Part 4

1806 Words
Back to the present Detik, menit, jam, hari, bulan, hingga tahun, berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah hampir tiga tahun Fitri menyelesaikan sekolahnya di jenjang SMA. Saat ini, Fitri lebih banyak menghabiskan waktunya di pasar, untuk membantu Ibu dan Bapaknya berjualan. Saat lulus SMA kemarin, Bapak dan Ibunya sempat menawari Fitri beberapa kali untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu berkuliah. Tapi Fitri selalu berusaha untuk menolaknya secara halus, tanpa ingin kedua orang tuanya merasakan kecewa. Bukan bermaksud ingin menjadi anak pembangkang, yang tidak patuh kepada kedua orang tuanya, juga bukan bermaksud untuk menolak rezeki, atas sikapnya yang menolak dikuliahkan oleh kedua orang tua. Tapi Fitri pikir, sepertinya ia terlalu membebani dan menyusahkan kedua orang tuanya demi mewujudkan harapan dan cita-citanya. Sesuatu yang belum pasti akan berhasil Fitri gapai. Lagi pula Ibu dan Bapaknya sudah banyak berjuang untuknya selama ini, dan itu sudah sangat cukup bagi Fitri. Fitri pikir, kini saatnya ia yang harus banyak berjuang untuk membahagiakan kedua orang tuanya, membuat mereka berdua selalu tersenyum karenanya. Karena semua pengorbanan Bapak dan Ibunya selama ini sangat berjasa dan begitu berharga bagi Fitri. Perjuangkan dan pengorbanan yang tak akan pernah Fitri lupakan. Tentang harapan dan cita-cita, Fitri tak ingin terlalu memaksakan. Biarkan semua berjalan dengan sendirinya. Ia hanya bisa pasrah kepada takdir yang telah Allah gariskan untuknya, dan yakin bahwa takdir-Nya adalah yang terbaik. Sejak saat itu, hanya tiga kalimat yang selalu Fitri tekan kan dalam hatinya. Takdir Tuhan selalu indah. Takdirnya, tak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Dan kita sebagai seorang hamba, hanya harus selalu berusaha, berdoa, dan percaya kepada-Nya, Sang Penulis Skenario Terbaik. Kalimat ampuh dan ajaib yang selalu menenangkan hatinya di saat dirinya merasakan gundah gulana, kalimat yang selalu membuatnya tersenyum di saat dirinya berada dalam kesedihan, dan kalimat yang selalu membuatnya bangkit dan optimis di saat dirinya merasa terpuruk. Tring.. tring.. tring.. Bunyi tiga notifikasi w******p yang datang secara berturut-turut, membuat Fitri yang sedang menggoreng tempe di dapur, mengalihkan fokusnya. Terbukti dari gerakan tangannya yang sedang mengatur nyala api kompor agar lebih kecil dari sebelumnya. Fitri pun meraih ponselnya dengan segara, dan melihat siapa gerangan yang mengirimnya pesan w******p malam-malam begini. Ya, tadi Fitri sedang fokus memasak tempe, sebagai menu utama makan malamnya bersama Bapak, Ibu, dan kedua adiknya. Assalamualaikum, Fitri. Fit, besok jalan bareng yuk? Kita meet up, udah lama tau kita nggak pernah jalan bareng lagi. Mumpung aku lagi pulang kampung nih, aku lagi libur kuliah. Besok pagi aku jemput ke rumah kamu pokoknya. Nggak ada penolakan! Ternyata Vita yang mengiriminya pesan w******p. Sahabat terbaiknya sejak kelas sepuluh SMA. Gadis yang selalu tampil cantik dan anggun dengan pakaian dan aksesorisnya yang mewah dan berkelas. Ya, Vita bukan orang dari kalangan biasa seperti Fitri. Gadis cantik itu berasal dari keluarga berada, kalangan atas, anak dari seorang pengusaha terkenal di kampungnya. Awalnya Fitri pikir, Vita mendekatinya dan mengajaknya berteman baik karena ada sesuatu yang gadis cantik itu rencanakan untuknya. Memanfaatkannya, mempermainkannya, mempermalukannya, atau mungkin mencoba mengorek semua aibnya, kemudian menyebarkannya kepada mereka-mereka yang suka bergosip, membuat Fitri yang sudah terlalu sering mendapat ejekan, hinaan, pandangan rendah dari teman-temannya, merasa terpuruk dan putus asa. Tapi nyatanya tidak. Hampir lima tahun mereka berdua berteman baik bahkan bersahabat, Vita tak pernah menyakitinya, mengejeknya, atau pun mempermalukannya. Semua hal baik yang Vita lakukan selama ini untuknya penuh dengan ketulusan. Di saat kebanyakan orang kaya lebih memilih untuk berteman dekat dengan mereka-mereka yang berada dalam satu level, Vita justru lebih memilih berteman dekat dengan Fitri, gadis sederhana, anak dari sepasang pedagang pasar. Bukan hal langka memang, ketika orang kaya berteman dekat dengan orang miskin. Tapi tetap saja, bagi Fitri, hadirnya Vita dalam hidupnya, yang bisa menerimanya apa adanya, dan tanpa memandang jauhnya perbedaan status ekonomi di antara mereka, seperti sebuah anugerah yang Tuhan berikan untuknya. Fitri sangat-sangat bersyukur untuk itu. Ia berharap semoga pertemanannya dengan Vita, bisa kekal hingga keduanya sama-sama sudah menjadi nenek-nenek. Fitri tak ingin membuat sahabatnya terlalu lama menunggu balasan pesannya, ia pun segera mengetikkan jawabannya, dan menekan send untuk mengirimkan pesannya. Waalaikumussalam, Vit. Baiklah, mari kita bertemu. Aku pun sudah sangat rindu padamu. Kamu masih sama ya seperti dulu, pemaksa. Wkwk. Angka di jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, membuat Fitri menyudahi semua aktifitasnya. Kini saatnya ia tidur, mengistirahatkan tubuhnya, untuk menyambut hari esok yang ia harap lebih baik dari hari ini, dan hari-hari sebelumya. ********** Tepat pukul sembilan pagi, sebuah mobil mewah terparkir cantik di halaman rumah sederhana Fitri. Tak lama dari itu, sang pemilik mobil pun turun dengan menggunakan dress panjang, sepatu berhak 5 cm, juga tas cantik yang gadis itu selempangkan di pundaknya. Semua itu sangat pas di tubuhnya, membuat sang gadis yang memang sudah cantik, semakin terlihat lebih cantik. Tok.. Tok.. Tok.. "Assalamualaikum," ucap Vita, setelah mengetuk pintu rumah Fitri tiga kali "Waalaikumussalam." Jawaban salam terdengar jelas dari dalam rumah. "Vita? Ya ampun, aku kangen banget tau sama kamu," Fitri yang baru saja membuka pintu pun langsung memeluk tamunya yang ternyata adalah Vita. Sahabat yang sangat dirindukannya. Vita pun tak segan membalas pelukan Fitri, ia pun sama rindunya terhadap sahabatnya itu. "aku kira kamu datangnya agak siangan lho, Vit. Mau masuk ke dalam dulu, atau mau langsung jalan? Kebetulan aku udah siap nih," ucap Fitri setelah melepaskan pelukannya. "Aku juga kangen banget Fit, sama kamu. Udah lama ya kita nggak ketemu. Memang awalnya aku mau agak siangan datangnya, tapi bukannya datang lebih pagi membuat pertemuan kita semakin lama? Hehe. Kita jadi punya banyak waktu untuk saling bertukar cerita, iya kan?" Fitri mengangguk antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan Vita. "kalau kamu sudah siap, kita langsung berangkat aja ya." Vita langsung menarik tangan Fitri, menggandengnya menuju mobil, setelah gadis yang berpenampilan sederhana itu mengunci pintunya. Tadi Fitri seorang diri di rumah. Ibu dan Bapaknya berjualan di pasar, sedangkan kedua adiknya sedang bersekolah. Vita melajukan mobilnya ke arah kota. Selama perjalanan, mereka berdua asyik bernostalgia, mengenang masa putih abu-abu mereka yang penuh dengan cerita. Canda, tawa, sedih juga luka turut hadir dalam kisah mereka. Vita memarkirkan mobilnya di halaman cafe. Nuansa klasik tapi unik menyambut kedatangan mereka, saat keduanya memasuki cafe. Agar keduanya lebih bebas dalam bertukar cerita, Vita mengajak Fitri untuk duduk di pojokkan. Tempat yang lumayan sepi, dan lebih privat. "Tadi kan kita sudah bernostalgia nih, mengenang masa lalu, sekarang saatnya kita saling bertukar cerita tentang masa setelah SMA, hingga masa sekarang," ucap Vita membuka percakapan, seraya memilih makanan dan minuman yang akan mereka pesan. "Kalau aku sih nothing special Vit, gitu-gitu aja aktifitasnya setelah lulus SMA kemarin. Pasar-rumah, pasar-rumah aja palingan. Kamu nih pasti yang banyak ceritanya." "Permisi, mau pesen apa?" ucap seorang pelayan yang baru saja datang ke meja mereka dangan buku catatan di tangannya, menanyakan apa yang mereka pesan. "Saya pesan spaghetti Bolognese sama minumnya vanilla latte. Kamu mau pesan apa Fit?" ucap Vita menyebutkan pesanannya, kemudian menatap Fitri, menanyakan menu apa yang ingin Fitri pesan. "Emmm Ak---" "Pesan aja Fit, kamu mau menu apa? Aku yang traktir. Pesan sebanyak yang kamu mau. Asal diabisin ya, biar nggak mubazir, hehe," Vita memotong ucapan Fitri, ketika melihat gadis berpenampilan sederhana itu seperti kebingungan, kemudian menatapnya sambil tersenyum manis dan lembut. "Hehe, makasih ya, Vit. Aku spaghetti carbonara sama minumnya samain deh, vanilla latte." "Nggak mau pesen yang lain lagi?" "Itu aja udah makasih banyak lho, Vit. Lagian kalau banyak-banyak takutnya nggak kemakan, hehe. Udah mas, kita pesan itu aja." Mas pelayan pun pamit, setelah mencatat semua pesanan mereka. "Oh iya, tadi sampe mana kita ngobrol? Sampe cerita tentang aku ya?" Fitri mengangguk sebagai balasan. "Aku juga biasa aja Fit, nothing special. Temen juga nggak ada yang se-seru kamu. Kuliah, ya gitu-gutu aja. Tugas makalah bejibun bikin pusing kepala," ucap Vita, menceritakan pengalaman kuliahnya dengan wajah penuh ekspresi. "Hehe, gitu ya kalau kuliah. Tapi seharusnya kamu bersyukur Vit, bisa merasakan manis pahitnya bangku perkuliahan. Daripada aku?" Pelayan datang membawa pesanan mereka. Kedua gadis cantik itu pun mulai menikmati makanan dan minuman yang telah terhidang di meja, sambil kembali melanjutkan kegiatan mengobrol mereka. "Iya, ya. Oke, mulai sekarang aku akan selalu berusaha menikmati apa yang aku jalani." "Bagus itu. Apa pun aktifitas yang kita jalani, nikmatilah dengan penuh syukur. Karena masih banyak di luar sana yang tidak seberuntung kita." "Iya, Fit. Kamu benar. Ngomong-ngomong, kamu masih bercita-cita ingin menjadi artis, Fit?" tanya Vita, setelah meminum beberapa teguk vanilla latte-nya. "Seperti yang kamu tau, aku dari kecil udah pengen banget jadi artis Vit, jadi cita-cita itu tentunya masih ada sampai sekarang. Ya, meskipun sekarang-sekarang ini udah nggak terlalu berharap banget. Kalau kamu masih mau jadi pramugari, Vit?" "Wah, aku salut banget sih Fit, sama kamu. Bisa konsisten gitu cita-citanya. Aku aja berubah-ubah terus lho dari SD. Waktu SD aku bercita-cita ingin jadi guru, SMP aku bercita-cita ingin jadi dokter, terus SMA aku bercita-cita ingin jadi pramugari, haha. Kayaknya ujung-ujungnya juga ganti lagi deh, Fit. Udah nggak mungkin kayaknya kalau aku jadi pramugari. Lha sekarang aku kuliah ngambil jurusan manajemen bisnis, wkwk," ucap Vita yang diselingi dengan tawa renyahnya. Fitri pun tertular, karena ia pun kini tertawa juga mendengar penuturan Vita. "Oh iya, Fit. Soal cita-cita kamu ingin jadi artis, kenapa kamu nggak ikutan casting aja? Siapa tau itu bisa jadi jalan kamu untuk bisa jadi artis." "Casting? Kalau aku ikut casting aku bisa jadi artis, Vit? Tapi aku nggak ngerti harus gimana-gimananya." "Nggak juga sih, Fit. Tapi setidaknya membuka kemungkinan kamu buat bisa jadi artis. Coba deh kamu cari-cari informasi soal lowongan casting di sosial media, siapa tau ada yang menarik buat kamu." "Gitu ya, oke deh kalau begitu. Nanti sepulang dari sini aku bakal searching-searching soal lowongan casting di sosial media. Semoga aja ada yang menarik, dan bisa jadi jalan aku untuk mewujudkan cita-cita aku selama ini, yaitu menjadi seorang artis. Aamiin," Vita yang mendengar harapan Fitri pun, ikut mengaminkan harapan dan doanya. "Aamin." "Si Imel gimana kabarnya, Fit? Terakhir aku denger katanya dia mau lanjut kuliah juga di Jogja, satu universitas sama aku. Tapi perasaan selama hampir tiga tahun aku kuliah, nggak pernah ketemu deh sama Imel," Membahas soal cita-cita, Vita jadi teringat Imel. Salah satu temannya sejak SMP hingga SMA, yang tak pernah lelah mencari masalah dengan Fitri. "Dia nggak jadi kuliah, Vit. Beberapa minggu sejak kita lulus SMA, Imel ketahuan minum-minum sama orang tuanya. Karena kecewa, orang tua Imel memasukkan Imel ke pesantren sebagai hukuman, agar Imel bisa bertaubat, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi." "Seriously, Fit? Nggak nyangka sih aku dia bisa sebebas itu pergaulannya. Rasain, sombong sih jadi orang, ketahuan kan sekarang buruknya, wkwkwk." "Hush, nggak boleh gitu jadi orang. Sebagai teman kita harusnya doain dia, semoga dengan dia masuk pesantren, dia bisa berubah jadi lebih baik, bukan malah ngata-ngatain." "Hehe, iya-iya. Tadi aku khilaf, Fit." Tak ada lagi perbincangan serius setelah itu, keduanya kembali asyik menikmati makanan dan minuman mereka, sambil diiringi alunan musik yang baru saja dimainkan oleh sekelompok anak band, yang ditugaskan oleh sang pemilik cafe untuk menghibur para pengunjung cafenya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD