Chapter 3

1282 Words
C H A P T E R  3 Mata Alex tertuju pada gadis yang sedang berjalan mendekatinya. Dia tahu, dia sangat merindukan Mia. Tapi menjauh dari Mia saat ini adalah pilihan Alex. Sebenarnya, dia sudah menolak saat diminta untuk bertugas di Atlanta. Namun atasannya meminta Alex sendiri yang memastikan hal itu. Dia juga tidak menyangka bisa bertemu Mia di sini.   "Mia!" panggil Hannah yang melihat Mia berjalan ke arah lain. Namun Mia tidak menghiraukannya dan Hannah akhirnya mengikuti arah pandangan Mia.   Mia menghampiri Alex dan duduk di depannya. Gadis itu melihat Alex tadi menatapnya dan sekarang memalingkan wajahnya, seolah tidak peduli.   "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Alex," kata Mia. Gadis itu bingung untuk memilih kata-kata yang tepat. "Apapun yang pernah aku lakukan padamu atau katakan padamu dan membuatmu sakit hati, aku minta maaf. Karena aku tidak pernah bermaksud untuk melakukan itu."   Alex hanya diam sambil masih menatap layar ponselnya. Tiba-tiba Hannah menghampiri mereka berdua dan berada di samping Mia.   "Hai, Alex," sapa Hannah. Wajah gadis itu setengah tersenyum, setengah terpesona. "Kau semakin tampan," tambahnya. "Tunggu, bukan berarti aku masih menyukaimu. Tapi jujur, kau memang semakin tampan dan hot."   Mia menatap sahabatnya geli saat mendengar Hannah mengatakannya.   Alex menghiraukan Hannah dan kemudian beralih menatap Mia dengan tatapan dinginnya yang dulu. "Aku sedang tidak ingin bertemu denganmu, Mia," katanya.   Hal pertama yang Mia lakukan saat mendengar itu adalah bingung. Seperti ada sesuatu yang menusuknya dalam hingga ke jantung. Dan saat itu juga, Hannah membuka mulutnya lebar-lebar terkejut.   "Ah, benarkah? Tidak apa, Alex, lagipula Mia hanya kebetulan bertemu denganmu di sini dan kami tidak ingin mengganggu acara minum kopimu." Hannah menarik tangan Mia untuk pergi dari tempat itu. Tapi, baru saja Mia berdiri, Hannah sudah mulai melontarkan kata-katanyanya lagi. "Lagipula, teman sekamar Mia lebih tampan dan hot daripada kau."   Dan Hannah menyeret Mia keluar dari tempat itu. Wajah Hannah sedikit memerah, bukan karena malu, melainkan karena marah.   "Kita tidak jadi makan?" tanya Mia kemudian.   "Yang benar saja Mia, kau masih memikirkan makanan?" tanyanya mengikuti gaya Mia dengan memutar bola mata.   "Kau kan yang bilang lapar dan kau membelaku dengan rela menunda makan siangmu?"   Hannah melepaskan tangan sahabatnya yang sejak tadi tidak dilepasnya. "Dengar, aku memang lapar. Tapi sahabatku lebih penting. Lagipula, masih banyak restoran dan cafe lain untuk makan siang kita."   Mia tersenyum mendengar Hannah mengatakan itu. Dan sejujurnya, Mia juga lega karena Hannah membelanya tadi.   "Dan," katanya sebelum Mia sempat mengatakan sesuatu. "Alex yang rugi karena telah meninggalkanmu," tambahnya.   Mia merangkul pundak sahabatnya. "Aku tahu ini kalimat milikmu. Tapi kau adalah sahabat terbaikku, Hannah." Mia mengikuti kalimat yang biasa Hannah katakan padanya.   Hannah tersenyum sambil balik merangkul pundak Mia. "Sekarang traktir aku karena sudah membelamu."   "Ya, ampun."   "Aku bercanda," goda Hannah. "Tapi traktir aku karena sudah menggunakan kata-kata milikku."   Mia memanyunkan bibirnya. "Dasar kau," gumamnya.   Hannah tertawa. Tidak lama setelah itu, sesuatu menghantam Mia dari belakangnya. Mia menoleh dan tidak melihat apapun. Bahkan Hannah sempat terkejut saat melihat Mia terlontar beberapa meter dari tempat mereka berdiri.   "Ada apa?" tanya Hannah.   "Seperti ada sesuatu yang menghantamku," jawab Mia. Gadis itu bingung, sama halnya dengan Hannah.   Mia menoleh ke kanan dan kiri. Dan dia melihat seseorang di ujung jalan sedang memandanginya. Dia menggunakan topi fedora dan berusaha menutupi wajahnya. Namun Mia tahu siapa orang itu, dia pasti seseorang yang dari Orion. Para pemberontak. Mengingat, Gungnir berada di tangannya dan sudah pasti berita itu menyebar di seluruh Orion.   "Kita harus pergi," kata Mia sambil menarik lengan Hannah.   Sahabatnya itu masih kebingungan, tapi dia tetap mengikuti perintah Mia dan membiarkannya menarik tangannya. Lagi-lagi Mia merasakan sesuatu menghantamnya. Kali ini lebih kuat, hingga gadis itu terjatuh dan tersungkur di trotoar. Orang-orang mulai memperhatikan Mia.   "Ada apa denganmu?" tanya Hannah.   "Seseorang mengincarku," jawab Mia sambik berdiri. "Aku rasa dia menginginkan Gungnir."   "Siapa?" tanya Hannah penasaran.   "Para pemberontak."   *** Sejak tadi, Sam menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya itu tidak bisa di katakan sebagai kamarnya, karena dia telah meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Tapi selama dia pergi, kamar itu dibiarkan berdebu, jadi setidaknya dulu itu adalah kamarnya. Aroma khas yang diciptakan dari percampuran kayu dan aroma tumbuh-tumbuhan memenuhi ruangan.   Sam baru saja kembali ke planetnya, Orion. Dan mengetahui bahwa orang tuanya telah meninggal lama sekali. Ingatan memang telah hilang sebagian dan dia tidak mengingat sama sekali kejadian saat kedua orang tuanya meninggal. Bahkan Sam juga tidak mengingat bagaimana planetnya terpecah menjadi dua dan dia akhirnya memilih untuk berada di sisi yang baik.   Selama ini Sam selalu bertanya-tanya. Sejak kedatangannya di planet Orion—yang sudah tidak seperti bayangannya lagi—dia selalu memikirkan kenapa dia bisa memilih sisi yang baik. Tentu saja dia bisa memilih kubu para pemberontak. Terutama saat mengingat bahwa kedua orang tuanya mati terbunuh. Dan menurut penjelasan Will, meteka mati karena cinta mereka.   "Apakah cinta memang sangat mematikan?" gumam Sam.   Seseorang mengetuk pintu. Dan membiakan orang itu membuka pintunya. Seorang pria berdiri di depan pintu kamar Sam sambil menggunakan baju bertarungnya yang berwarna hitam. Dua buah pedang menggantung di belakangnya bagaikan sayap.   "Aku dan si kembar Earth mau berpatroli, kau mau ikut?" tanyanya.   Sam bangkit dari tempat tidurnya, namun dia masih diam. Dia melirik lemari persenjataannya yang sudah lama sekali tidak pernah dibukanya. "Aku akan menyusul, tunggu aku di gerbang utama," katanya.   "Baiklah." Kemudian pria itu menutup kembali pintu kamar Sam.   Sam berjalan menuju lemari persenjataannya dan membukanya. Debu menyeruak dari dalam. Sam terbatuk-batuk sambil memindai satu-persatu s*****a yang menggantung. Sudah lama sekali Sam tidak pernah menggunakan senjatanya lagi. Itu karena dia menggunakan kekuatan kinesisnya untuk bertarung.   Beberapa kaum Orion memang memiliki kemampuan kinesis. Dan seperti yang terlihat, sebagian para kinesis itu berpencar memilih sisi baik untul bergabung dengan para Raiser—begitu mereka menyebutnya—menjadi Patriot dan sebagian mencari keuntungan dengan bekerja dengan para pemberontak.   Tentu saja tidak semua para kinesis itu dikirim ke luar planet. Untuk Patriot, mereka membagi dua kinesisnya. Satu yang dikirimkan ke planet lain—seperti Sam—untuk memburu para kinesis pemberontak. Sedangkan yang kedua, ditugaskan untuk menjaga benteng mereka, The Cavity. Dan untuk kinesis pemberontak juga membaginya menjadi dua. Satu yang dikirimkan ke luar planet untuk membunuh pasangan para Deliria. Dan satu yang menjaga benteng para pemberontak, The Fort.   Sam mengambil dua s*****a miliknya, satu adalah pistol dengan peluru yang bisa memecah menjadi tiga dan berisi bubuk besi di dalamnya. Dan sebuah pedang yang sama seperti milik Artfael, bisa memanjang dengan sendirinya.   Setelah itu, Sam mengenakan baju prajuritnya yang menggantung di lemari pakaian. Mungkin, baju itu sudah tidak muat lagi. Karena Sam tidak pernah mengenakannya dan hanya di biarkan menggantung di tempatnya. Tapi saat pria itu mengenakannya, ternyata masih muat dengannya. Bahkan sangat pas.   Seperti janjinya, Sam menuju gerbang utama dan melihat tiga temannya sudah berkumpul. Pria yang tadi menemuinya di kamar adalah Irial Knight. Dia salah satu Patriot paling di puja oleh para Deliria wanita. Sayangnya, tidak boleh jatuh cinta dengan sesama kaum Orion. Sedangkan dua yang lainnya adalah si kembar Earth, Jace dan Hale Earth. Walaupun kembar, mereka memiliki beberapa sifat yang berbeda.   "Samuel Fox!" kata Hale sambil melambaikan tangannya.    Ketiga orang itu sekarang tertuju pada Sam dan tersenyum. Tidak dengan Irial, dia memang jarang tersenyum.   "Aku kira kau tidak akan datang," ujar Jace.   "Kau meragukannya?" tanya Irial sambil mengangkat satu alisnya.   Hale menggeleng. "Tidak, Jace hanya ragu pada kau Irial. Kau kan bukan perayu yang baik," katanya membela saudara kembarnya.    Irial menatap Hale dengan tatapan mematikan. Tapi Hale justru balik menatap Irial dengan tatapan yang persis sama.   "Kau kira hanya kau yang memiliki tatapan mematikan?" tantang Hale.   Irial menggeleng. Kemudian dia menundukkan kepalanya. "Aku lupa, namamu kan lebih terdengar seperti Hell daripada Hale," sindirnya.   "Sudahlah, kalian ini. Seharusnya bersikap baik saat di depan teman lama kita ini." Jace melerai pertengkaran Irial dan Hale. Kemudian menatap Sam. "Kau sudah siap dengan senjatamu?" tanyanya.   "Aku selalu siap."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD