Liana terlihat terburu-buru menyelesaikan makannya dengan lahap. Wanita tersebut memburu waktu agar cepat selesai menghabiskan makanan di atas meja.
“Gara-gara kamu, aku jadi buru-buru makannya, ah. Kalau tersedak bagaimana coba?” Liana sesekali melirik wajah Edward yang berada di hadapan. Bukannya merespons, Edward juga terburu-buru mempercepat geraknya kemudian berlari ke arah kamar mandi yang ada di dapur.
“Ih, aku bicara tidak dipedulikan! Kamu jahat, Edward!” Berteriak sedikit keras, Liana ikut berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Kebetulan di kamar tempat dia tidur bersama Rose semalam, ada satu kamar mandi, yang membuat seorang tamu tidak pernah saling tunggu menunggu saat ada keperluan apa pun yang berhubungan dengan toilet.
“Aku mandi dulu, Liana! Sebentar, nanti kita diskusikan lagi, ya.” Terdengar keras walaupun tubuh dan keberadaannya sudah di dalam kamar mandi, Edward melantangkan suaranya. Asisten rumah tangga bersama Pak supir yang ternyata adalah suaminya terlihat sesekali tersenyum tipis kemudian menggeleng kecil. Keduanya tidak bisa menahan gelak lucu tingkah anak-anak di depannya.
Rose yang masih mematung di atas kursi, tepat di depan meja, merasa bahwa sebentar lagi perpisahannya dengan kedua orang itu akan segera terjadi. Entah siap atau tidak dia menanggung semua kesedihan yang pasti akan datang menghampiri dan tidak semudah itu bergerak untuk pergi.
Walaupun dikata asisten rumah tangga Tuan James memang sangat baik dan perhatian, tetapi dia bukan siapa-siapa bagi Rose. Itu akan membuat perasaanya atau sekadar mengadu dan bercerita jika ada masalah, sulit dia ungkapkan. Apa lagi baru beberapa hari dia mengenal wanita tersebut bersama suaminya, maka tentu rasa belum sepenuhnya percaya dengan keduanya membayang jelas di hati dan pikiran Rose.
Edward mandi, membersihkan diri dan bersiap-siap untuk berangkat kembali ke negaranya. Sedangkan Liana juga ikut menyamakan aktivitas yang dilakukannya, yaitu mandi di kamar mandi yang berbeda dengan laki-laki tersebut. Usai benar-benar selesai karena juga harus beradu dengan waktu, Edward berlari terburu-buru menuju kamarnya. Pria itu segera meraih baju yang sempat digantungnya malam tadi, dan kelihatannya memang tidak kotor ataupun bau.
Melangkah keluar kamar dan berputar ke sana ke mari merasa panik, Edward menggemparkan seisi rumah. Laki-laki tersebut mencari sepatunya yang sempat diletakkan saat hendak tertidur semalam.
“Astaga, aku kehilangan sesuatu!” teriaknya keras dan lantang. Gelagat Edward memang sangat kelihatan panik.
“Liana, Rose!” panggilnya sekali lagi dan tidak kalah kuat.
Terburu Rose lebih dulu yang berlari kecil menuju tempat Edward berdiri. Wanita itu menatap heran sahabatnya dan seakan menanyakan apa yang membuat dia sendiri berteriak seperti kehilangan sesuatu.
“Kenapa, Edward? Ada yang hilang?” tanya Rose yang juga terlihat panik. Wanita tersebut menatap lekat wajah Edward penuh keseriusan.
“Iya, aku kehilangan barang. Kamu tahu di mana? Atau aku yang lupa, ya?”
“Barang apaan, sih? Kamu hobi banget teriak-teriak, ya. Ini siang, loh, panas.” Liana yang baru saja keluar dari dalam kamar, terlihat mengenakan baju dan sudah tampil rapi. Dia memang mempersiapkan dirinya untuk pulang ke tempatnya tinggal.
“Sepatu aku hilang, entah ke mana. Cuma sepatu satu-satunya yang aku bawa ke mari, bagaimana ini? Apa mungkin aku harus pake sandal karet ini?” ujar Edward sembari memperlihatkan sepasang sandal yang ada di tangannya.
“Kamu heboh sekali, astaga. Aku ada sepatu itu di tas, pakai aja kalau kamu mau. Untung saja aku beli bisa dipakai cowok atau cewek. Syukurlah, kamu masih selamat.” Tawa simpul Liana membuat seisi rumah ikut tertawa kecil. Siang ini tingkah Edward memang benar-benar membuat New Zealand seperti kehilangan kendalinya.
Menapak kaki keluar dari dalam kamar setelah usai bersiap-siap dan membereskan semua barang-barangnya, Edward membawa dua satu koper di tangan. Sementara satu koper lagi ada di tangan Liana, sama seperti Edward, gadis itu membawanya.
“Sudah semua, bukan? Pastikan jangan ada yang tertinggal, ya, Liana. Kecuali barang-barang Rose, jangan sampai terbawa kita. Karena semua belum tahu kapan keadaan di sana benar-benar aman, dan Rose bisa kembali ke sana. Jadi pastikan benar-benar aman, ya.”
Melihat isi koper untuk beberapa kali, Liana benar-benar yakin bahwa tidak ada barang-barang Rose yang terbawa oleh mereka. Semua aman, dan beres sesuai konsepnya.
“Sudah, aman dan ayo berangkat! Sebelum pesawat lepas landas,” titah Liana setelah menatap kedua wajah sahabatnya secara bergantian.
Rose yang berdiri di depan pintu kamar, sontak hanya terdiam kutu, bagaikan orang yang tidak bisa berbicara, dan membisu. “Jadi, benar terjadi, kalau kalian akan pergi meninggalkan aku sendiri?” lirih suara Rose membuat Liana dan Edward turut bersedih hati.
“Jadi harus bagaimana? Semua demi kebaikanmu, Rose! Ini semua kami lakukan juga ada alasannya. Agar kamu selamat, itu saja!” timpal Edward penuh kelembutan.
“Aku takut, Edward, Liana! Bagaimana ini? Aku benar-benar belum siap jika kalian kembali pulang secepat ini,” ujar Rose lagi.
“Maaf, Rose! Kami sudah mengurus tiket pesawat, untuk kembali ke sana hari ini. Bagaimana mungkin bisa dibatalkan? Kami menyangimu, kami perhatian dengan keadaanmu. Justru kamu menetap di sinilah, agar The Chess tidak bisa menemukan kamu.”
Diam dan pasrah tentang apa yang akan dilakukan kedua sahabatnya, Rose hanya bisa berkaca-kaca. Netranya dipenuhi bulir bening yang mungkin akan lolos jika dia tidak sekuat mungkin menahannya.
“Sampai bertemu nanti, ya. Kami janji akan sering-sering mendatangi keadaanmu di sini. Apa pun ceritanya, kami usahakan untuk selalu datang ke sini agar kamu senang,” lirih suara Liana juga terdengar pilu. Seketika air mata keluar dari sudut netranya, melihat wajah Rose yang begitu sangat mengiba.
“Aku juga menyayangi kalian, Edward dan Liana! Semoga kalian selalu dalam lindungan Tuhan, dan kita bisa berkumpul bersama di waktu yang tidak tahu kapan itu terjadi.”
Ketiganya saling mendekat, berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Rose paling menghayati betapa sedihnya perpisahan yang lebih sulit dari keadaan sebelumnya, saat dia diculik oleh Queen. Liana yang memeluk Rose erat-erat turut merasakan apa yang dirasakan sahabatnya tersebut. Wanita itu menangis histeris, dan merasakan luka yang menusuk batin dan benaknya sesakit mungkin.
“Kami pergi, ya, kamu jaga diri baik-baik. Selamat tinggal, Rose!”
Melangkah tertatih-tatih dan sulit melepaskan perpisahannya dengan Rose, Liana ragu untuk melanjutkan langkahnya. Namun, di satu sisi semua sudah semestinya dia lakukan tanpa alasan apa pun. Edward yang berdiri paling depan sesekali memanggil nama Liana, mencoba meyakinkan bahwa ini bukan akhir dari semuanya. Ada kebahagiaan yang Edward sendiri yakin, akan tumbuh lagi, bahkan jauh lebih manis, setelah The Chess tidak ada lagi.
Menatap punggung kedua sahabatnya dari balik pintu, akhirnya tubuh mereka berdua hilang dimakan jarak dan langkahnya yang semakin maju dan bergerak. Asisten rumah tangga bersama Pak supir ikut memandangi kepergian itu, sebuah perpisahan manis yang siapa saja yakin akan ada kejutan manis setelah ini.
“Sabar, ya, Nona. Sahabat Nona akan sering ke mari, untuk melihat keadaan Nona Rose. Tuan Edward juga sering datang ke mari dulu, sendiri dan tanpa Nona Liana. Bahkan hampir berbulan-bulan Tuan menetap di sini dan menghabiskan masa-masanya di rumah Tuan James. Jadi, saya yakin mereka akan melakukan itu lagi, dalam rutinitas yang sering-sering.” Mendekat, lantas memegang punggung Rose, asisten rumah tangga tersebut mengelusnya penuh kelembutan. Rose terisak-isak, tidak kuat menahan rasa sakit yang benar-benar bisa dia rasakan saat seperti ini.
Menaiki tranportasi seperti Taxi, Edward dan Liana berjalan menuju ke bandara. Sisa-sisa air mata masih membekas di pipi Liana, mengingat baru saja wanita tersebut menangis sejadi-jadinya. Sedangkan netra mata Edward juga kelihatan masih berkaca-kaca, terlihat jelas air mata perlahan hilang dari dalam matanya. Bagaimanapun, Rose juga sahabatnya. Bagaimana mungkin dia tidak merasakan sakit dan pedih soal arti sebuah perpisahan.
“Menurut kamu keputusan kita sudah tepat, bukan?” Liana membuka suara di sela-sela perjalanan mereka ke Bandara. Saling terduduk bersebelahan, gadis itu menatap lekat manik mata Edward dalam-dalam.
“Aku yakin, Liana. Ini cara paling tepat, bukannya memang tujuan awal kita soal ini, ya? Walaupun sakit, pasti ada kebahagiaan setelah ini. Aku yakin, dan kamu harus percaya!” Menggenggam tangan Liana, Edward mengelusnya dengan sangat lembut. Senyum tipis yang keluar dari lekungan bibir Edward juga membuat lawan bicara ikut tersenyum.
“Oh iya, kamu benar yakin kita tidak tertinggal pesawat? Ini udah jam berapa coba? Siang, Edward, udah lambat!” ujar Liana sekali lagi.
“Kamu tenang saja, Liana. Aku sebelumnya sudah menugaskan James untuk mengurus soal penerbangan kita, seperti yang kita lakukan saat pertama kali ingin berangkat ke New Zealand.” Mendapat jawaban seperti itu, Liana sontak terkejut, dia tidak dapat menahan amarahnya, darahnya langsung naik kekepala, dan inginmeledak. dia memandang Edward dengan tajam dan berkata denga suara tinggi dan nada yang tidak enak didengar oleh Edward.
“Ah, benarkah? tega-teganya kau Edward. Kamu tidak menghargai Tuan James, ya. Beliau sudah rela menerima Rose di rumahnya, loh. Ini kamu tugaskan lagi dia untuk mengurus semua soal penerbangan kita? Aku marah, loh, ini.” Liana terlihat melepaskan genggaman tangan Edward. Wanita itu sedikit menghindar dari posisi laki-laki tersebut terduduk.
“Liana, kamu harus berpikir lagi. Jangan egois, ya. Ada tujuannya aku tugaskan James untuk mengurus ini semua,” titah Edward kepada gadis di hadapan.
“Apa?!” entak suara Liana terdengar lekat di telinga Edward.
“Sebenarnya James itu seorang pengusaha besar. Dia selalu keluar masuk kota, untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dan, kebetulan kemarin saat aku telepon, dia sedang dalam perjalanan pulang. Tepat, keberadaannya tiba di New Zealand pada panggilan kedua waktu kita membawa Rose pergi dari genggaman The Chess.”
“Maksudnya?” Seperti masih tidak paham, Liana berbalik arah dan menatap wajah Edward penuh keseriusan.
“Ya, jadi hari itu yang mengurus keberangkatan kita ke New Zealand, itu James. Dia baru saja tiba dari luar kota, dan kembali ke negaranya. Yaudah, aku langsung suruh beliau mengurus semuanya. Meminta tolong, dan aku akan mengganti semua biaya yang dia keluarkan.”
“Terus?”
“Dan pada saat itu juga, kita tiba di Bandara New Zealand. Kamu ingat, bukan? Saat kita pertama kali menapak kaki di sini, James sudah berdiri menunggu kedatangan kita? Bukan hanya menunjukkan jalan, tetapi dia juga memang baru tiba di Bandara juga, beberapa jam sebelum kita tiba setelahnya.”
“Dan sekarang kamu perbudak lagi beliau untuk mengurus kepulangan kita? Ah, kamu memang jahat, Edward! Kasihan dia, kasihan tahu?!” entak suara keras dan ketua dari Liana sampai membuat supir tranportasi menatap dari spion.
“Kamu lagi-lagi marah sebelum aku cerita semuanya. Jadi, hari ini James ada tugas pergi ke kota lain untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dan dia menawarkan diri sendiri untuk mengurus kembali semua soal ini.” Edward terdengar ikut emosi.
“Benarkah?” Nada suara Liana melemah.
“Jadi, ceritanya pada malam itu ....”