Part 3

1892 Words
Minggu, 17 Juli 2015 Berhubung hari ini adalah hari Minggu, Fitri dan kedua adiknya lebih memilih untuk menghabiskan hari libur mereka di pasar, membantu Ibu dan Bapaknya berjualan, daripada menghabiskan waktu mereka untuk bermain bersama teman-teman. Bukan berarti mereka bertiga tidak mempunyai teman atau mungkin anti sosial. Tapi hari Minggu, suasana pasar lebih ramai dari hari-hari biasa, tentunya membantu sang Ibu dan Bapaknya berjualan adalah hal yang sangat Ibu dan Bapaknya butuhkan, meski mereka berdua tidak meminta secara langsung kepada anak-anaknya. Tapi Fitri, sebagai anak pasti tidak tega melihat Ibu dan Bapaknya harus pulang dalam keadaan kelelahan. Setidaknya, jika Fitri dan kedua adiknya bisa menemani Ibu dan Bapaknya di pasar pada hari Minggu, Ibu dan Bapaknya tidak akan terlalu capek saat pulang, mengingat ramainya pengunjung pasar pada hari libur. Ibu dan Bapak Fitri sudah berjualan di pasar sejak Fitri masih berusia empat tahun. Oleh sebab itu, Fitri sangat akrab dengan Kakeknya, karena beliau lah yang sering menemani Fitri, di saat Ibu dan Bapaknya berjualan di Pasar. "Kangkungnya masih ada, Neng?" tanya seorang Ibu, sambil melihat-lihat dagangan Fitri yang lain. "Tinggal dua ikat lagi, Bu." "Boleh deh, Neng. Saya beli semuanya ya, sama tempenya dua papan. Terus bawang merah, bawang putih, sama cabe merahnya setengah kilo." "Baik, Bu. Saya bungkus dulu ya," ucap Fitri senang, dengan senyumnya yang mengembang, kemudian mengambil apa saja yang Ibu itu pesan, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik berwarna hitam. "Semuanya jadi berapa, Neng?” "Empat puluh lima ribu, Bu," ucap Fitri seraya memberikan belanjaannya kepada Ibu itu, dan menerima uang yang diberikan, ketika Ibu itu berkata."ini, Neng, uangnya." Jam sembilan pagi, pasar sedang ramai-ramainya. Banyak orang yang berlalu lalang, mencari apa saja yang mereka butuhkan. Terkadang, apa saja yang mereka lihat, mereka beli, tanpa memikirkan apakah itu adalah yang mereka butuhkan, atau hanya sekedar keinginan. Kalau kata Kakeknya Fitri, lebih baik jangan ke pasar jika kita tidak memiliki banyak uang, dan tidak dapat mengontrol diri. Bukan apa, pasar itu tempatnya banyak godaan. Niat awal hanya ingin membeli sepatu, ujung-ujungnya ketika melihat ada tas bagus, rasanya ingin dibeli. Lihat baju yang lucu dan bagus, karena tak ingin kehabisan dan ketinggalan tren, akhirnya dibeli. Dari yang niatnya hanya ingin membeli satu barang, bisa jadi banyak hanya karena tergoda. "Harus kuat iman kalau ke pasar," kata Ibu-Ibu zaman sekarang. Pembeli yang ramai membuat Fitri, Ibu, Bapak, dan kedua adiknya harus berbagi tugas. Fitri dan Ayu, bertugas melayani pembeli secara langsung. Sang Bapak dan Dion, menyediakan sayuran, dan yang lainnya yang pembeli pesan, juga sang Ibu yang mengurus keluar masuknya uang. "Lo lebih cocok jadi pedagang pasar tau, Fit, ketimbang jadi artis. Sepadan soalnya sama muka, Lo. Lecek dan kumel. Lo pasti tau kan kalau mau jadi artis harus kayak gimana? Punya penampilan bagus, dan wajah yang terawat. Lah, Lo? Masih jauh Fit dari kata-kata itu," celetuk seseorang ketika Fitri sedang fokus melayani pembeli. "Imel? Terima kasih atas pujiannya. Kamu mau beli apa?" ucap Fitri lembut, seraya tersenyum samar mendengar entah pujian atau hinaan dari Imel. "Ck, lo ngerasa dipuji sama omongan gue barusan? Haha. Dasar cewek aneh!" ucap Imel sambil menatap Fitri tajam, seakan ia adalah elang, dan Fitri adalah hewan buruannya. "Apa sih salah aku sama Imel? Sampai sebegitu bencinya Imel sama aku," ucap Fitri dalam hati, sambil membalas tatapan tajam Imel, dengan tatapan yang lebih lembut lagi dari biasanya, berharap perempuan yang hobi nyinyir itu bisa ikut melembutkan tatapannya. "Gue sebenernya nggak mau sih pergi ke pasar, apalagi beli dagangan lo. Gue ke sini terpaksa, karena Ibu gue yang nyuruh. Kalau nggak disuruh mah ogah gue. Buang-buang waktu, apalagi ketemu lo lagi lo lagi, males!" celoteh Imel, menyuarakan kekesalan dan ketidaksukaannya kepada Fitri. Fitri yang mendengar celotehan Imel itu pun tersenyum manis. "Kalau males ketemu aku, kenapa kamu beli di tempat aku jualan? Yang jualan sayuran seperti orang tuaku kan banyak, bukan di sini aja." "Udah, deh. Lo nggak harus tau apa alasannya. Mending sekarang lo siapin apa aja yang gue beli. Bawang merah setengah kilo, bawang putih seperempat kilo, sama cabe keritingnya satu kilo," jawab Imel ketus, sambil menatap Fitri garang. Tak ingin membuat Imel makin marah, Fitri pun segera beranjak untuk memasukkan apa saja yang Imel pesan ke dalam kantong plastik berwarna hitam. "Nih, Mel, belanjaan kamu." Tak sampai sepuluh menit, Fitri pun sudah selesai menyiapkan semua pesanan Imel. "Nih uangnya, kembaliannya buat lo aja," ucap Imel ketus, sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribu kepada Fitri, kemudian langsung berbalik dan berjalan cepat menjauhi tempat Fitri berjualan. "Jahat banget sih, Teh, temen Teteh itu. Mulutnya itu lho kayak yang gak pernah disekolahin, pedes banget kayak cabe," ucap sebal Ayu, sambil terus menatap punggung Imel, yang sudah jauh berjalan menjauhi tempat dagang mereka. "Nggak boleh ngomong gitu ah, Dek. Teteh yakin sebenernya dia orang yang baik kok, buktinya ngasih sisa kembaliannya buat kita. Iya kan?" "Nggak, ah. Tetep aja jahat kalau mulut pedasnya itu malah bikin sakit hati orang." "Nggak baik ah ngomongin orang dari belakang. Yuk lanjut lagi kerjanya." Mereka berdua pun kembali fokus terhadap tugasnya, hingga tak terasa awan yang tadinya berwarna biru cerah, kini sudah berganti warna. Menandakan bahwa hari sudah mulai gelap. Saking asyiknya ia berjualan di pasar, membantu Bapak dan Ibunya melayani pembeli, Fitri jadi lupa bahwa hari esok adalah hari pertamanya masuk sekolah dengan menggunakan seragam sekolah berwarna putih abu-abu. Ya, Fitri melanjutkan kegiatan belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah menengah atas atau yang biasa kita kenal dengan sebuatan SMA. Seperti sebelumnya, Fitri sudah berkali-kali mengatakan keikhlasannya untuk tidak melanjutkan sekolah, demi meringankan beban Ibu dan Bapaknya. Tapi tetap saja, kedua orang tuanya tetap keukeuh dengan pendirian mereka. Memaksa Fitri agar terus melanjutkan sekolahnya, ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kembali lagi mereka lebih rela berusaha lebih keras lagi dalam mencari pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk biaya sekolah anak-anak mereka yang semakin bertambah tahun, semakin banyak kebutuhannya dan semakin mahal harga-harganya, daripada merelakan Fitri, anak sulung mereka untuk putus sekolah dan membantu mereka mencari rupiah. Semua ini membuat Fitri merenung, bahwa kata mutiara yang berbunyi kasih sayang orang tua kepada anaknya sepanjang masa, benar adanya. Tak peduli mereka harus bekerja banting tulang setiap hari, rela kepanasan dan kehujanan demi tetap mencari nafkah, bahkan rela menahan lapar demi anaknya bisa makan karena terbatasnya makanan yang tersedia, dan perjuangan lainnya yang mereka lakukan demi anak-anaknya agar tetap bisa tersenyum bahagia, menyadarkan Fitri agar ia harus selalu patuh, dan hormat kepada kedua orangtuanya, juga agar selalu mendoakan yang terbaik untuk kebaikan mereka. Mereka yang telah merawat, mendidik, juga menyayanginya sedari kecil, hingga ia bisa sebesar ini. Ketika tahun ajaran baru menjadi ajang anak sekolah untuk mengganti semua perlengkapan mereka, dengan barang-barang yang baru dan tentunya lebih bagus, Fitri lebih memaknainya dengan memperbaharui niat, dan semangatnya dalam menuntut ilmu. Meski tak ada tas baru, dan sepatu baru, semangatnya harus tetap tinggi, demi bisa meraih semua cita-citanya. Menjadi orang pintar dan dapat menggapai semua angannya. Dan yang lebih utama, demi membahagiakan Ibu dan Bapaknya, orang yang paling berjasa dalam hidup Fitri. Tak ingin esok hari bangun kesiangan, setelah makan malam dan membantu sang Ibu membereskan rumah, Fitri segara melangkahkan kakinya ke tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya, berharap esok pagi nanti tubuhnya sudah kembali fit dan fresh, siap untuk menyambut hari pertamanya di bangku SMA. ********** Sang bulan telah bertukar tugas dengan sang matahari. Cahaya malam yang gelap dan menenangkan telah berganti dengan cahaya pagi yang cerah dan menyejukkan. Fitri mengucap syukur, ketika rasa pegal-pegal yang dirasakannya sejak semalam karena lelah seharian berjualan di pasar, akhirnya hilang setelah bangun tidur. Ternyata tidur se-ampuh itu bagi seorang Fitri Safitri. Tak ingin membuang-buang waktu, setelah Fitri merapikan tempat tidurnya, ia pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian turun membantu Ibunya memasak di dapur. Menu makan hari ini sedikit berbeda. Pagi tadi sebelum subuh, Kakeknya datang membawa setengah kilo ayam sayur untuk menu sarapan Fitri dan keluarga. Saat ditanya dalam rangka apa, sang Kakek hanya menjawab. "Syukuran untuk cucu kesayangan Kakek karena bisa lanjut SMA." Kakeknya memang paling bisa menyenangkan hati Fitri. Padahal Fitri tahu, perekonomian sang Kakek pun tidak jauh berbeda dengan perekonomian keluarganya. Sarapan pagi dengan menu mewah membuat semangat Fitri semakin bertambah. Setelah memberi selembar uang tiga ribuan kepada pak supir, Fitri melangkahkan kakinya menuju sekolah barunya untuk menimba ilmu, kemudian mencari ruang kelasnya dengan petunjuk plang bertuliskan nama-nama kelas beserta tingkatannya. Bel jam pelajaran pertama pun berbunyi tak lama setelah Fitri memasuki ruang kelasnya. Seperti biasa, tempat duduk yang ia pilih adalah di deretan bangku paling belakang, deretan tempat duduk favoritnya sejak sekolah dasar. "Selamat pag,i Anak-anak," sapa Ibu guru ketika memasuki ruang kelasnya. "Selamat pagi, Bu guru," jawab murid-murid kompak. "Perkenalkan nama Ibu, Ibu Isel. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia." "Berhubung hari ini adalah pertemuan pertama kita, jadi kita saling mengenal dulu saja ya. Kita akan memulai materi baru di pertemuan selanjutnya," ucap Ibu guru yang disambut riuh para murid yang senang mengetahui hari ini mereka tidak belajar. "Karena kalian sekarang sudah duduk di bangku SMA, Ibu harap kalian semua sudah memiliki harapan dan cita-cita yang matang. Oleh karena itu sekarang Ibu ingin tahu sepuluh tahun kedepan kalian ingin menjadi apa. Ketika Ibu menyebutkan salah satu nama kalian, yang tersebut namanya maju ke depan, kemudian menceritakan apa saja harapan dan cita-cita kalian sepuluh tahun kedepan." Seperti yang Ibu guru sampaikan tadi, satu per satu murid di ruang kelas mulai disebut namanya untuk maju dan berdiri di depan teman-temannya. Hingga nama Fitri pun disebut. "Fitri Safitri." Seperti de javu, Fitri melangkahkan kakinya ke depan kelas dengan tangannya yang tak berhenti bergetar, juga wajahnya yang sedikit pucat karena gugup. "Perkenalkan, nama saya Fitri Safitri. Sepuluh tahun kedepan saya berharap bisa menjadi seorang artis terkenal, tampil di berbagai layar kaca, dikenal oleh banyak orang karena prestasi, bukan sensasi. Punya banyak uang, bisa membahagiakan juga membanggakan kedua orangtua. Saya juga berharap bisa menjadi orang kaya yang pandai bersyukur dan ringan tangan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, bukan orang kaya yang kufur dan menyombongkan kekayaan yang sejatinya hanya sebuah titipan, serta seenaknya menindas orang tak punya." "Lo nyindir gue?" cicit seseorang yang tiba-tiba berdiri dari kursinya kemudian menatap Fitri nyalang. "Maaf?" "Iya. Lo tadi nyebut-nyebut nggak mau jadi orang kaya yang sombong dan suka se-enaknya nindas orang, nyindir gue maksudnya, kan? Karena gue suka nindas lo dari dulu?" ucap seseorang itu, yang kini membuat suasana kelas menjadi sangat tegang. "Mel, aku gak maksud nyindir siapa-siapa kok. Aku cuma menceritakan harapan aku sepuluh tahun kedepan. Sumpah, nggak ada niatan buat nyindir siapa pun." Ya, seseorang itu adalah Imel. Gadis berambut pirang yang tak pernah lelah mencari masalah dengan Fitri. Entah kebetulan atau apa, gadis itu kembali satu sekolah, bahkan satu kelas dengan Fitri. "Halah, jangan banyak alasan lo. Dengar gue baik-baik ya, Lo—" Tangan Imel menunjuk ke arah Fitri. "nggak akan berhasil jadi artis." "Imel, cukup! Kamu sudah keterlaluan. Sekarang kamu keluar, lalu berdiri di tengah lapangan," ucap Ibu guru yang terlihat penuh amarah itu. "Tapi, Bu. Saya nggak salah." "Dari tadi saya perhatikan kamu sudah salah sejak awal, Imel. Kamu yang terlalu sensitif mendengar harapan dan cita-cita Fitri. Saya yakin Fitri tidak berniat untuk menyindir siapa pun tadi. Mungkin kamu yang memang kenyataannya seperti itu merasa tersindir ketika mendengarnya. Sekarang keluar!" Imel yang sudah tak kuat menahan malu karena menjadi tontonan gratis, mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Tak lupa saat pandangan matanya bertemu dengan Fitri, mulutnya bergumam pelan. "Awal lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD