26

2149 Words
Edward sudah berdiri di belakang Liana. Pria itu menatap wajah wanita di depannya sambil cengengesan. “Kan, tidak mungkin aku ninggalin kamu sendiri di kapal ini. Apa lagi biarin kamu jalan untuk cari semuanya sendirian. Nanti kalau tiba-tiba datang penculiknya mau mencelakakanmu, bagaimana?” Sejurus Liana tersenyum malu dan memukul lengan Edward. “Ah, kamu bisa-bisanya. Udah, ah, tujuan kita mau mencari Albert dan Leona, bukan rayu merayu,” pekik wajah Liana terlihat serius. Mereka sama-sama melangkah, Edward ada di belakang dan Liana di depannya. Keduanya sama-sama merasa sedikit ragu dan takut, andai saja ini hanya bentuk penyerangan diam-diam. “Oh iya, Edward, boat kita kamu letakkan di mana? Jangan sampai terjadi seperti tadi lagi, kita tidak bisa kembali ke dermaga dan tetap menunggu kapal yang dipijak ini berlayar. Pikirkan baik-baik, Edward!” Liana berbalik arah dan mengucap kata dengan entakan suara berbisik. “Tenang, Liana, kapal udah aku ikat di tali bekas jangkar tadi, yang kita gunakan untuk naik ke mari. Aman deh pokonya,” ujar Edward seraya mengarahkan tangan membentuk huruf oke ke wanita di hadapannya. “dan kamu memangnya yakin, ini kapal yang kita maksud? Jangan sampai salah untuk yang kedua kalinya,” sambungnya kemudian. “Yakin, sih, Edward, soalnya tadi ada sedikit suara orang di dalam sini. Perempuan, dan menurutku itu pasti kelompok penculiknya.” “Baiklah, kita lanjutkan perjalanan!” Liana dan Edward terus memasang wajah kaku. Mereka terlihat memburu napas ketika mengingat serangan yang terjadi tadi datang begitu tiba-tiba. Namun, anehnya saat ditelusuri sejauh ini, tidak ada juga tanda-tanda penculik, bahkan orang lain di dalam kapal ini. “Liana, gimana? Aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Kenapa ada serangan tetapi tidak ada seseorang?” Edward mengerutkan dahi. Liana yang masih melirik ke sana ke mari seketika mengatupkan kedua bibirnya dan membentuk decit suara bisikan. “Hust!” katanya. Liana berjalan lagi sedikit tertatih-tatih meninggalkan Edward yang berdiam diri di tepi kapal. Pria itu memandang nanar ke arah sudut-sudut tempat dan seperti memperlihatkan raut wajah tidak nyaman. “Jangan berisik, Edward! Kita cari pelan-pelan, dan aku yakin ada kehidupan di dalam sini. Walaupun kapal ini terpaut besar dari kita, tenang, ada satu titik di mana mereka akan tertangkap basah dengan kita.” Liana yang memandang wajah Edward penuh keseriusan, berbisik di telinga pria itu. “Perasaanku tidak enak, Liana! Jangan-jangan—“ “Berhenti, Edward! Jangan lanjutkan pemikiran yang tidak-tidak. Itu hanya firasat, jangan dipercaya terlalu dalam.” Anggukan kepala Edward terlihat lemah. Pria itu kembali melangkah mengikuti Liana di depannya. Gadis yang memiliki kulit putih dan rambut panjang itu juga tidak kalah gesit memindai segala arah penuh teliti. Dia juga mengarahkan telinganya ke segala arah agar mendapat titik dari decit suara seseorang di sini. “Edward, kamu dengar suara wanita? Barusan aku mendengar, tetapi apa benar itu suara manusia? Bisa saja hanya telingaku yang kurang detil, ‘kan?” Liana berbalik badan sembari mengangkat alisnya tatkala bicara dengan pria di hadapan. “Tidak, aku tidak mendengar apa pun. Mungkin itu hanya semilir angin yang lewat sekilas. Dengarkan baik-baik lagi, Liana.” “Okey!” sahut Liana seraya terus berjalan kecil menapak ke seluruh ruangan di kapal ini. Sesampainya memasuki satu ruangan dari beberapa ruangan yang ada di kapal ini, bunyi senjata terdengar keras. Disusul bom yang meledak ringan, membuat tubuh Edward dan Liana bergetar hebat. Keduanya sama sekali tidak bisa bergerak dan hanya mematung di tempat sembari saling bertukar tatap. “Untung saja kita cepat keluar dari ruangan itu, kalau tidak habis hancur kita dimakan bom yang barusan meledak,” serga Edward seraya mengelus dadanya berulang kali. Dipandanginya ruangan tempat mereka menapak tadi, puing-puing kehancuran terlihat jelas. Sembari bergidik ngeri, keduanya saling menggeleng frustrasi. “Edward, ada apa ini? Serangan kedua terdengar lagi. Kita dalam bahaya.” Liana memegang baju Edward erat-erat. Sesekali dia juga menelan saliva sembari menatap segala arah. “Kamu yang sabar, Liana. Genggam tanganku sekuat mungkin, jangan pernah lepaskan! Kita akan tetap bersama-sama sampai Albert dan Leona berada di depan mata.” Bertukar posisi dan saling berpindah tempat, Edward sekarang berada di depan dan begitu pula posisi Liana yang berada di belakang. Mereka kembali melanjutkan langkahnya untuk sampai ke ruangan kedua di dekat sana. Jeduar! Gedebam! Ya, bunyi itu lagi kembali terdengar. Liana semakin bergetar hebat sedangkan Edward masih terlihat santai. Mental seorang wanita memang tidak bisa diukur dengan nilai yang besar, pasti ada sisi kelemahan di balik itu semua. Yakinlah! “Edward, aku takut! Apa kita kembali saja ke boat? Siapa tahu ini memang bukan kapal yang kita maksud. Buktinya tidak ada tanda-tanda Albert dan Leona di dalam sini, begitu juga penculik yang disewa the Winston famiky yang menjadi pemicu penculikan itu.” “Tidak, Liana, aku malah menjadi yakin bahwa Albert dan Leona ada di sini. Penculiknya sepertinya memang mau bermain-main dengan kita, yaitu membuat siasat yang sangat rapi,” serga ucapan Edward membuat Liana terdiam kutu. Hampir masuk ke ruangan kedua, keadaan kapal bisa diartikan cukup jelas. Kondisinya sangat berantakan dengan properti yang berserakan di mana-mana. Sesekali terlihat bagian kapal tertentu telah rusak parah. Ini memang seperti kapal yang sudah lama terbengkalai. “Liana, dua ruangan sudah hancur dilalap bom itu. Bunyi senjata juga dari tadi terdengar terus menerus. Apa jangan-jangan dugaanku benar, kalau ini siasat seseorang, atau bisa jadi Penculiknya lah yang memang mau membunuh kita di dalam sini?” Edward begitu terperanjat memerhatikan tiap detik puing yang berserakan akibat ledakan bom yang menghancurkannya. Sesekali pria itu juga menalan ludah sembari bergeming. “Aku juga bingung, Edward, aku juga takut. Mau keluar juga percuma, jalan akses untuk mencapai boat, sudah hancur. Ruangan pertama habis seketika.” Berkata lirih, Liana juga terlihat putus asa. Yang terbesit dalam benaknya hanya kematian yang sebentar lagi akan mendatangi mereka. Mereka masih bisa bertahan dan bebas dari ledakan bom. Walaupun sama-sama takut, tapi keduanya bisa saling menyemangati. Edward yang berdiri di depan juga terlihat berjaga-jaga, agar wanita di belakangnya aman dan selamat. Kalaupun dia yang terkena serangan, biar saja, asal Liana selamat dan bisa memecahkan kasus ini. Berpindah posisi lagi, Edward dan Liana sekarang saling berhadapan punggung. Keduanya sama-sama terlihat membelakangi satu sama lain, seraya terus berputar memindai asal serangan yang terdengar tanpa terlihat. “Kamu berjaga-jaga, Liana. Jika ada serangan, langsung mengelak. Aku akan terus menjaga juga dari sini, siapa tahu mereka mengincar keberadaan kita dari segala arah.” “Iya, Edward, aku paham. Kamu hati-hati, jangan sampai lalai.” Masih berpegangan tangan walau saling membelakangi, keduanya terlihat sama-sama menjaga. Liana menyandarkan kepalanya di punggung Edward yang jauh lebih tinggi darinya, sementara Edward menggenggam tangan Liana erat-erat. Rasa tidak ingin kehilangan dan salah satunya terluka tentu ada di benak masing-masing. “Kita harus masuk ke ruangan ketiga, Liana. Siapa tahu ada titik terang di sana. Kamu hati-hati dan tetap waspada. Aku jaga-jaga di sini, ya.” Tidak menjawab, tetapi Liana memberi anggukan cepat setelah ucapan pria di belakangnya. Bunyi senjata terdengar lagi, tembakan keras dari sebelumnya. Kali ini ada dua bunyi tembakan yang saling kejar dalam waktu yang tidak berseling lama. Akan tetapi, tidak ada ledakan terdengar, padahal sudah beberapa menit berlalu. Siasat apa lagi ini? Semakin gemetar, kedua orang itu terlihat ragu-ragu. Langkahnya juga tertatih-tatih ketika memasuki ruangan ketiga dari empat ruang yang ada di kapal ini. “Liana, ayo cepat keluar! Ada ledakan bom sebentar lagi!” Edward menarik pergelangan tangan Liana kemudian mereka berdua menjauh dari tempat itu. “Kita harus naik ke atas, kalau tidak tubuh kita akan hancur karena bom itu! Ayo, cepat lari, Liana!” Edward berbicara cukup lantang. Dia menggenggam tangan wanita berkulit putih itu erat-erat. Seketika bunyi ledakan pun kedengaran sangat dahsyat dari sebelumnya. Kali ini Liana hanya bisa terkulai tidak berdaya sambil memegangi dadanya yang sudah berdegup sangat cepat. Sesekali embusan napas terdengar jelas, walaupun kejadian sudah berlalu beberapa detik belakangan. “Astaga. Edward, aku hampir mati jantungan! Setiap ruangan yang kita masuki, selalu saja ada bomnya dan meledak. Aku yakin memang ada yang sengaja mau menjebak kita di sini, lalu membunuh dengan cara seperti ini. Ah, sial!” Liana mencengkram rambutnya. Sesekali dia juga terlihat menggeleng kecil kemudian memejamkan mata. “Liana, kamu kenapa? Sudah, jangan menyesali keadaan. Ini mungkin cara untuk kita menemukan pelajaran dari sikap gegabah. Tenang, tarik napas dan kita masih punya satu harapan lagi.” “A-apa itu?” “Ruangan keempat, sekaligus ruangan terakhir di kapal besar ini. Siapa tahu ada tanda-tanda dan titik terang, ‘kan? Percayalah!” Memandang ke arah satu ruangan lagi di hadapan, Edward dan Liana tidak tinggal diam dan berhenti sampai di sana. Mereka terus melanjutkan langkahnya sampai tidak perduli lagi akan ada sesuatu apa yang nantinya menyerang dan terjadi di dalam sana. Derap langkah kaki keduanya terdengar ragu. Bahkan Liana dari arah belakang berbisik agar laki-laki di depannya berbalik arah dan pergi meninggalkan tempat ini. Namun, Edward menolak. Dia yakin betul ada hal penting di dala ruangan terakhir ini, dan siapa tahu bisa jadi petunjuk. “Edward, sudah ayo kita kembali ke boat. Lagi pula semua ini pasti hanya jebakan saja. Kita akan mati di sini, jika tidak cepat keluar.” “Satu langkah lagi, Liana, kita sampai di sana. Ada tanda-tanda kehidupan sepertinya di ruang terakhir itu. Yakin dan ayo ikut aku. Pegang terus tanganku erat-erat, jangan lepaskan. Kamu aman bersamaku, ya.” Keduanya sama-sama melangkah kecil menuju ruangan di depan. Ini menjadi harapan terakhir, dari beberapa harapan sebelumnya yang telah usai dan pupus. Semoga ada petunjuk di kesempatan kali ini, semoga saja. “Jangan lupa berjaga-jaga, Liana. Kamu lihat segala arah, siapa tahu ada jebakan yang tiba-tiba menyerang. Waspada dan berhati-hati, kita saling melindungi, ya.” “Iya, Edward, pasti. Kamu juga hati-hati.” Sudah berada di dalam sana untuk hitungan beberapa detik, tidak ada tanda-tanda penyerangan. Namun, keduanya masih tetap berhati-hati, karena mereka yakin banyak sekali siasat yang diletakkan penjahat itu di sini. Jangan bilang tiba-tiba bom dan tembakan malah melukai dengan spontan. “Liana, ini apa maksudnya? A-apa ini?” Suara Edward terdengar tersengal-senggal dari pintas pendengaran Liana. Wanita itu sigap berbalik arah dan menatap heran ke arah satu objek di depannya. “Untuk apa? Siapa yang punya akal untuk meletakkan ini di sini? Ah, semakin banyak kejanggalan!” Liana berjalan sedikit mensejajarkan posisi tubuhnya dengan Edward. Wanita itu juga menatap lekat ke arah layar besar yang ada di depan mata. “Video?” tanyanya lamat-lamat. Tiba-tiba video dari layar besar di hadapan mereka terputar otomatis. Isinya seketika membuat kedua mata pandang Edward dan Liana terbelalak sambil berpikir aneh. Beberapa wanita yang terlihat ada di video tersebut seperti menyiratkan sesuatu. Lima orang dan semuanya wanita, sangat jelas bisa dikenali bahwa itu rombongan Penculiknya yang tengah bermain di sebuah pulau. “Edward, apa maksudnya? Sebenarnya apa yang mereka rencanakan, sih? Kenapa harus buat hal-hal seperti ini?” “Entah, Liana, aku juga tidak paham. Kita tonton sampai selesai saja, sembari terus berjaga-jaga siapa tahu ini hanya tipu muslihat mereka.” Sebuah pulau yang tidak terlalu luas, menggambarkan isi dari video tersebut. Terlihat, gerombolan wanita-wanita tengah bermain, berjemur, dan beraktivitas seperti biasa. “Edward, aku kenal dengan lokasi ini sepertinya. Ini mirip dengan—“ “Dengan apa? Kamu yakin?” “Ini Laut Karibia, pulau terpencil yang terletak di sana. Sangat jelas, karena aku pernah melihat tempat ini sekilas di ponsel milik temanku,” ujar Liana menerangkan. “Lantas, apa tujuan mereka memberikan kode ini? Ada yang aneh, bukan? Jangan sampai ini menjadi siasat lagi untuk bisa menjebak kita nanti.” “Tidak, Edward. Sepertinya memang ini jalan dan arah tumpuan kita untuk bisa menemukan keberadaan Albert dan Leona.” “Baiklah, aku percaya denganmu. Semoga saja benar begitu,” ungkap balik Edward seraya tersenyum hangat. Mereka kembali, meninggalkan ruangan terakhir yang baru saja dijejaki. Sedikit kesusahan melewati beberapa ruangan yang sebelumnya sudah hancur terkena ledakan bom, perjalanan untuk sampai kembali ke boat terasa susah payah. Banyak usaha dan perjuangan mereka ketika menapak untuk tiba di sana. “Hati-hati, Liana, awas jatuh. Banyak bagian kapal yang sudah bolong,” ucap Edward sambil memegangi tangan Liana. Usai melewati ketiga ruangan yang bolong tadi, mereka tiba juga di tepi kapal, dekat boat tadi parkir. Perlahan-lahan Edward membuka tali yang mengikat boat tersebut agar tidak terbawa ombak, seraya tangannya membantu Liana untuk turun ke boat lebih dulu. Setelah selesai mendarat, dia sendiri yang giliran naik ke boat dan menyeimbangkan beban. Dirasa cukup aman, boat pun berlayar kembali mengarungi lautan. Dari penelusuran lewat ponsel terkait lokasi tempat yang hendak mereka kunjungi, tidak jauh dari sini sudah sampai. Kebetulan walau dikata terpencil, tetapi batas mereka tersesat ini juga tidak kalah jauh dan hampir mendekati pulau yang dimaksud. “Edward, itu pulaunya! Akhirnya kita sampai.” “Iya, Liana, syukurlah. Semoga ini akhir dari segalanya, dan Albert dan Leona bisa kita temukan dalam keadaan baik-baik saja.” “Semoga saja, Edward. Aku juga berharap seperti itu. Albert dan Leona bisa kembali bersama kita, dan halangan segala rintangan usai.” Akhirnya sampai juga. Boat mereka memasuki kawasan Pulau Karibia, di laut ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD