Part 2

1518 Words
Senin, 5 Juli 2012 Remaja cantik yang kini berusia dua belas tahun, tersenyum manis ketika membuka matanya di pagi hari. Ia tak menyangka, hari ini merupakan bulan keduanya ia bersekolah menggunakan seragam sekolah menengah pertama, atau yang biasa disingkat menjadi SMP. Seperti mimpi rasanya kalau Fitri pikir-pikir. Pasalnya perekonomian keluarganya tak sebagus dan selancar perekonomian kelurga teman-temannya yang lain. Ada sih beberapa temannya yang bernasib sama dengan Fitri, tapi itu pun masih bisa dihitung jari, lima orang kalau Fitri tidak salah ingat, karena mayoritas teman-teman sekolah dasarnya, berasal dari kalangan menengah ke atas, sedangkan Fitri dan beberapa temannya yang lain, berasal dari kalangan menengah ke bawah. Fitri pikir, setelah lulus sekolah dasar kemarin, Bapak dan Ibunya akan menyuruhnya untuk membantu mereka berjualan di pasar. Pasalnya selain harus memikirkan biaya agar Fitri bisa belajar di SMP, Bapak dan Ibunya juga memiliki dua tanggungan lain yang harus mereka pikirkan, karena kini dua anaknya yang lain sudah mulai belajar di sekolah dasar. Dion, saudara laki-laki Fitri yang kini sudah berusia sepuluh tahun, dan sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar yang sama dengannya dulu, berada di kelas lima, juga Ayu, saudari perempuan Fitri yang kini sudah berusia delapan tahun, dan sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar yang sama dengan Dion, berada di kelas tiga. Semua kenyataan itu membuat Fitri harus pasrah akan nasib pendidikannya, karena pasti Ibu dan Bapaknya sedang membutuhkan banyak dana saat ini, dan ia harus rela mengorbankan cita-citanya untuk melanjutkan belajarnya di jenjang SMP, demi kedua adiknya yang masih belajar di sekolah dasar. Memang Fitri dan kedua adiknya bersekolah di sekolah negeri, yang tentunya terbebas dari biaya SPP, tidak seperti di sekolah swasta yang biaya SPP-nya saja sebanding dengan biaya makan Fitri dan keluarganya selama sebulan, bahkan mungkin lebih saking mahalnya biaya SPP sekolah swasta. Tapi tetap saja yang namanya kebutuhan belajar itu tidak sedikit, ada buku tulis, pensil, pulpen, terkadang juga harus memfotokopi buku dan juga iuran kas kelas perbulannya, belum lagi kalau tas dan sepatu mereka yang mulai tak layak untuk dipakai, semua itu pasti membutuhkan banyak biaya, dan tentunya bukan hal yang mudah dan sepele bagi Fitri dan keluarganya. Semua fakta ini membuat Fitri menjadi bimbang dan merasa serba salah, antara melanjutkan sekolah, atau putus sekolah. Tapi ternyata apa yang ia pikirkan selama ini salah, Ibu dan Bapaknya justru tidak rela jika Fitri harus putus sekolah hanya karena masalah biaya. Mereka lebih rela harus berusaha lebih keras lagi dalam mencari pundi-pundi rupiah uang untuk membiayai kehidupan mereka, juga biaya kebutuhan anak-anaknya sekolah, ketimbang merelakan anak sulung mereka untuk putus sekolah dan membantu mereka berjualan di pasar. Setelah merapikan tempat tidurnya, dan menjalankan kewajibannya menunaikan ibadah shalat subuh, Fitri melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membantu sang Ibu menyiapkan sarapan pagi. "Pagi, Ibu Imelda yang kecantikannya tak pernah pudar, meski kini sudah berkepala empat," sapa Fitri, ketika ia sudah mendapati sang Ibu di dapur, sedang fokus menggoreng sesuatu di wajan. "Pagi, Nak. Kamu lagi muji atau lagi apa nih? Awalnya bikin Ibu senang dipuji punya kecantikan yang tak pernah pudar, ujung-ujungnya ngingetin Ibu, kalau ternyata Ibu sudah mulai tua," ucap sang Ibu, sambil mencubit pipi Fitri saking gemasnya. "Fitri beneran muji dong, Bu, hehe. Pagi ini kita sarapan sama apa nih, Bu? Fitri bantu yaa," ucap Fitri, sambil menggerakkan tangannya, memetik daun dan batang kangkung. "Nggak banyak, Nak, cuma tumis kangkung dan ikan asin goring," ucap Ibu Imelda, sambil mengangkat ikan asin goreng dari wajan. "Segitu udah banyak kok, Bu, apalagi masakan Ibu pasti enak, apa pun yang Ibu masak, pasti Fitri,Bapak, juga Adik-Adik makan dengan lahap dan senang hati." "Kamu paling bisa ya, Nak, kalo soal memberi pujian. Udah sana, sekarang kamu bawa nasi sama ikan asin ini ke meja makan, nanti Ibu nyusul bawa tumis kangkungnya," ucap Ibu Imelda, kemudian meminta Fitri untuk membawa masakan yang sudah jadi ke meja makan, karena di sana Bapak dan kedua Adiknya sudah berkumpul di kursinya masing-masing, tak sabar menikmati hasil masakan sang chef kebanggaan mereka, yaitu Ibunya Fitri. Meski mereka hanya sarapan dengan nasi, ikan asin, dan tumis kangkung, mereka sudah merasakan bahagia yang luar biasa, karena bagi mereka ikan asin dan tumis kangkung adalah makanan mewah. Ayam, daging kambing, daging sapi, dan makanan yang tak asing bagi kalangan berada, merupakan makanan yang sangat langka di meja makan Fitri dan keluarganya. Kalau dihitung-hitung mungkin hanya sekali dua kali mereka menikmati makanan super mewah itu, seperti daging kambing dan daging sapi yang mereka rasakan ketika hari raya kurban, dan daging ayam yang mereka beli sesekali, ketika akan menyambut hari raya idul fitri, jika uang yang mereka miliki berlebih. Setelah menghabiskan masakan sang Ibu yang langsung habis dalam sekejap mata, saking enaknya, Fitri dan kedua adiknya pergi ke kamar mereka, untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Lokasi sekolah Fitri yang berbeda dan tentunya lebih jauh dari kedua adiknya, ditambah lagi angkutan umum yang biasa ia naiki terbilang sangat jarang melewati jalan raya yang tak jauh dari rumahnya, membuat Fitri harus bersiap-siap dan berangkat sekolah lebih pagi dan lebih cepat dari kedua adiknya. "Bapak, Ibu, Fitri berangkat dulu ya, keburu angkutan umumnya lewat, nanti Fitri telat nyampe sekolahnya kalau sampai ketinggalan angkutan umumnya," pamit Fitri, kemudian menyalami kedua orang tuanya. "Iya, Nak. Hati-hati di jalan ya." "Assalamu’alaikum, Pak, Bu." "Wa’alaikumussalam, Nak." ********** Syukurlah, Fitri tidak ketinggalan angkutan umum yang biasa ia naiki, karena ia akhirnya sampai di sekolah sebelum bel tanda jam pertama dimulai berbunyi. Terbukti dari masih banyaknya teman-teman juga kakak-kakak kelasnya yang masih berkeliaran di halaman sekolah. Tempat duduk favorit Fitri adalah di pojok kanan, barisan bangku paling depan. Tepat saat ia mendudukkan dirinya di tempat duduk favoritnya itu, bel tanda masuk pun berbunyi dan tak lama dari itu, sang guru pun masuk ke ruang kelasnya. "Selamat pagi, Anak-anak.." sapa Bu Peni, sang guru mata pelajaran bahasa Indonesia kelas tujuh SMP Negeri 1 Kerta Jaya itu, kepada murid-muridnya. "Selamat pagi, Bu.." "Materi kali ini, Ibu akan membahas tentang cita-cita. Menurut kalian apa sih arti cita-cita itu? Dan seberapa penting arti cita-cita bagi hidup kalian? Ada yang ingin memberikan pendapatnya?" tanya Bu Peni, sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, menatap murid-muridnya yang duduk rapi menghadap ke arahnya. "Saya, Bu guru.." Salah satu murid mengangkat tangannya, berniat mengutarakan pendapatnya. "Iya Joni, silakan. Apa pendapat kamu?" "Menurut saya cita-cita adalah sebuah impian yang sangat ingin kita wujudkan, dan menurut saya cita-cita itu sangat penting, karena cita-cita dapat membuat seseorang lebih bersemangat dalam menjalani sesuatu, agar apa yang kita inginkan dapat kita dapatkan." "Betul sekali, Joni. Anak-anak, seperti apa yang Joni tadi sampaikan, cita-cita merupakan sebuah keinginan, impian, dan harapan yang sangat ingin kita gapai dan wujudkan. Tentang seberapa penting cita-cita itu? Tentu cita-cita sangat penting keberadaannya, agar kita lebih semangat dalam menjalani hidup, dan agar hidup kita lebih terarah dan mempunyai tujuan yang jelas. Seperti kalian duduk di sini, pasti kalian bercita-cita ingin menjadi orang yang pintar, kan? Nah, dengan adanya cita-cita itu kalian jadi tahu apa yang harus kalian lakukan, agar kalian bisa manjadi orang yang pintar, dengan bersekolah dan belajar yang rajin misalnya. Jadi kalian lebih terarah dengan adanya cita-cita. Sekarang semuanya paham?" tanya Bu Peni, sambil menatap serius wajah muridnya satu per satu. "Paham, Bu guru.." ucap murid-murid kompak. "Syukurlah kalau begitu, sekarang Ibu ingin tahu apa cita-cita kalian, dan alasan kenapa kalian memilih cita-cita itu." Setelah itu, sang guru bahasa Indonesia yang terkenal dengan ketegasannya itu, memanggil satu per satu muridnya, untuk maju ke depan kelas, menjelaskan cita-cita mereka dan alasan kenapa mereka memilih cita-citanya. Dan tibalah Fitri, remaja yang kini duduk di bangkunya dengan tangan gemetar karena gugup, mendapat giliran untuk maju ke depan kelas. Sebelum berbicara di hadapan semua teman-temannya juga sang Ibu guru, Fitri menghembuskan nafasnya berkali-kali, kemudian memulai berbicara. "Saya bercita-cita ingin menjadi artis terkenal. Alasannya karena saya ingin di kenal oleh banyak orang, dan mempunyai banyak uang. Saya berasal dari keluarga sederhana, jadi saya ingin mengubah nasib keluarga,membahagiakan mereka,dan tentunya saya ingin mengangkat derajat keluarga saya." Fitri mengakhiri perkataannya, kemudian menghela nafas lega, akhirnya ia bisa menjelaskan cita-cita dan alasannya dengan lancar. "Wah, mulia sekali alasan kamu, Fitri," puji Ibu Peni, yang kagum dan bangga mendengar alasan di balik cita-cita yang Fitri pilih. "Mulia apanya sih, Bu? Jadi artis kok mulia, yang mulia itu jadi guru, dokter, pendakwah, baru mulia. Artis kan biasanya cuma cari sensasi biar terus terkenal" ucapan nyinyir terdengar dari mulut seorang murid yang cantik dengan rambut panjangnya yang berwarna pirang. "Jangan asal bicara kamu, Mel, semua pekerjaan yang di dapat dengan cara yang halal dan mempunyai tujuan baik juga termasuk pekerjaan mulia. Bukan hanya dokter, guru, dan pendakwah. Pedagang, penulis, petani bahkan artis pun jika cara bekerjanya halal, dan dipakai untuk tujuan baik juga termasuk pekerjaan yang mulia. Dan lagi, tidak semua artis yang terkenal itu didapat dengan cara mencari sensasi lho, mungkin ada, tapi tidak sedikit juga mereka bisa terkenal karena prestasi yang mereka dapatkan. Banyak lho. Kamu aja kali yang salah lihat berita," Bu Peni berusaha untuk memberikan penjelasan terbaiknya kepada murid-muridnya yang menatapnya dengan penuh keseriusan dan keingintahuan. Mereka yang mendengarkan penjelasannya pun mulai menyoraki Imel "huhh, makanya jangan julid jadi orang, jadi malu sendiri kan? Hahaha." "Sudah, sudah. Kita lanjutkan ya penjelasan cita-cita dari yang lain."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD