembunyi. Semakin merapatkan tubuhnya pada punggung Kiki di depannya. "pake dua tangan Ki, nanti jatuh" ucap Vina separuh bergumam. "Aku lepas dua tangan pun ga bakal jatuh kok Na" "Kiki jangan coba-coba ya!" Dari rumah satu ke rumah yang lain Vina dan Kiki dengan penuh rasa senang membagikan bingkisan itu. Setelah rumah kesekian Vina jauh lebih santai berada diboncengannya. Sudah rileks tertawa mendengar celotehan Kiki tentang apa saja yang mereka temui di sepanjang jalan komplek mereka. "Peluk Vi!" "Hmm?" Vina sedikit melongokkan kepala ke depan. Kini mereka tinggal kembali ke rumah setelah selesai memberikan seluruh bingkisan. "Peluk" "Kamu minta upah peluk?" "Hahahhaha ga nganterin kamu aja aku selalu dapat peluk. Tangan kirimu mana?" Diangkatnya tangan kiri ke depan. Lalu Kiki meraih tangan Vina untuk ia lingkarkan ke pinggangnya. Dua tangan Vina merangkul tubuh Kiki. "Aku mau ngebut" "KIKIIIIIIIIIIIIII" Vina bersungut masuk rumahnya, meninggalkan Kiki dengan cengengesan mengembalikan sepeda ke garasi. Sebenarnya Vina ingin sekali mengadukan kelakuan Kiki ke mamanya. Tetapi dirinya tak mungkin berani. Jika hanya ada ibunya saja juga tidak mungkin Kiki akan kena omel. Ibunya tidak akan mengomeli anak orang lain. "Udah selesai ya Na?" "Udah tante" "Vina, Kiki diambilin sekalian dong minumnya! Dia lebih capek daripada kamu." perintah Ambar ke anak gadisnya yang baru saja membuat gelas yang selesai dia pakai minum berdenting terkena pinggiran wastafel. "Jangan marah kan ga kenapa-napa" bisik Kiki begitu Vina menyerahkan segelas air. Tetapi Vina hanya mendengus saja. "Saya sama Kiki pulang dulu ya jeng. Makasih loh bolunya." "Saya juga makasih udah dibantuin" "Oh iya jangan lupa pesanan saya ya jeng. Bahannya harus yang premium loh ya soalnya buat pejabat penting. Roti yang saya makan di rapat kader seluruh Indonesia di Bandung kemarin itu enak banget soalnya bahan-bahannya premium" "Iyaaa Bu Lina saya catat pesanannya" Sepulang Kiki dan mamanya, Ambar pun menumpahkan kekesalannya untuk ibu satu anak itu. Vina setia di dapur menjadi pendengar yang serba salah sembari ikutan membereskan dapur mereka. "Baru jadi kader partai aja sombong banget. Omongannya besar, harusnya kalau mau nyalon DPR ya paling engga yang merakyat gitu. Ini kok makin ga napak tanah. Tau gak kamu Na selama di sini si Lina ngomong apaan?" Mana Vina tahu jika dirinya tadi tidak berada di rumah. Tanpa menunggu jawaban anaknya, Ambar kembali mengomel. "Semua jenis rapat sama dia diceritain yang di Bandung lah, istana negara, hotel bintang sepuluh, segitiga bermuda, palung mariana, semuanya diceritain. Mana kayak ngremehin ibu yang berkutatnya sama oven dan loyang" Vina masih tidak menanggapi fokus mengumpulkan peralatan kotor ke wastafel. Ibunya yang tidak cocok dengan Mama Kiki sudah biasa baginya. Dalam batinnya bertanya apakah pilihan tepat menonton acara on the spot di tv bersama ibunya? karena sang ibu saat mengomel membawa-bawa pengetahuannya akan tempat-tempat penuh misteri itu. Sedangkan di tempat lain dimana Kiki dan mamanya baru memasuki rumahnya. Kiki mengumpulkan keberanian bertanya pada mamanya. "Mama tadi ngomongin apa sama Tante Ambar? Roti Premium?" "Iya. Mama pesen di bakerynya Ambar. Kamu inget kan roti yang mama bawa pulang dari Bandung waktu itu. Enak kan. Mama pengen kasih bingkisan roti premium buat petinggi partai makanya mama wanti-wanti ke Ambar. Biar bikinnya ga kayak roti biasa yang dia jual" "Kayaknya Tante Ambar jauh lebih tahu masalah roti deh ma. Jadi mama ga perlu ungkit cerita-cerita tadi" Sebenarnya Kiki merasa tidak nyaman dengan pembicaraan mamanya dan Ibunya Vina sebelum pulang tadi. Baginya cukup memberikan detail pesanan saja tanpa perlu ditambah dengan kalimat-kalimat yang disebutkan mamanya tadi. "Apa sih kamu?..." "...kamu ga suka mama ceritain pengalaman mama ke Ambar?" "Ga gitu ma" "Yaudah gausah protes! Emangnya mama mau ngobrolin apalagi kalau bukan kegiatan-kegiatan mama sama orang besar? Prestasi kamu? Nilai kamu?" "Ga mungkinlah jelas kalah. Ga ada yang bisa dibanggain." Kiki memejamkan mata menerima semua ucapan mamanya. Sampai kapanpun prestasi Kiki dan Vina memang tidak bisa dibandingkan. Sayangnya, sang mama selalu menganggap anaknya harus selalu bersaing dengan siapapun apalagi dibidang akademik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD