[Bagian 1]

1335 Words
Suara ketukan dari alas sepatu terdengar sampai ke lantai bawah kala pemilik sepatu hitam itu menuruni setiap anak tangga dengan terburu-buru. "Santai dong Ghif, buru-buru banget," tegur seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan dan gagah di usianya yang sudah sangat matang ketika melihat seorang pemuda berseragam SMA berjalan melewatinya sembari sibuk menyimpulkan tali dasi agar terlihat sempurna. Remaja yang di tegur refleks menghentikan langkahnya, lantas menolehkan kepala pada sumber suara. Dan tepat di salah satu kursi meja makan dapat ia lihat pamannya yang sudah rapih dengan pakaian khas orang kantoran sedang asyik menyesap kopi hitam yang memang menu wajib yang harus pamannya minum di setiap pagi. "Aku bangun terlambat, jadi aku harus segera berangkat. Takut ketinggalan bus," jawab remaja itu sambil merapihkan dasinya. Rama--Pria paruh baya itu mengangguk. Menaruh kembali cangkir kopinya keatas meja makan. Lalu menumpukan atensinya pada keponakannya yang kini beralih mengecek isi tas. "Kamu bisa ikut Om, kalo gitu. Toh, kantor Om sama sekolah kamu 'kan searah," tawar Rama. Ghifari menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap pamannya dengan senyuman tipis. "Ga usah Om, bukannya kata Bunda Om hari ini ada klien yang harus Om temui di perusahaannya? Takutnya kalo nganter aku Om malah terlambat," tolak Ghifari. "Ga ap--" "Pagi Bunda." Rama yang hendak kembali berbicara terpotong oleh sapaan Ghifari di ikuti dengan datangnya seorang wanita cantik dengan celemek pink yang melekat di tubuh rampingnya tak lupa tangannya yang membawa sajian sarapan pagi. "Pagi juga," balas Wanita itu. Usai menaruh kedua piring yang tadi ia bawa ke atas meja makan, Reana--nama wanita itu pun tersenyum memandang paras tampan putranya yang telah rapih dengan seragamnya. Dengan sedikit berjinjit karena putranya lebih tinggi darinya, Reana pun mengecup kening Ghifari penuh kasih sayang. Lalu menyodorkan segelas s**u putih yang memang sudah ia sediakan. s**u itu langsung di sambut dengan senang hati oleh Ghifari dan di minumnya hingga tandas tak bersisa. "Mau sarapan dulu?" tanya Reana ia hendak mengambil nasi, namun di tahan oleh Ghifari. "Ga usah Bun, aku langsung berangkat. Takut kesiangan terus ketinggalan bus." "Loh? tapi 'kan kamu harus sarapan dulu Ghif! Bunda udah bikinin sarapan kesukaan kamu loh." Ghifari menggeleng, kendati dalam hati ia merasa tidak enak karena usaha bundanya dalam memasak makanan kesukaannya harus sia-sia. Mau bagaimana lagi, ia sudah tidak banyak waktu lagi barang menyicipi masakan bundanya. "Nanti aku sarapan di kantin aja. Kalo gitu aku sekolah dulu, ya. Dah Bun, Om. Assalamualaikum." "Tapi--" Reana yang hendak protes pun hanya dapat menghela nafas pelan ketika Ghifari sudah pergi dari hadapannya. "Waalaikumsalam," ucap Reana membalas salam Ghifari. "Padahal dia punya Maag. Ga baik kalo ngelewatin jam makan," omel Reana yang mendudukkan tubuhnya di samping Rama. Rama yang semula sibuk dengan tablet di tangannya pun mengalihkan tatapannya, senyumnya terbit ketika melihat raut di tekuk Reana. "Biarin aja lah Re, Anak lo 'kan udah gede dia bisa jaga diri," sahut Rama. "Ya tetap aja, Kak. Gue khawatir." "Terserah lo deh, gue mau berangkat kerja dulu. Lo kalo nanti mau berangkat ke pemotretan kunci rumah simpen aja di bawah keset. Gue pulang siang hari ini," ujar Rama setelah membenarkan barang bawaannya. "Lo juga ga sarapan, Kak?" Mendengar pertanyaan itu, Rama tersenyum lebar memperlihatkan lesung pipit nya yang terlihat manis. Tangan lelaki berusia 38 tahun itu mengusak rambut sang adik dengan gemas yang menimbulkan protesan kesal dari sang empunya rambut. "Lo sarapan sendiri aja pagi ini, gue buru-buru. Bye Adekku sayang. Assalamualaikum." Setelah mengucapkan itu, Rama pun pergi dari ruang makan. "Waalaikumsalam," balas Reana pelan. "Kalo tau ujung-ujungnya bakal kayak gini. Ga bakal gue masakin lagi, biar perut mereka keroncongan sekalian," gerutu Reana sembari mengerucutkan bibirnya kesal. Matanya memandang nanar nasi goreng spesial berikut telur dadar yang sudah ia buat. Ghifari sampai tepat waktu. sepuluh detik lagi, pintu gerbang sekolah akan ditutup dan beruntungnya ia sudah berada di kawasan sekolah. Berterimakasih lah kepada bus yang datang tepat waktu tadi, sehingga ia dapat terhindar dari hukuman yang di berikan oleh Pak Ramon--guru BK yang memiliki paras rupawan namun di kenal akan kegalakan dan ketegasannya yang tidak ada duanya. Apalagi soal hukum menghukum. Guru tampan itu pasti memiliki seribu satu hukuman s***s bagi para muridnya yang melanggar peraturan sekolah. Contoh hukuman ringan yang di berikan Pak Ramon adalah mencabut rumput di taman belakang yang memiliki luas 250 m² menggunakan tangan dalam waktu satu jam. Itu hukuman yang paling ringan, kalian bisa membayangkan hukuman beratnya? Tentu saja lebih s***s dari hukuman di atas. Makanya jangan sekali-kali berurusan dengan Pak Ramon kalo tidak ingin di paksa kerja Rodi olehnya. Hal pertama yang selalu ia dapatkan kala kakinya menginjak lantai sekolah adalah tatapan meremehkan dan kebencian yang tidak mendasar yang di layangkan orang-orang padanya. "Kenapa gue harus s**l sih hari ini? Liat anak haram di depan mata gue." "Kata nyokap gue dia tuh anak pembawa s**l loh." "Oh ya?" "Iya! Gue satu komplek sama anak haram itu dan gue ga pernah tuh liat bokap nya di rumah." "Mungkin dia kerja kali." "Kerja sampe ga pulang bertahun-tahun? Ya kali!" "Seharusnya anak haram kayak dia tuh ga perlu sekolah disini. Mencemarkan nama baik sekolah kita aja." Hinaan yang di lontarkan oleh murid-murid yang ia lewati, Ghifari anggap sebagai angin lalu. Remaja itu hanya memandang datar ke depan, tanpa memperdulikan celotehan tak berguna orang-orang. Pintu kelasnya hanya tinggal berjarak lima langkah lagi, Namun seruan dari arah belakang yang memanggilnya membuat Ghifari refleks menghentikan langkahnya. Ia hendak berbalik ke belakang, tapi urung ketika sebuah tangan bertengger di pundak. "Anjir lo tau? gue hampir aja telat. Tinggal satu detik lagi, kalo gue ga gercep masuk gerbang. Dah lah, siap-siap di hukum Pak Ramon," celoteh orang itu. Ghifari hanya diam, sembari membawa langkahnya menuju kelas di ikuti oleh orang di sampingnya yang masih setia merangkul pundaknya. Di sepanjang langkah mereka, orang di samping Ghifari terus saja berceloteh. Menceritakan apa saja yang ia lihat dan ia dengar pada saat ia berangkat menuju sekolah dan Ghifari hanya diam, mendengarkan. "Wahh.. Dua pembawa s**l di kelas kita akhirnya datang guys. Padahal gue harap mereka lenyap dari muka bumi. Dasar sampah!" Rangkulan Rafli di pundak Ghifari terlepas, ketika mereka berdua di sambut dengan kata-kata pedas seorang laki-laki yang memiliki kedudukan sebagai ketua kelas di XI-IPA 2. Kini Ghifari dan Rafli menjadi tontonan warga kelas, membuat Ghifari menghela nafas pelan. Mereka baru sampai di ambang pintu dan langsung mendapatkan hinaan serta tatapan meremehkan dari teman sekelasnya. Benar-benar membuat Ghifari jengah sendiri. Apakah hidup mereka hanya tentang mengurusi hidup orang lain? Kurang kerjaan memang. "Ga usah di dengerin, kita duduk aja," ucap Ghifari yang melanjutkan langkahnya menuju bangku paling pojok diikuti Rafli dari belakang. Mengabaikan tatapan tajam teman sekelasnya. "Dah lah, ga usah ngurusin dua manusia sampah itu," seru ketua kelas bernama Dean kepada teman-temannya. Padahal yang mulai cari perkara duluan itu dia, tapi dia sendiri yang mengakhirinya. Kelas yang semula hening pun kembali riuh dengan celotehan para siswa serta gelak tawa yang saling bersahutan. Kini kita kembali lagi pada dua sahabat yang posisi duduknya memang sedikit terasingkan. "Oh ya, Ghif. Xello kemana? Kok gue belum liat dia," tanya Rafli sembari menoleh ke belakang. Tempat duduk Rafli memang berada di depan Ghifari. Sebangku dengan Axello-- sahabat bulenya. Sedangkan Ghifari duduk sendirian. Ghifari yang baru saja menelungkupkan kepalanya di atas meja langsung mengangkat kepalanya lantas mengedikan bahu tidak tau sebagai jawaban. "Ngalong dulu kali," balas Ghifari acuh mengundang dengusan sebal Rafli. "Ngalong? Lo pikir si Xello apaan." Ghifari tidak membalas, ia tampaknya sedang terlelap di atas lipatan tangan yang menyembunyikan wajah rupawan nya. Rafli yang melihatnya hanya menghela nafas pelan, tangannya terulur mengusap surai Ghifari. "Lo tidur aja yang nyenyak, kalo ada guru entar gue bangunin lo." Gumaman Ghifari menjadi balasan atas perkataan Rafli. Sesungging senyuman terulas di bibir Rafli. Ia sayang sekali dengan sahabat paling bontotnya itu, baginya Ghifari seperti adik yang harus ia jaga setiap waktu. Maka jangan heran kalo sikap Rafli pada Ghifari terkesan begitu berlebihan, bahkan banyak yang mengira kalo mereka berdua itu berpacaran, di lihat dari perlakuan Rafli pada Ghifari seperti perlakuan seorang kekasih. Tapi aslinya mereka tidak seperti itu kok, mereka itu murni sahabatan, tidak ada unsur apapun lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD