Awak kapal masih memandangi Edwrad dan Liana penuh intens, ataupun teliti. Dia juga melihat dengan alat khusus, memastikan bahwa kedua orang yang ada di hadapannya tak membawa barang bahaya apapun, atau bisa dikatakan senjata dan bom sejenisnya.
“Ke-kenapa, Tuan? Ada yang salah di diri kami masing-masing?” tanya Liana kemudian. Gadis itu mengerutkan kening sembari tersenyum tipis.
“Yakinlah, Tuan, kami bukan penjahat. Teman kami benar-benar ada di kapal Aphrodite besar yang katanya berlayar sekarang. Kami hendak menyelamatkan dia, itu saja.” Menimpali ucapan Liana, Edwrad juga berusaha membela dirinya. Pria itu menatap serius lelaki di depannya.
“Dari mana saya bisa percaya kalian orang baik-baik? Penampilannya saja berantakan, sudah jelas—“ Belum selesai menyelesaikan ucapannya, Edwrad memungkas dengan sigap.
“Maaf, Tuan, jangan bicara yang tidak-tidak! Kami bukan teroris, dan kami memiliki bukti untuk membuat Tuan percaya. Ini ada kartu identitas, mungkin bisa sedikit menyadarkan Tuan,” ujar Edwrad ragu-ragu. Dia tidak bisa menjaga ucapannya lagi. Semua menyangkut soal harga diri.
“Saya juga minta maaf, karena penjelasan kalian tidak bisa dicerna sedikitpun. Tetap, kalian harus ikut kapal ini sampai ke ujung sana, setelah itu ada seseorang yang memeriksa kalian lebih jelas lagi.”
Berbalik arah dan pergi meninggalkan Edwrad bersama Liana, awak kapal kembali terduduk di sebuah kursi. Dia memainkan alat seperti telepon dan seperti menelepon seseorang. Dari gerak pembicaraannya, pria itu seperti menjelaskan tentang keamanan.
***
Setibanya di tempat tujuan, Edwrad dan Liana terpelongo. Mereka melirik ke segala arah, dan merasa tempat yang dipijaknya ini sangat asing. Seluruh penumpang kapal sudah berlalu lintas keluar dan melanjutkan langkahnya. Hanya tersisa kedua orang itu yang tidak tahu harus ke mana dan melangkah di mana. Yang terbesit dalam pikiran hanya keadaan Albert dan Leona yang sudah entah menjadi apa.
Menurut yang dikatakan awak kapal, menurutnya kapal Aphrodite yang dimaksud Liana akan berlayar sebentar lagi, mungkin saat siang menjelang sore nanti. Jangankan begitu, ini masih pagi dan hampir berganti siang. Butuh waktu yang lama untuk menunggu kapan Aphrodite akan bergerak dan dapat ditemukan oleh keduanya.
“Tuan, bagaimana ini? Seluruh penumpang kapal sudah pergi dan kapal ini sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda kapan kapal ini akan bergerak putar balik?” Sekali lagi Edwrad menegaskan. Pria itu memandang wajah lawan bicaranya dengan tajam.
“Sabar, Edwrad, mungkin sebentar lagi akan ada jawaban. Dia masih terlihat sibuk memainkan ponselnya, kita harus tenang,” bisik Liana di telinga laki-laki itu.
Setelah berhenti menatap layar ponselnya, awak kapal beralih tatapan ke arah Edwrad dan Liana. Dia menyipitkan mata kemudian mengangguk berulang kali. “Yakin bahwa kalian orang baik-baik dan bukan seorang penjahat? Bicara sekali lagi atau bukti menunjukkan semuanya?”
“Astaga, harus berapa kali saya katakan bahwa kami memang sepasang manusia yang berniat mencari Albert dan Leona, teman kami yang diculik oleh, penjahat sewaan he Winston penjahat besar. Ada kah tampang penjahat di wajah kami berdua, Tuan?”
Terdiam sejenak, lawan bicara tersenyum miring. Dia juga memperlihatkan tawa lebar tatkala Edwrad berkata demikian.
“Kalian sok polos. Jika ada maling berkata jujur, maka penjara akan penuh dengan orang-orang seperti kalian!”
“Ah, harus saya katakan berapa kali? Benar-benar keterlaluan!” bentak Edwrad lagi. Kali ini pemuda itu terlihat sedikit marah.
Tengah berbincang dan membicarakan soal itu, tiba-tiba penjaga boat yang tadi sempat bertanya jawab dengan Edwrad dan Liana datang. Dia ditugaskan untuk melihat kapal yang ada kendala di satu tempat yang sama dengan lokasi Edwrad dan Liana berada.
“Tuan, akhirnya ada Tuan di sini. Saya butuh Tuan menjelaskan pada Tuan ini, bahwa kami bukan orang jahat.” Edwrad langsung memegang lengan pria penjaga boat tersebut.
“Ada apa ini? Kenapa kalian bisa ada di sini? Ada teman kalian yang tadi sempat dikatakan hilang?” Penjaga boat seolah heran. Dia juga menatap ketiga orang di hadapannya bergantian.
“Tuan, ada apa ini? Mereka kenapa bisa ada di sini dan bersama Tuan?” Penjaga boat menatap mata awak kapal dalam-dalam.
“Begini, jadi mereka ini mengaku tersesat dan salah kapal. Seperti yang dikatakan kepada Tuan, bahwa mereka ini katanya salah target untuk mencari temannya yang diculik kelompok penjahat. Saya tidak yakin sama sekali, karena penampilan mereka saja berantakan seperti seorang teroris.” Awak kapal menjelaskan panjang lebar. Dia juga kembali melirik Edwrad dan Liana atas bawah.
“Astaga, Tuan salah tanggap. Mereka ini benar-benar sedang mencari temannya. Sebab, tadi mereka sempat terjebak negosiasi harga boat dengan saya. Ada sesuatu penting yang mau mereka kejar, itu menyangkut nyawa temannya yang dalam bahaya.”
“Ada bukti? Saya tidak perlu perkataan seperti ini, karena semua akan sia-sia tanpa bukti sekalipun.”
“Saya tidak memiliki bukti, Tuan. Tapi saya yakin mereka bukan orang jahat, dan niat mereka memang mutlak tanpa unsur yang jahat. Yakin, Tuan, ini menyangkut nyawa temannya.”
Menghela napas panjang sekali tarikan, awak kapal memejamkan mata. Dia terlihat bimbang memutuskan untuk percaya pada siapa.
“Baiklah, saya lepaskan soal ini. Tapi ingat! Andai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka Tuan sendiri yang bertanggung jawab atas segalanya. Tuan bisa saya libatkan dan kaitkan pada mereka, jika sampai itu terjadi.”
“Siap, Tuan, kami yakin dan amanah. Lagi pula semua ini memang nyata kebenaran, bukan dibuat-buat. Bukan begitu?” Penjaga boat menatap kedua mata Edwrad dan Liana penuh penekanan.
“Iya, Tuan, kami bersedia menerima akibatnya jika terbukti kami orang jahat. Terima kasih Tuan,” ucap Edwrad lagi. Pria itu menggenggam tangan Liana dan melangkah turun dari kapal.
“Astaga, lupa. Kami harus bagaimana ini? Bagaimana cara kami kembali ke dermaga untuk menunggu kapal Aphrodite 0308 lewat? Ini mendesak, Tuan, kami butuh cepat sampai ke sana.” Liana yang berdiri di ambang batas akhir, memainkan jari jemarinya. Wanita itu terlihat ragu-ragu dan bingung.
“Tenang, Nona pakai saja boat yang saya kemudikan itu. Lagi pula saya ada pekerjaan lama untuk membenarkan kapal di ujung sana, dan mungkin kembali nanti malam. Jangan khawatir, saya bisa kembali ke dermaga menggunakan kapal yang putar balik ke sana.” Dengan begitu baiknya, penjaga boat memperlihatkan senyum. Dia juga menatap ramah kedua orang itu bergantian.
“Terima kasih, Tuan, Anda memang sangat baik. Sekali lagi terima kasih dan kami harus pergi sekarang, sebelum semuanya terlambat.” Edwrad berjalan sedikit gontai menuju boat. Laki-laki itu menggenggam tangan wanita di sebelahnya erat-erat.
Boat berlayar lamat-lamat, sampai pada akhirnya kencang ketika sampai di perbatasan akhir hendak menuju ke balik arah. Dari arah belakang, Liana memeluk erat tubuh Edwrad penuh kenyamanan.
“Edwrad, kita harus cepat gerak lebih kencang. Ayo, Edwrad!”
“Sabar, Sa, ini udah semaksimal mungkin. Lagi pula kata Tuan tadi, kapal yang kita maksud masih di belakang, belum pergi berlayar. Kamu tenang, ya, Sa,” balas Edwrad kemudian.
“Oh iya, Edwrad, kamu tahu rutenya ‘kan? Jangan sampai kita terjebak di tengah laut, tidak tahu perjalanan kembali ke dermaga.”
“Tenang, Sa, aku tahu. Kamu tinggal diam dan secepatnya kita pasti sampai.”
Keduanya saling berdekatan, berdempetan tubuh dan memeluk satu sama lain.
Beberapa waktu berada di atas boat, Liana merasa ada yang aneh. Pasalnya, dari tadi mereka tidak juga kunjung tiba di tempat tujuan. Jangankan bergerak maju, berhenti di satu tempat tanpa berpindah sedikit saja. Padahal seingatnya, mereka dari tadi terus melewati batas yang sama.
“Edwrad, perasaan ini sudah tidak enak. Apa kamu juga merasakan hal yang sama?” Liana berkata demikian. Gadis itu melirik ke segala penjuru arah.
“Iya, ini kita tersesat. Rute yang ada, sepertinya berbeda.”
“Astaga. Kita harus bagaimana ini? Jangan bilang kita akan tetap berputar di sini tanpa pindah sekalipun. Tidak, tidak mungkin.”
“Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak, Sa, nanti keadaan semakin rumit. Tenang, dan berdoa semoga kita bisa cepat menemukan jalan keluar.”
Keduanya saling memohon, meminta pertolongan pada Tuhan agar semuanya dipermudah. Ini bukan saatnya untuk berlama-lama mengulur waktu yang tidak jelas. Albert dan Leona harus segera tertolong, dia dalam bahaya.
“Edwrad, bagaimana? Sudah ada titik terang soal perjalanan ini? Kenapa bisa seperti ini, sih?” decak Liana penuh kekesalan. Gadis itu menggenggam jari jemarinya sendiri.
“Belum, Sa, saat ini tidak ada jalan keluar. Sepertinya kita sudah berada di batas jauh dari dermaga. Bahkan dari tempat akhir berhenti tadi, bersama Tuan-tuan itu.”
“Ya Tuhan, tolong kami!”
Memutari seluruh lokasi laut, mereka sama sekali tidak mendapat batas untuk sampai ke dermaga. Hanya terlihat hamparan luas laut beserta biru yang menjadi nuansa di dalamnya. Liana terus berdecak, sementara Edwrad berkali-kali memutar stir boat dengan keras. “Kenapa jadi serumit ini?!” ungkapnya.
Sudah merasa putus asa dan sudah berharap tidak akan bisa keluar dan mati di tengah laut, Edwrad bersama Liana mendapat tanda-tanda baru. Yang mana ada sebuah kapal besar yang berhenti di tengah lautan. Dari gayanya, ini seperti kapal pribadi milik seseorang.
“Sa, ada kapal besar di depan sana! Syukurlah, ada tanda-tanda kehidupan yang bisa kita jadikan tempat persinggahan,” ucap Edwrad pada gadis di belakangnya.
“Ah, kamu yakin? Jangan sampai itu kapal penjahat yang sebenarnya mencari mangsa untuk dijadikan korban. Jangan sampai terjadi, Edwrad!”
“Kamu tenang, kapal itu pasti memiliki titik terang. Kita kunjungi sekarang, ya, sebelum kita kehilangan jejak lagi.”
Mengemudikan boat dengan kencang, kedua orang itu tiba di dekat kapal besar tadi. Diperhatikannya dari segala sisi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Kapal ini hanya terlihat besar, tetapi tidak ada manusia di dalamnya.
“Kosong. Tidak ada kehidupan di dalam sini, Sa. Apa ini kapal tersesat juga sama seperti kita?”
“Tidak tahu, Edwrad, belum pasti. Coba lihat lebih detail, siapa tahu ada orang di dalamnya.”
Memutar untuk yang ketiga kalinya, Edwrad melajukan boat dengan kecepatan rendah. Mereka hendak memastikan lebih dekat apa yang ada di dalam sana.
Jeduar!
Bunyi tembakan terdengar sangat keras. Tidak lama itu, suara bom meledak juga menambah suasana menjadi lebih mengancam. Ada segerombolan orang yang tidak terlihat, tetapi senjata yang mereka serangkan begitu terlihat menyeramkan.
Meledaknya bom terdengar di mana-mana, sampai tembakan berulang kali terlihat jelas.
“Edwrad, kita diserang! Bagaimana ini?”
“Sabar, Sa, kita masih bisa mengelak. Benar dugaanmu, ini kapal tidak beres.”
Mengelak ke sana ke mari untuk menghindar dari serangan musuh, Edwrad beserta Liana bergerak gesit. Keduanya saling melindungi satu sama lain.
Tembakan mengancam dengan tajam, diikuti bom peledak yang hampir menghancurkan tubuh mereka andai saja terkena tubuh. Untung saja Edwrad bisa lebih cepat dan tidak kalah dari gerakan lawan.
“Hey, siapa kalian? Tolong, jangan serang kami! Siapa kalian sebenarnya?” Liana berteriak kencang. Gadis itu sedikit mendongakkan kepala.
Tawa pun kedengaran samar-samar, walau tidak terlalu jelas. Dari suaranya, seperti Liana mengenal seseorang itu.
“Edwrad, aku mengenal ini semua. Ada kejanggalan, dan sepertinya ini kapal yang kita tuju.”
“Ma-maksud kamu, Albert dan Leona ada di dalam??! Ini kapal mereka?” tanya Edwrad terbata-bata. Pria itu menggeleng kecil. “tidak mungkin! Ya Tuhan, kami bisa mati kalau begini caranya.”
Berputar lagi untuk beberapa kali, kadang menjauh dari lokasi kapal itu parkir, Edwrad memainkan boat naik turun kendali. Sampai pada akhirnya ada sebuah jalan untuk diam-diam naik ke kapal tersebut.
“Edwrad, yakinlah ini kapal yang kita maksud. Leona ada di dalam, dan dia butuh bantuan kita. Bagaimana kalau kita naik ke atas sana melalui itu?” ujar Liana setelahnya. Dia mengarahkan pandangan ke arah tali yang menggantung, bekas untuk dipergunakan pada jangkar.
“Ide gila apa lagi yang kamu maksud? Jangan aneh-aneh, karena kita sudah dalam bahaya besar.” Edwrad angkat bicara.
“Kita bisa masuk melalui tali itu, Edwrad! Kamu jangan khawatir, ada strategi yang pas untuk bisa sampai sana.”
Mengarahkan agar laki-laki itu mendekati tali yang menggantung panjang, Liana berusaha menggapai agar bisa sampai. Wanita itu juga tidak segan-segan mencari cara dengan berpikir keras.
“Ya, berhasil, Edwrad! Giliran kamu yang naik ke mari, sebelum penjahat-penjahat itu melihat upaya kita,” ujar Liana ragu-ragu.
“Bagaimana mungkin boat ini tertinggal sendiri? Kita malah akan kehilangan transportasi lagi untuk kembali nantinya.”
“Ma-maksud kamu, kamu akan tetap di sana? Bagaimana nasibku? Ah, rasanya takut berada di sini sendirian.”
Terpaksa menjejaki isi kapal tanpa ditemani Edwrad, Liana terus berjalan memutari bagian awal kapal yang terbawah. Dia melangkah kecil dan seperti tertatih-tatih, ragu untuk melihat apa yang terjadi dan ada apa di dalam sana.
Berulang kali Liana menelan saliva, secara susah payah. Akan tetapi, rasa takutnya tidak juga berkurang.
“Hey, ada orang di sana? Tolong, kembalikan sahabat kami!” ujar Liana seraya melirik sudut-sudut tempat. Dia takut ada serangan yang datang tiba-tiba dan menyakiti.
Langkah kaki Liana terhenti, saat dia merasa ada tepukan di bahunya. Seperti tangan merabah, dan mencengkram bagian tubuh itu erat.
“Jangan, jangan sakiti saya! Saya belum mau mati sekarang.” Gemetaran, Liana merengek penuh lirih. Gadis itu memejamkan matanya kemudian menggeleng ketakutan.
“Liana, ini aku, Edwrad!” Sejurus berbalik badan, Liana akhirnya menghembuskan napas lega. Perlahan senyum kecil mendarat di lekungan bibirnya.
“Edwrad, kamu buat jantungan! Coba aja kalau tadi ternyata ada penjahat yang datang, habis nasib kita kan?”
Edwrad tertawa cengengesan, dia menggenggam tangan Liana erat-erat.
Keduanya berjalan gontai mengelilingi kapal besar yang isinya bertingkat-tingkat. Ketika menyadari tidak ada tanda kehidupan dan orang di dalam sini, perasaan tidak enak di antara keduanya terbesit cukup jelas.
Mendengar ada pekikan suara seseorang, Liana dan Edwrad membelalak. Kembali dilaluinya kapal bagian atas, untuk mencari dan memastikan bahwa di sini ada seseorang, bahkan ramai.
“Gimana? Ada?” Sejurus Liana menggeleng lagi.
“Kapal ini memang kelihatannya kosong. Lantas, dari mana asal serangan tadi?” Edwrad bertanya-tanya pada gadis di depannya, Liana.
***