01

848 Words
Vanila mendengus saat mendengar jam weker yang berbunyi dengan nyaring. Masih dengan mata terpejam, ia menggerakkan tangannya mencari letak benda yang setia membuatnya pusing setiap pagi itu.   Setelah berhasil menemukan dan mematikannya, Vanila memutar badannya menjadi telentang dan memejamkan matanya sejenak. Tak berselang lama, ia bangkit dari posisinya dan melihat sampai mana jarum jam itu bergerak. Matanya membelalak begitu ia melihat jam yang kini sudah menunjukkan pukul 8 pagi, artinya ia sudah terlambat 30 menit untuk kelas paginya hari ini.   "s**t," gerutunya. Dengan cepat ia bangkit ke kamar mandi dan melempar jam weker satu-satunya itu tanpa sadar. Yang ia fikirkan saat ini adalah cara dirinya bisa sampai di kampus tepat waktu.   Hanya membutuhkan waktu 15 menit bagi Vanila menyelesaikan mandi kilatnya. Ia juga tak perlu banyak melakukan hal lagi, tinggal memakai bedak dan lip balm tipis agar tak terlihat pucat serta menyisir rambutnya maka ia sudah siap berangkat sekarang.   ***   Bahunya turun perlahan. Matanya masih setia memandangi jalanan yang terlihat ramai lalu lalang orang beraktifitas. Pagi ini Vanila harus menelan kekecewaan lantaran telat dan harus mengikuti kelas tambahan minggu depan.   Hari ini ia hanya memiliki satu jam mata kuliah yang berujung tragis karena saat ia sampai ruang kelasnya sudah kosong, sehingga ia memutuskan untuk sekedar jalan-jalan di taman menenangkan gemuruh hatinya saat ini.   Matanya terpejam dengan wajah menengadah menikmati sinar matahari yangcukup terik namun tak mengganggunya karena tak jauh darinya berdiri kokoh pepohonan rindang yang menghalau sinar itu menusuk kulitnya.   Jika boleh memilih, ia tak ingin hidup seperti ini. Sebatang kara di tempat yang tak dikenal sebelumnya.   Jauh di dalam hatinya, Vanila juga ingin merasakan hangatnya sebuah keluarga yang selama 21 tahun ini tak pernah dirasakannya. Ia bahkan tak tau siapa orang tua kandungnya. Masih hidupkah? Merindukan dia kah? Atau bagaimana ia juga tak tau.   Sedang sibuk menikmati pemikirannya yang bergerak jauh, Vanila tersentak saat mendengar suara benda bertabrakan dengan keras. Tubuhnya seketika terlonjak kaget sampai tanpa sadar mulutnya terbuka melihat seorang pria yang sedang bersusah payah keluar dari himpitan mobil yang tak berbentuk itu. Dengan cepat ia melangkah menghampiri pria yang hanya berjarak 200 meter darinya.   "Argh.."   Tubuhnya bergetar mendengar geraman penuh kesakitan milik pria itu. Ia hanya perlu beberapa langkah lagi untuk sampai di hadapan pria yang wajahnya sudah dipenuhi banyak darah.   "Sshh.. tolong kenapa cuma diam," sentak pria itu. Vanila mendelik dan tersadar dari lamunannya, "i- iya."   Sekuat tenaga Vanila menahan tubuhnya yang gemetar, ia menghampiri pria itu dan mencoba membantu mengeluarkan tubuh terhimpit pria itu.Seumur hidupnya, ini adalah kali pertama Vanila melihat seseorang bermandikan darah seperti ini.   "Arghhh.. jangan kasar," bentak pria itu lagi.   Vanila mendelik tajam, bagaimana bisa pria yang entah bagaimana nasibnya jika tak di hampiri olehnya ini membentaknya disaat Vanila berniat untuk membantu menyelamatkan pria ini.   "Gila," desis Vanila kembali memfokuskan perhatiannya pada sela jok kemudi tempat pria itu berada.   "Arghh.." Vanila meringis saat pria itu menjerit setelah bisa terbebas dari himpitan badan mobil.   "Mau kemana?" Tanya pria itu mencekal tangan Vanila yang akan beranjak dari sana.   "Anda membutuhkan bantuan. Tidak mungkin kan saya harus menggendong anda sampai di rumah sakit?" Ujar Vanila sembari melepas tangan pria itu lalu melangkah mencari bantuan.   ***   "Anda keluarga pasien?" Vanila tersentak saat mendengar suara dokter yang entah sejak kapan berdiri di dekatnya.   "Saya?" Tanya Vanila menunjuk dirinya sendiri.   Dokter itu mengangguk pelan, "anda keluarga pasien?"   "Eh?"   "Kondisi pasien baik-baik saja, hanya butuh beberapa jahitan di kepala nya. Kakinya hanya mengalami memar sedikit tidak perlu khawatir. Silahkan anda mengurus administrasinya, saya permisi." Vanila tergagap saat melihat dokter itu sudah melangkah jauh darinya.   Bagaimana ini, bukannya ia tak ingin. Tapi ia tak memiliki sepeserpun uang saat ini. Setidaknya perlu seminggu lagi untuk ia mendapatkan penghasilannya bulan ini.   "Permisi," Vanila menoleh kearah kanannya saat mendengar suara itu.   "Ya?"   "Anda yang membawa tuan Xanders?" Vanila mengernyit.   Pria itu tersenyum ramah, "maksud saya pria yang kecelakaan itu." Ujarnya melirik ke arah pintu tempat korban kecelakaan itu berada.   Vanila mengangguk faham, "ah iya. Anda?"   Pria itu tersenyum semakin lebar sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Vanila. "Perkenalkan saya Arthur, assisten pribadi sekaligus orang kepercayaan tuan Xanders."   "Ah, saya Vanila tuan." Ujar Vanila membalas uluran tangan Arthur.   "Saya ingin mengucapkan terima kasih karena nona Vanila sudah menolong tuan Xanders."   Vanila tersenyum canggung. "Tidak masalah, kebetulan saya ada disana tadi." Vanila tanpa sadar mendelik saat melihat jam dinding yang berada tak jauh darinya.   "Ah, tuan Arthur saya pamit dulu. Saya sudah terlambat bekerja, permisi."   "Biar sa–" Arthur tak melanjutkan ucapannya saat di lihat gadis itu sudah berlari bahkan menghilang dari hadapannya.   ***   Vanila mendengus, ia harus rela menambah jam kerja nya esok hari sebagai konsekuensi dari keterlambatannya hari ini.   "Fine?"   Vanila hanya mengangguk dengan lesu. "Besok aku lembur."   Jasmine mengangguk, "aku dengar dari Nic tadi. Aku temani."   Vanila seketika mengangguk, namun tak lama ia menoleh dengan mata lebar ke arah Jasmine. "Apa?"   "Aku temani besok," ujar Jasmine santai sembari mengelap gelas gelas basah di tangannya.   "Becanda kan?"   Jasmine menggeleng, "anggapsaja sebagi ganti karena kamu sudah menutup coffee shop sendirian minggu lalu waktu aku jalan sama Mike."   Vanila tersenyum lebar, ia lalu memeluk tubuh Jasmine erat. "Ahh.. Jass I love you."   >><< 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD