bc

Arini 2004 (Setengah Bungkus Mie Instan)

book_age18+
8.3K
FOLLOW
40.2K
READ
HE
age gap
sweet
bxg
bold
campus
professor
like
intro-logo
Blurb

Cerita yang berlatar tahun 2004

Sakit dan terluka, bukanlah suatu alasan untuk jatuh dan terpuruk.

Seperti Arini, gadis 18 tahun ini dikhianati orang-orang terdekatnya.Berasal dari keluarga kurang mampu, memaksa Arini mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Lulus SMA, dia menerima lamaran Dani, laki-laki mapan yang mengaku mencintainya. Akan tetapi, beberapa bulan sebelum pernikahan, dunianya luluh lantak ketika Yuni, sepupunya mengatakan dia mengandung anak Dani.

Menjadikan luka dan dendam sebagai batu loncatan, Arini kembali mengais mimpi yang telah dia kubur.

Dia bersumpah, suatu hari nanti akan melompat lebih tinggi.

chap-preview
Free preview
1. Luka
Tahun 2004 "Sudah belum, ya?" Arini meremas perutnya yang terasa melilit karena lapar. Hari ini dia lupa, apakah sudah makan atau belum. Kondisi membuatnya menjatah dirinya untuk makan satu kali sehari. Dalam satu Minggu terakhir, jatah itu hanya berupa setengah bungkus mie instan yang dimasak dengan kuah yang dibanyakkan. Lima bulan yang lalu, Arini bersikeras untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Padahal dia tahu, resiko yang akan dihadapinya pasti seperti saat ini. Lapar dan kesusahan. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya sebenarnya sudah melarang dan menyerah, sebab kondisi ekonomi mereka yang memang tidak mampu. Jangankan biaya kuliah, saat Arini masih duduk di bangku SMA saja, mereka sejatinya sudah mengeluh. Akan tetapi, sebuah tragedi membuat Arini kukuh memaksakan kehendak. "Tolong ijinkan Arini pergi, Bu." Malam itu Arini bersimpuh di kaki Arma, wanita yang telah melahirkannya. "Arini sakit kalau terus di sini. Arini enggak kuat," isaknya pilu. Tak ubahnya Arini, Arma pun menangis tersedu. Seharusnya Arini menikah setamatnya dia SMA. Gadis yang bercita-cita menjadi guru itu sudah bersedia mengubur impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, lalu menikah dengan laki-laki yang melamarnya. Adalah Dani, laki-laki berusia 27 tahun, lebih tua sembilan tahun darinya yang mengaku mencintainya. Keluarga Arini setuju mereka menikah, sebab Dani dinilai memiliki masa depan yang cerah. Dia merupakan PNS di sebuah kantor pemerintahan di kota kecil tempat mereka tinggal. Arini dan Dani tinggal di kelurahan yang sama. Sering bertemu membuat keduanya menambatkan hati. Setahun menjalin hubungan sudah cukup bagi mereka untuk memutuskan melangkah ke jenjang pernikahan. Kedua pihak keluarga sudah saling temu rembug. Mereka telah sepakat untuk melanjutkan hubungan Arini dan Dani ke jenjang yang lebih serius. Akan tetapi, seminggu setelah pengumuman kelulusan Arini dari SMA, dan empat bulan menjelang pernikahannya, tiba-tiba berita mengejutkan sekaligus menyakitkan itu dia terima. "Aku hamil dan ayah dari anak ini Dani," ucap Yuni, teman sekelas Arini yang juga merupakan sepupunya, "sudah tiga bulan." Pengakuan yang benar-benar meluluhlantakkan hati Arini. Padahal selama ini, Yuni tampak begitu mendukung hubungannya dengan Dani. Arini kerap menceritakan tentang Dani pada Yuni, dan meminta pendapat sepupunya itu akan hubungan mereka. Yuni selalu antusias mendengar cerita Arini. Siapa mengira, jika ternyata dia pun menjalin hubungan dengan lelaki yang sama bahkan lebih jauh, hingga menyebabkan dirinya berbadan dua. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Seperti luka yang ditorehkan di atas luka, dikhianati orang terdekat yang disayangi dan dipercaya, sakitnya terasa berlipat-lipat. "Maafkan aku Arini, sebenarnya aku tidak mencintai kamu. Aku memang mencintai Yuni sejak awal. Tapi, dia begitu susah untuk didekati. Jadi aku mendekati kamu, agar bisa mendekati dia." Semakin terserak hati Arini mendengar penjelasan Dani. Bagaimana laki-laki itu bisa berpikir menjadikan dirinya batu loncatan atas perasaan pribadinya. Benar-benar tidak menimbang rasa, hanya memikirkan diri sendiri. Setelah hari itu, hari-hari Arini diisi oleh pemandangan yang selalu mengiris hatinya. Dani dan Yuni yang kemudian menikah dalam waktu dekat, seolah tanpa sungkan menunjukkan kemesraan di depannya, sama sekali tidak peduli betapa sakit yang dia rasakan. "Ibu merestui kamu, Arini. Pergilah, raih cita-citamu, obati lukamu." Arma mengusap kepala Arini sambil tergugu. Arini adalah putri bungsunya. Berat rasanya dia untuk melepasnya pergi. Akan tetapi, berat pula dia melihat gadis itu selalu menitikkan air mata setiap menatap kemesraan Dani dan Yuni. Sebagai ibu, Arma dapat merasakan begitu patahnya hati Arini. Sebuah dompet kumal berlogo toko emas dia ulurkan kepada Arini. "Ambil ini, Nak. Ibu hanya punya ini. Jual dan gunakan untuk keperluanmu. Kamu anak baik dan berbakti. Ibu yakin, Allah akan memudahkan langkahmu." Maka hari itu, Arini melangkah dengan meninggalkan luka dan dendam, membasuh perih dengan air mata, menjadikannya batu loncatan untuk melompat lebih tinggi suatu hari nanti. Arini melangkah dengan berbekal restu sang Ibu yang dia yakini selalu menembus langit. Dia mengambil seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur PMDK yang dulu dia ikuti diam-diam dan dinyatakan lulus. Berbekal hasil penjualan perhiasan ibunya senilai Rp 500.000,00 dan tabungan beasiswanya selama SMA sebesar Rp 1.500.000,00, Arini memulai lembaran baru. Dia meninggalkan kampung halamannya di Kota Ngabang, menuju ibukota propinsi di mana Universitas Negeri satu-satunya di bumi Borneo itu berada. *** "Rin, lagi makan?" Arini gelagapan ketika Risa, teman satu kostnya tiba-tiba datang ke kamarnya. Ia segera meletakkan mangkuk mie instan yang dinikmati perlahan agar tidak cepat habis ke sudut tersembunyi. Kuah mie yang seharusnya berwarna, menyisakan bening karena kuahnya tidak sesuai takaran. Arini sengaja menambahkan banyak kuah, agar bisa lebih mengenyangkan. Meskipun Arini cekatan menyembunyikan makanannya, Risa masih bisa menangkap isi mangkuk sahabatnya itu. Lebih banyak kuah, sementara mie hanya beberapa lembar. Sebenarnya tadi dia sudah menawarkan nasi agar Arini lebih kenyang, tetapi gadis itu menolak. Risa tahu, Arini kerap mendapat cibiran dari teman kost yang lain karena selalu meminjam kompor miliknya jika hendak memasak. Arini tidak ingin dicibir lebih dalam, jadi dia menolak pemberiannya. Arini tidak memiliki kompor. Tidak ada dana lebih untuknya membeli barang itu. Jika keuangan masih lumayan, Arini lebih memilih untuk membeli nasi bungkus seharga lima ribu di warung sekitar kampus. Jika keuangan benar-benar menipis, dia hanya membeli mie instan dan menumpang kompor Risa untuk memasak. Tidak jarang, jika terlalu sungkan untuk meminjam kompor, Arini hanya merendam mie instannya dengan air putih. "Eh, iya, Sa," sahut Arini setelah ia berhasil menyembunyikan mangkuknya, "ada apa, Sa?" Ia bertanya kikuk karena merasa terkejut atas kedatangan Risa yang tiba-tiba. "Ada telepon dari orang tuamu, Rin." Risa mengulurkan ponselnya kepada Arini. Sontak mata Arini berbinar. Dia memang meminta ijin pada Risa untuk memberikan nomor ponselnya pada keluarganya. Dia sendiri tidak memiliki alat komunikasi itu. Begitu pula keluarganya. Akan tetapi, keluarganya bisa menghubungi dengan meminjam ponsel tetangga atau menelepon melalui wartel. "Benaran, Sa?" "Iya." Risa mengangguk tidak kalah bahagia setelah melihat binar di mata Arini, "Kamu ngobrollah dengan orang tuamu. Aku kembali ke kamar," lanjutnya. "Terima kasih, Sa." "Sama-sama." Bibir Arini bergetar ketika dia menyapa Arma di ujung telepon, wanita yang sangat dirindukannya. Air matanya begitu saja mengalir. Selama lima bulan ini, tidak pernah dia pulang atau sekadar menelepon. Hanya sepucuk surat dia kirimkan melalui orang satu kampung yang tidak sengaja dia temui sedang berada di kota khatulistiwa ini. Nomor Risa ini pun dia kirimkan melalui surat itu. "Ibu apa kabar? Baik 'kan?" ucapnya menahan serak. Dia tidak ingin tangisnya terdengar, meskipun hanya sekadar tangis kerinduan. Dia tidak ingin membuat wanita yang mulai lanjut usia itu bersedih. "Baik, Nak. Alhamdulillah. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?" "Arini juga baik, Bu. Alhamdulillah." "Alhamdulillah kalau begitu. Sekarang kamu lagi apa? Sudah makan?" "Sekarang ini Arini lagi makan, Bu," terang Arini. "Oh, pakai apa?" "Ini ... Arini lagi makan mie." "Makan mie?" "Iya, Bu." "Jangan makan mie terus, Nak. Enggak sehat." "Lagi pengen, Bu. Sesekali 'kan enggak apa." "Oh, iya. Kalau sesekali enggak apa. Jangan lupa pakai nasi." "Iya, Bu." Arini menggigit bibir. Tidak mungkin dia memberitahu Arma yang sebenarnya, bahwa hari-hari hanya mie instan yang mengganjal perutnya. Itu pun hanya separuh. Tidak ada nasi seperti yang beliau titahkan. Arma sama halnya dengan ibu-ibu se-Indonesia, bahwa makan apapun haruslah dengan nasi. "Ya, sudah, Nak. Ibu hanya memberi tahu, ibu ada titip uang sama Eka, anaknya Pak Hadi. Dia ada pulang, dan hari ini kembali ke Pontianak." "Ibu kirim uang?" "Iya." "Berapa?" "Enam ratus ribu." "Banyak sekali. Seharusnya ibu tidak perlu kirim uang. Uang pemberian dari Kak Aisyah masih cukup." Arini tidak munafik, dia sangat butuh uang yang dikirim Arma. Akan tetapi, dia tahu bagaimana sebagai petani, kedua orang tuanya yang sudah memasuki usia lebih dari setengah abad itu pasti membanting tulang untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Aisyah adalah kakak kedua Arini. Dia merupakan satu-satunya saudara Arini yang bernasib mujur. Aisyah saat sekolah merantau dan ikut tinggal bersama orang. Sifatnya yang penurut dan rajin membuat orang itu dengan senang hati membiayai sekolahnya hingga SPK. Sekarang Aisyah menjadi perawat PNS di rumah sakit daerah Ketapang. Setelah mengetahui Arini melanjutkan kuliah, Aisyah mengirim uang sebesar Rp 300.000,00 setiap bulan. Jumlah yang tidak besar, tetapi sangat disyukuri Arini. Dia tidak bisa menuntut lebih, sebab Aisyah pun baru memulai hidup bersama keluarga kecilnya. Rp 300.000,00 jauh dari kata cukup untuk Arini memenuhi kebutuhan hidup. Dia masih harus membayar urunan listrik dan PDAM kost sebesar Rp 70.000,00 setiap bulan. Kuliah di jurusan Pendidikan MIPA program studi Pendidikan Biologi, tugas laporan praktikum seolah tidak pernah ada habisnya, yang tentu saja menguras biaya. Sementara orang tua Arini, sejak lima bulan ini memang tidak pernah berkirim uang. Selain keterbatasan komunikasi dan transportasi, memang kondisi keuangan yang tidak memungkinkan. "Enggak apa-apa, Rin. Ibu tahu, ini juga pasti sangat sedikit. Tapi, ibu hanya bisa kirim segini. Uang ini bukan dari Bapak dan ibu semua. Tapi juga dari kakak-kakakmu." "Iya, Bu. Terima kasih." Arini nyaris tidak bisa menyembunyikan tangis harunya. "Baik-baik di sana, ya, Rin. Ibu yakin kamu pasti sukses. Semoga di sana kamu bisa menemukan jodoh laki-laki yang shaleh, setia, dan mapan. Tentunya jauh lebih baik dari Dani. Ibu rindu kamu, Rin. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Arini terduduk sembari tergugu. Kata rindu dari Arma tidak sanggup dia balas. Begitu sesak rasa rindu itu di dadanya. "Tunggulah, Bu, Pak, dan Kakak semua. Aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku akan belajar dengan baik dan membuat kalian bangga," isaknya pelan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook