4. Bukan Muhrim

1583 Words
“Gimana ceritanya sih kok kamu bisa satu mobil sama Reino?” Tanya Prabawati, masih penasaran. “Ooh hehe itu ceritanya agak memalukan sih bu.” “Memalukan gimana?” Yang bersuara sekarang adalah Reina, semakin heran dengan jawaban tidak jelas Jingga. “Euum itu… anu…” Mengalirlah cerita Jingga awal mula dia bisa menyasar ke mobil Reino. Selesai cerita, Jingga yang takut akan dimarah oleh kedua perempuan di depannya menjadi bingung saat Prabawati dan Reina malah tertawa. “Kok malah tertawa tante? Saya kan yang bersalah karena sudah membuat kecelakaan. Mobil yang dipakai juga ringsek kan ya? Saya harus ganti tante? Uang saya gak ada sebanyak itu. Bagaimana dong” Tanya Jingga takut-takut dengan suara hampir menangis memikirkan besarnya uang yang harus ia ganti karena kecelakaan yang disebabkan oleh kehebohannya. “Gak usah dipikirkan itu cah ayu. Tenang saja.” Jawab Prabawati coba menenangkan Jingga. Tanpa mereka sadari kalau Reino baru saja masuk ke ruangan itu dan menyanggah apa yang dikatakan oleh Prabawati. “Enak saja gak usah dipikirin. Tentu saja dia harus menanggung ganti rugi yang sudah aku keluarkan mah. Gak ada yang gratis ya di dunia ini!” Kata Reino dengan kesal. “Heh apa maksudmu?” Tanya Prabawati. “Dia harus kerja padaku, kebetulan personnal asistantku kan cuti melahirkan mah. Gadis ini harus mau jadi PA-ku, bekerja tanpa gaji sampai kerugian impas. Beres kan?” Senyum licik nampak di bibir Reino. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan di lengan Reino. Lagi-lagi Prabawati memukulnya! “Aduuuh apa sih mah? Sakiiit!” Reino menjauhi mamanya dan duduk di sofa sambil mengelus lengan kirinya yang tentu saja tidak terasa sakit sama sekali walau dipukul mamanya. “Cemen ih, gede badan doang. Kamu jangan macam-macam ya Reino Adikusumo! Kamu mau dilaporin ke dinas tenaga kerja? Ke KPK?” “Lah apa hubungannya ama KPK mah?” Tanya Reina yang asik menikmati hubungan absurd mama dan kakaknya. “Iya mah, aku kan gak korupsi.” Tangkas Reino cepat. “Tentu saja kamu korupsi karena gak mau kasih gaji gadis ini yang seharusnya menjadi haknya! Lagipula kamu gak bisa paksa gadis ini untuk bekerja padamu kalau dia gak mau. Lah dia kan juga harus bilang ke keluarganya, ke bapak sama ibunya. Eh iyaa ngomong-ngomong tentang bapak ibu, di mana orang tuamu nduk? Kok gak kamu hubungi?” Suara Prabawati berubah saat berbicara pada Reino dan Jingga. “Bapak dan ibu saya ada di kampung tante. Saya di sini kos, tapi ada saudara di Jakarta. Tapi saya gak enak kalau menghubungi takut merepotkan.” Padahal tentu saja ada alasan kenapa Jingga tidak mau memberi tahu keluarganya. Dia baru saja menolak mentah-mentah ide dari bapaknya untuk menjodohkan dia dengan anak sahabat sang bapak. Hal itu membuat bapaknya murka, marah, bahkan sampai pada keputusan untuk tidak lagi mengirimkan uang bulanan pada putri tercintanya, dengan harapan Jingga luluh dan akhirnya menyetujui ide pernikahan itu. Tapi, keputusan sang bapak tentu saja tidak didukung oleh istri tercinta yang diam-diam mengirimkan uang bulanan untuk sang putri. Ibu di manapun pasti tidak akan tega melihat anaknya terlunta-lunta di kota asing. “Oalah gitu toh. Tapi emangnya kamu sudah lulus kuliah? Tante kira kamu baru lulus SMA, atau baru masuk kuliah gitu.” “Saya malah sudah diwisuda tante, bulan kemarin. Sekarang saya sedang mencari pekerjaan. Kalau misalnya saya dikasih gaji, saya bersedia kok menjadi Personal Assitant Mas Reino. Nanti saya cicil ya hutangnya, tapi saya tetap gajian buat bayar kost ama hidup sehari-hari. Kan gak mungkin saya gak makan. Gak mungkin saya gak bayar kos juga. Lah mau gimana hidup saya coba?” Jingga mencerocos bak kereta api Shinkansen. Reino takjub mendengar itu. Dia heran kenapa Jingga yang masih sakit bisa selancar itu bicara, apalagi kalau sehat? Apakah sebaiknya dia pertimbangkan lagi keputusannya itu? “Nah tuh Reino, dengar ya! Kamu terima Jingga bekerja sebagai Personal Assitantmu tapi digaji full remuneration! Tidak ada potongan apapun.” Prabawati menegaskan “Loh lah kalau gitu gimana dengan bayar ganti rugi mah? Aku gak mau kalau begitu. Enak di dia gak enak di aku dong!” Reino menolak. “Halah duit segitu doang, bisa dicari lagi. Daripada kamu dan Jingga kenapa-napa pas kecelakaan kemarin. Sudah nduk, jangan khawatir, kamu akan bekerja menjadi PA anak lelakiku ini dengan mendapatkan gaji penuh tanpa potongan. Nanti kalau kamu sudah sembuh, hubungi Ibu Maryam ya, dia yang akan melakukan wawancara kerja dan membuatkan kontrak untukmu. Ini kartu nama tante, Reina kasih juga kartu nama. Hubungi tante kalau kamu sudah sehat ya. Tante permisi pulang, sudah malam. Kamu harus istirahat.” Prabawati dan Reina langsung saja merasa akrab dengan Jingga. Bahkan sudah melakukan cupika cupiki pada gadis itu. “Ayuk mah kita pulang. Aku juga capek, mau mandi terus tidur.” Reino berdiri dan bersiap mengantar mama dan adiknya pulang tapi tiba-tiba Prabawati menolak ide itu. “Lah kalau kamu mau anterin mama ama Reina, terus yang nungguin Jingga malam ini siapa? Lagian adikmu tadi udah bawa baju ganti buatmu kok. Tuh ngejonggrok di sofa. Buru mandi, makan, gosok gigi, sholat terus tidur!” Prabawati menunjuk tas kecil yang ada di sebelah sofa. “Lah mah, tapi… tapi…” Reino menolak, dia sungguh rindu kasurnya. Ingin segera merebahkan tubuh lelahnya dan terlelap. “Gak papa tante, saya malam ini sendirian saja. Lagian kan ada perawat ini.” Jingga juga menolak ide itu. “Tuh mah, Jingganya juga gak mau ditemenin. Lagian kami bukan muhrim mah. Mama sendiri yang bilang kan kalau dalam satu ruangan ada lelaki dan perempuan bukan muhrim, berarti yang ketiga itu adalah setan. Aku mau pulang dan tidur di rumah aja. Sofanya kecil mah.” Pinta Reino dengan wajah memelas. “Ya udah kita titipin Jingga dulu ke nurse station. Tapi ingat besok pagi-pagi kamu sudah harus berada di sini ya Reino!” Titah Prabawati. “Kamu sendirian gak papa kan nduk? Kamu beneran gak mau telpon saudaramu yang ada di sini? Biar tante aja yang bilang ke mereka kalau misalnya kamu takut dimarah.  Kami pulang dulu ya, nanti tante akan titipkan kamu di nurse station untuk sering dicek. Jangan khawatir, beberapa puluh persen saham rumah sakit ini dipegang oleh Reina, jadi kalau ada apa-apa kamu bisa lapor padanya.” “Tidak perlu tante, terima kasih banyak. Saya tidak mau merepotkan mereka. Tante hati-hati ya.” Jawab Jingga dengan senyum manis tercetak di bibirnya. Sekilas, Reino sempat terpesona melihat senyum itu. Seperti dirinya tertarik ke dalam senyuman manis nan tulus dari gadis muda di depannya ini. *** Usai mereka pulang, tinggallah Jingga sendiri di kamar perawatannya. Tadi dokter visite juga sudah mencek kondisinya. Berhubung dia tadi sudah lama tidur, sekarang dia hanya bisa gelisah saja di atas brankar. Membolak balik badannya dengan gelisah karena sulit tidur. Well, dia sudah tidur selama beberapa jam! Tentu saja kantuk menjauh darinya. Saat melamun itu, Jingga teringat kemarahan bapaknya karena dia menolak ide perjodohan itu. “Kamu itu belum ketemu bocahe nduk, kenapa menolak? Bapak kan sudah tahu bahkan kenal dekat dengan keluarganya. Bibit bobot bebete apik (bagus), gak akan mungkin bapak menjerumuskanmu.” Aiman Alaydrus berkata dengan nada sangat keras membuat nyali Jingga menciut. “Tapi pak, Jingga masih kecil. Baru dua puluh satu, Jingga masih ingin sekolah lagi. Masing ingin main sama teman-teman.” Jingga yang keras kepala tentu saja menolak usul sang bapak. “Heh mana ada umur segitu main-main? Mbok pikir kowe kih cah cilik? (Kamu pikir kamu anak kecil?)” Kedua orang itu sama-sama keras kepala. Aiman yang mantan tentara dari korps terbaik di dunia ini tentu saja semakin emosi karena dibantah. Dia biasa menjadi komandan yang perintahnya selalu dipatuhi oleh anak buah tanpa satu pertanyaan apapun. Jika ada yang menolak, sudah pasti ada hukuman. Tapi hal itu tidak mungkin dia lakukan pada darah dagingnya sendiri. “Sudah sudah, berhenti. Bapak dan anak sama-sama keras kepala, sama-sama ngeyel sama pendapatnya sendiri. Gak akan mungkin ketemu sampai kapanpun. Ini kan bisa kita bicarakan baik-baik.” Sang istri yang tetap cantik di usia awal lima puluh tahun, coba mendinginkan situasi. Sebagai satu-satunya orang yang masih bisa berpikir waras di situ, Hanin mencoba menjadi penengah. “Bapak tidak baik memaksakan kehendak, karena nantinya yang akan menjalani pernikahan adalah Jingga. Tapi kamu juga nduk, cobalah bertemu dulu lelaki yang menjadi pilihan bapakmu. Insya Allah bapakmu tidak akan mungkin memilih sembarang orang untuk menjadi menantunya. Menjadi orang yang akan membawa anak gadisnya ke luar dari rumah ini.” Hanin berusaha membujuk Jingga. “Gak mau!” Keduanya menjawab bersamaan. Hanin tersenyum kecil. “Tuh kan. Sudahlah, bapak istirahat di kamar, nanti ibu nyusul setelah ngobrol sama Jingga.” Hanin mengelus punggung Aiman dengan lembut. Senyum lembut dan wajah ayunya membuat Aiman luluh. Perempuan kedua yang sangat dia cintai setelah almarhum sang ibu, yang membuatnya keluar dari SSR demi mengurus ibu tercinta. Euum mungkin yang ketiga, setelah putrinya, Jingga Alaydrus, yang mempunyai sifat sama persis dirinya. “Nduk, cobalah dulu bertemu dengan orang pilihan bapakmu ya.” Bujuk Hanin pada putri satu-satunya yang lahir dengan jarak sepuluh tahun dari sang kakak. “Enggak mau ibu! Aku mau menikah sama lelaki yang memang aku suka. Ini bukan jaman Siti Nurbaya masih dijodohin.” Jingga mengerucutkan bibirnya karena masih kesal. Alhasil karena tarik ulur yang tidak menemukan titik temu, akhirnya Aiman mengultimatum bahwa dia tidak akan mengirimkan uang bulanan kepada Jingga. Harapannya Jingga menyerah dan akhirnya akan menyetujui idenya. Sayangnya Aiman tidak tahu, bahwa sang istri tetap mentransfer uang bulanan pada putri mereka. Mana ada seorang ibu tega anaknya tidak makan di kota lain? Tidak memegang uang sepeserpun?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD