02

839 Words
"Tuan sudah sadar?"   Arthur beranjak dari posisinya saat melihat pergerakan dari jari atasannya, Mr.Xanders.   "Ah Arthur," ucapnya pelan saat mendapati pria itu berdiri di sisi kanan bedhospital-nya, tepat di hadapannya.   Arthur mengangguk, "anda butuh sesuatu?"   Mr.Xanders menggerakan matanya melirik ke arah gelas di atas nakas yang terdapat di sampingnya. Arthur yang mengerti maksud tuannya segera membantu mengambilkan gelas itu dan membantu meminumkannya.   "Ada lagi tuan?" Mr.Xanders hanya mengangkat sedikit telapak tangannya dan Arthur mengangguk faham.   "Bagaimana kondisi ku?" Tanya nya saat merasakan ngilu di bagian tulang kering kakinya.   "Dokter berkata tidak ada yang perlu di khawatirkan tuan. Pendarahan pada kening dan hidung anda sudah di atasi, hanya mungkin akan meninggalkan efek pusing nantinya. Untuk kaki anda pun sama, tidak ada yang perlu ditakutkan. Hanya memar dan akan hilang beberapa hari, untung saja nona Vanila membawa anda segera jika tidak itu bisa menyebabkan keretakan pada tulang kering anda." Jelas Arthur mengulang perkataan dokter saat ia menemuinya tadi.     "Vanila?" Arthur mengangguk.   "Gadis yang menolong anda."   Mr.Xanders mengangguk, "ah gadis lelet itu."   Arthur mengernyit, "maaf?"   Mr.Xanders berdecak. "Dia sangat lelet Arthur kau tau? Dia bahkan hanya membuka mata dan mulutnya lebar saat melihat aku kecelakaan. Dia mungkin tidak akan bergerak membantu jika aku tak memanggilnya. Dia juga terlalu lamban untuk mengeluarkan ku dari jepitan badan mobil."   Arthur tercengang, tuannya ini sepertinya lupa mengenai bagaimana cara berterima kasih. Jika tidak ada gadis itu, ia mungkin belum berada di rumah sakit dan mendapatkan perawatan saat ini.   "Maaf tuan tapi non–"   "Ah sudahlah Arthur aku pusing, aku tidur dulu. Jangan kau kabari mom dan dad ku, mereka pasti a–" ucapannya terpotong tepat saat pintu ruangannya terhempas kasar dan dibarengi teriakan seorang wanita yang ia sangat kenali.   "SEAANNN!!"   Mr.Xanders hanya memejamkan matanya sejenak lalu memandang ke arah Arthur yang kini memandangnya penuh permohonan maaf.   "Sean Alexanders, apa yang kau lakukan?" Geram wanita yang meski mulai terdapat kerutan di wajahnya namun tak mengurangi kecantikkannya.   Mr.Xanders, atau yang disapa keluarganya dengan nama Sean hanya memberikan senyuman khasnya. Ia dapat merasakan aura yang dingin dari sosok ibunya. Ekor matanya pun dapat melihat ayahnya yang hanya mampu bersedekap di ujung pintu tanpa bisa menghentikan aksi wanita itu.   "Hi mom, apa kabar?" Tanya nya mencoba mencairkan suasana.   "Kabar katamu? Bunuh saja aku karena kelakuan bar-bar mu ini.." Keluh ibunya.   "Mom / Alexa!"  Seru Sean dan ayahnya bersamaan.   ***   Sean Alexanders Crovpelt, pengacara sukses di usianya yang 27 tahun. Dengan tinggi 189cm, rambut hitam legam dengan mata biru yang meneduhkan mampu meluluhkan hati banyak wanita. Jangan lupakan pula d**a bidang, sekat kotak di perut, otot yang kekar dan perpaduan aroma maskulin dari musk dan kayu manis menjadikan siapapun wanita yang ada di dekatnya akan secara suka rela melemparkan dirinya untuk menghangatkan rancang pria itu.   Sebagai satu-satunya keturunan dari keluarga Crovpelt, Sean bekerja bukan hanya sebagai seorang pengacara. Ia juga bekerja sebagai CEO dari Crovplt.Inc, perusahaan warisan turun temurun dari keluarga besar ayahnya. Ah, jangan lupakan pula berbagai macam resto dan cafe yang tersebar di seluruh dunia milik ibunya yang juga menjadi miliknya.   Sean Alenxanders Crovpelt, putra semata wayang Alexandra Crovpelt dan Max Crovpelt. Sang billioner muda yang banyak di incar di Amerika.   "Kapan aku bisa kembali Arthur?"   Ah jangan lupakan soal Arthur, pria 30th yang setia berada di samping Sean sejak kecil. Putra dari tangan kanan Max Crovpelt.   "Besok anda sudah bisa kembali tuan. Tapi anda tidak di ijinkan melakukan banyak aktifitas berat."   Sean mengangguk, "sampai mana perkembangan kantor?"   "Semuanya sudah siap, hanya tinggal memindahkan berkas-berkas dari kantor lama anda tuan." Jelas Arthur.   "Baiklah terima kasih Arthur," ujar Sean. Arthur membungkukkan badannya untuk pamit undur diri. Ia masih memiliki banyak pekerjaan selama menggantikan tuannya yang masih terbaring di rumah sakit.   ***   "Vanila tolong bantu aku," teriak Jasmine pada Vanila yang kini terlihat sedikit berlari menghampirinya.   "Apa?" Tanya Vanila begitu sampai di hadapan Jasmine.   "Tolong bersihkan meja-meja di atas ya, lalu ganti pengharum ruangan sama bunganya. Akuharus membuatkan pesanan kopi yang sudah ditunggu pelanggan."    Vanila mengerjapkan matanya bingung, "kenapa aku? Yang lain mana?"   Vanila mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru coffee shop, s**l tampaknya siang ini coffee shop ini sangat ramai. Vanila bisa menangkap jelas semua temannya yang berjalan mondar-mandir lantaran banyaknya pengunjung yang datang.   Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Jasmine yang setia berada di balik meja bar, "kamu?”   Jasmine menghela nafas nya pelan, "aku mau bantu tapi aku gak bisa. Kamu liat, Nic sedang menyiapkan pesanan pengunjung. Aku juga harus menyiapkan tiga puluh cup coffee untuk order dari sebelah."   Vanila mengernyit, "sebelah? Bangunan sebelah kosong kan? Kamu mau ngasih minum siapa segitu banyak?"   "Jangan bilang kamu gak tau, sebelah bahkan sudah ramai sebulan belakangan ini karena akan digunakanuntuk sebuah kantor." Sahut Jasmine masih dengan meracik coffee.   "Really? Wah aku ketinggalan." Dengus Vanila.   Jasmine mendelik dan menghentikan kegiatannya, "s**t Van, kamu ngajak aku ngobrol dan lupa kalo aku minta tolong sama kamu buat bersihin atas tadi." Vanila menggaruk tengkuknya tak gatal dan terkekeh geli. "Sorry, keasyikan. Yaudah aku naik, bye Jass jangan kangen sama aku ya.” Ujar Vanila meninggalkan Jasmine yang kini mendelik melihat sikap konyol Vanila.   >><< 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD