Housemates With The Boss - 09

1074 Words
“Hah … masa iya seperti itu?” Aqina juga terheran-heran mendengar cerita Eilish. “Iya, Na … suasana kantornya malahan seperti gedung berhantu! Aku jadi kayak patah semangat, nih … dan cara penerimaannya pun aneh banget.” cerita Eilish. Aqina geleng-geleng kepala. “Terus gimana rencana kamu?” Eilish menggaruk-garuk kepala. “Makanya … aku jadi bingung, kan. Awalnya aku udah ekspektasi tinggi banget sama perusahaan itu. Karena emang perusahaannya terkenal baik secara nasional maupun global. Katanya sih, dia meruoakan kantor cabang pusat. Tapi aku masih belum yakin. Semua yang ada di sana benar-benar membuat aku ngerasa ragu dan cemas.” “Tapi, kamu tadi ngomong belum tanda tangan kontrak, kan?” “Belum. Hari senin nanti … soalnya pas aku dateng kemarin itu pimpinan dan bagian HRD kayaknya nggak ada di tempat. Bener-bener sepi. Pokoknya situasinya bener-bener ganjil. Pake acara sambungan telepon diputus lagi. Karena belum bayar. ” “Kok, aku juga jadi ikutan cemas, ya,” desis Aqina. Eilish mengembuskan napas pasrah. Saat ini mereka berdua tengah duduk bersila di kamar Aqina dengan masker wajah warna hijau yang sudah mengering di wajah keduanya. Obrolan itu pun ditemani dengan beberapa bungkus cemilan berupa ciki dan keripik yang dilengkapi dengan minuman coca cola dengan botol kemasan dua liter yang sekarang hanya tersisa separuh saja. “Mana Evan sibuk banget akhir-akhir ini,” ucap Eilish dengan wajah murung. Aqina menepuk pundak Eilish pelan. “Sabar ya … mungkin ini ujian karena kamu akan menempuh kehidupan yang baru. Kalo saran aku, sih … hari senin itu kamu dateg aja dan lihat situasinya. Nah, kalo sekiranya emang kamu nggak yakin atau nggak percaya … ya sudah … kamu tinggal cancel aja dan nanti cari pekerjaan lain.” Eilish menganggukkan kepala. “Iya. Kamu bener … aku akan mencobanya dulu.” Ditengah-tengah obrolan itu, tiba-tiba handphone milik Eilish berdering dan ternyata itu adalah panggilan dari Evan. Sontak Eilish langsung membelalak kaget dan mengangkat panggilan itu cepat-cepat. “H-halo ….” sapa Eilish. “Halo … kamu di mana?” tanya Evan. “Aku ada di kost-annya Aqina.” “Aku di luar, nih.” Ucapan itu membuat Eilish langsung pontang panting keluar kamar. Dia juga menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Di depan gerbang terlihat sosok Evan yang sangat tampan dalam balutan baju kemeja warna ungu pudar, celana levis hitam yang sedikit ketat dan gaya rambut klimis yang rapi dan tampak mengkilat. Eilish segera berlari menyusul Evan. Sungguh lelaki itu kini terlihat seperti sosok yang sangat berbeda. Aroma parfumnya yang wangi bahkan langsung memenuhi rongga hidung Eilish. “Wow!” Eilish berseru kaget sambil meneliti penampilan Evan dari ujung kaki hingga kepala. Penampilannya terlihat seperti CEO muda yang sering Eilish lihat di drama Korea Selatan. “A-ada apa? Kenapa kamu ngelihat aku seperti itu?” tanya Evan. Eilish langsung menggeleng dan tersenyum. “Ah, nggak ada apa-apa kok. Aku cuma sedikit kaget aja sama penampilan kamu sekarang.” Evan tersenyum. “Hmmm … kenapa? Aku nggak cocok ya, dengan gaya seperti ini?” “Nggak kok! Kamu cocok banget malah!” Evan tersenyum. “Maaf ya, tiga hari belakangan aku sibuk banget. Perusahaan aku sedang membuka outlet baru yang cukup banyak di Jakarta Utara, jadi aku sendiri yang terjun untuk memantau persiapan openingnya.” Eilish hanya tersenyum tipis. “Aku ngerti, kok.” tatapannya kemudian beralih pada mobil Pajero warna hitam di belakang Evan. “Ini mobil siapa?” Evan meneguk ludah. Bola matanya berputar pelan memikirkan jawaban. “Oh … I-ini mobil atasan aku.” “Terus kenapa kamu bawa mobil ini?” Eilish menyipitkan matanya. “Apa jangan-jangan kamu sengaja pinjem mobil ini buat bawa aku jalan-jalan?” Deg. Evan langsung melotot. Sementara Eilish kini tersenyum malu. “Ih … kamu ih … so sweet banget.” Hening. Evan tidak merespon apa-apa dan malah tersenyum canggung. Senyum Eilish pun perlahan memudar menyadari hal itu. Sedangkan Evan masih saja terlihat gugup dan salah tingkah. “A-aku salah, ya?” tanya Eilish. Evan mengangkat wajahnya menatap Eilish. “Maafin aku.” Glek. Eilish menelan ludah. Guratan kecewa itu terlihat jelas di wajahnya, tapi Eilish memaksa bibirnya kembali tersenyum dan berusaha menyembunyikan perasaan itu. “Nggak apa-apa, kok. Oh iya … terus gimana nih? Apa kamu mau masuk dulu? Boleh bawa temen cowok, kok … asalkan lapor dulu dan nanti pintu kamarnya dibuka aja,” tukas Eilish lagi. Evan lagi-lagi terdiam. “Eilish mengembuskan napas panjang. Kali ini dia bahkan tidak sanggup lagi untuk sekedar memasang wajah baik-baik saja.” “Maafin aku … tapi aku masih ada urusan.” “Aku mengerti,” jawab Eilish lirih. “Nanti pasti akan ada waktu untuk kita berdua bersenang-senang. Aku harap kamu mengerti dengan kondisi dan keadaannya.” “Iya. Aku mengerti kok dan aku akan selalu sabar menunggu waktu itu datang,” jawab Eilish. Evan membuka pintu mobil, lalu kemudian mengambil sebuah bingkisan berwarna merah muda di sana. “Ini untuk kamu!” Eilish hanya tersenyum. “Apa ini?” “Nanti buka aja!” “Jadi kamu yakin nih, nggak mau singgah dulu?” tawar Eilish lagi. “Lain kali, deh!” Evan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu kembali menatap Eilish. “Aku harus pergi sekarang.” Eilish tidak menjawab. Dia maju beberapa langkah hingga sangat dekat dengan Evan meraih ujung kemeja lelaki itu, lalu meremasnya pelan. Eilish tertunduk dengan wajah tertunduk. Melihat hal itu Evan pun mulai digerus oleh rasa bersalah. “Maafin aku, ya … aku janji secepatnya akan menyisihkan waktu untuk kamu,” ucap Evan. Eilish mengangkat wajahnya. Tatapan matanya berubah sayu. “Aku tau biasanya kamu pasti tidak mau melakukannya. Tapi … apakah aku bisa meminta satu hal?” “Apa?” tanya Evan. “Aku ingin memeluk kamu. Sebentar saja ….” pinta Eilish lirih. Desau angin bertiup pelan membuat rambut Eilish sedikit berkibar. Dia masih menatap dengan penuh harap. Rasa rindu itu telah berada di titik puncaknya. “Aku mohon. Sekali ini saja ….” pinta Eilish. Evan menelan ludah. Dia tidak tega lagi untuk menolak dan akhirnya menarik Eilish ke dalam pelukannya. Sosok Eilish pun langsung membenamkan wajahnya di d**a Evan dan meme-luk lelaki yang sangat ia cintai itu erat-erat. Tangan Evan pun perlahan terangkat hendak merangkup punggung Eilish, tapi kemudian kedua tangannya itu kembali turun disertai dengan hatinya yang mulai berbisik. “Maafin aku, Lish … tapi sepertinya, kamu akan selalu terluka jika kita terus bersama,” bisik Evan dalam hatinya. . . . Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD