11. Masa Lalu - Bertemu Kembali

1039 Words
Aldrik menyimpan paspor dan dokumen penunjang untuk perjalanan kedalam jaket denim yang dia pakai. Hari ini pria itu akan kembali ke Dubai. Akan banyak pekerjaan yang menunggunya di sana karena satu pekan berada di Indonesia, Aldrik tidak di izinkan maminya untuk membuka tab yang dia bawa untuk bekerja. "Ola mana Mi ?" Tanya Aldrik sambil menarik kursi meja makan karena tidak melihat Ola. "Masih di kamar." Jawab Hanin. Tidak berapa lama terdengar suara mobil dari luar rumah. "Sepertinya Edward sudah datang." Ucap Aldrik sambil menyendok nasi ke mulutnya. Edward, pria berkaca mata yang merupakan sahabat Altherr yang akan mengantar Aldrik ke bandara malam ini. Aldrik harus segera kembali ke Dubai, karena pekerjaan yang dia tinggalkan sudah cukup lama. Bagi Aldrik satu pekan itu sudah sangat lama jika harus dia lalui tanpa berkutat dengan pekerjaan. Jika bukan karena paksaan Ola untuk lebih lama berada di negara itu mungkin Aldrik saat ini sudah berada di ruang kerjanya, bercengkrama dengan tumpukan kertas dan layar monitor yang selama ini dijadikan pengusir keinginan pada seseorang yang semakin berakar di benak dan hatinya. "Selamat malam Tante Hanin, Om Adam" Seperti biasa Edward, pria berkacamata dan karismatik itu selalu tersenyum ramah. Adam dan Hanin tersenyum ramah menjawab sapa Edward "Ayo duduk Ed, sekalian makan malam, pasti kamu belum makan kan ?" Adam mempersilakan Edward untuk duduk. Edward menarik kursi meja makan lalu duduk di samping Aldrik, Hanin mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi putih. "Makan yang banyak, Tante perhatikan kamu tambah kurus Ed" Ucap Hanin sembari meletakan piring yang berisi nasi ke meja Edward. "Terimakasi Tan, kalau saja Tante tinggal di sini lebih lama lagi, berat badanku akan bertambah dengan cepat." Seloroh Edward. "Bilang saja mau makan gratis di sini." Sambar Aldrik, Mendengar ucapan Aldrik, Adam menjitak kepala anaknya itu. Namun Edward hanya tertawa menanggapi ucapan Aldrik. "Ola jadi ikut ?" Tanya Edward saat mereka sudah selesai makan malam. Sebelumnya Ola yang ingin mengantar Aldrik ke bandara, dikarenakan mang Suryo yang bertugas merawat rumah itu saat mereka berada di Swiss di jam yang sama juga harus mengantar Adam untuk cek kesehatan, beberapa hari ini Adam merasa kondisi kesehatan tubuhnya menurun. Adam dan Aldrik tentu saja tidak akan pernah mengizinkan Ola untuk mengendarai mobil sendiri tanpa prngawasan, kedua lelaki itu bukannya belum yakin dengan kemampuan Ola mengendarai mobil, namun lebih ke perasaan cemas jika terjadi sesuatu di jalan saat gadis itu menyetir sendiri, karen itulah Edward yang akhirnya dimintai tolong untuk mengantar Aldrik ke bandara. Aldrik berdecak kesal, jalan di kota besar itu terlihat padat dari biasanya dikarenakan hari itu akhir pekan, sehingga intesitas kendaraan di jalan menjadi lebih meningkat dan menyebabkan laju kendaraan menjadi lamban. "Sampai kapan kota ini berkutat dengan kemacetan." Umpat Aldrik yang duduk di kursi penumpang bagian depan. Edward melirik ke arah Aldrik, pria berkacamata itu lalu tersenyum. "Selagi mobil masih bisa berjalan, itu namanya belum macet." Aldrik mendengus mendengar jawaban Edward. Lebih dari separoh usianya Aldrik lalui di Swiss tepatnya di kota Zurich, sehingga kemacetan bagi pria itu merupakan hal yang merugikan karena waktu produktif akan terbuang sia-sia. "Makanya Tuan Muda Aldrik, seringlah pulang ke tanah air, biar tahu macet itu seperti apa" Ola juga ikut mengiyakan kata-kata Edward. Aldrik memutar badannya ke arah kursi penumpang bagian belakang "Apa Tuan Putri Lutolf sudah terbiasa dengan keadaan ini ?" Aldrik menautkan kedua alisnya seakan tidak percaya. "Tepatnya sudah menikmati keadaan ini." Jawab Ola sembari tersenyum menaikan alisnya, Aldrik menghela nafas lalu kembali duduk seperti semula. "Kamu akan menjadi lebih cepat tua karena keadaan ini." Mendengar ucapan Aldrik Edward dan Ola tertawa bersamaan, Aldrik melirik kesal pada Edward. "Apa kamu pikir jalan yang kamu anggap macet ini berpotensi menambah usia seseorang sepuluh tahun lebih tua Ald ?" Aldrik hanya mendengus mendengar pertanyaan Edward. *** Ceyda menarik kopernya yang tidak terlalu besar, gadis itu berjalan dengan langkah lebar bahkan sedikit berlari, gadis itu mengerutu, karena kesalahan Kaisar mobil yang mereka tumpangi berhenti jauh dari terminal keberangkatan seharusnya. Kaisar juga tampak berlari mengikuti langkah Ceyda dengan menenteng dua tas besar di pundaknya. Pria itu juga tampak panik karena merasa bersalah jika gadis itu nanti tertinggal penerbangan. Walaupun Ceyda sudah check-in online empat jam yang lalu. Langkah Kaisar juga terhenti saat langkah Ceyda terhenti, gadis itu terdiam, saat tatapannya bertemu dengan mata pria yang selama ini dia rindukan. Kaisar menghela nafas saat menyadari arah pandang Ceyda. Tidak berapa detik Ceyda berjalan lebih cepat, namun arah yang gadis itu tuju bukan terminal keberangkatan maskapai penerbangan yang dia tumpangi. Kaisar menarik tangan Ceyda untuk berhenti. "Hentikan Ceyda, kamu akan ketinggalan pesawat !" Kaisar mengingatkan gadis keras kepala itu, namun Ceyda mengibaskan tangan Kaisar dan berlari meninggalkan koper yang dia derek tadi. Kaisar menghela nafas dan menatap nanar pada Ceyda yang berlari menjauhinya. Ceyda menarik tangan pria yang baru saja dia kejar, nafas gadis itu sedikit terengah-engah namun, kerinduan sangat ketara di mata gadis itu. Aldrik Bagaskara Lutolf, pria yang selama ini gadis itu impikan, dan saat ini pria itu berada di hadapannya namun dengan tatapan dingin. Mata Ceyda terasa panas, tanpa bisa dia kendalikan bulir hangat itu mengalir begitu saja dari sudut matanya. Aldrik menghela nafas, lalu melepaskan cengkraman tangan Ceyda di pegelangan tangannya, namun Ceyda mancengkram tangan Aldrik semakin kuat. Gadis itu menarik nafas menahan isakannya. "Apa aku hanya seperti orang asing bagimu Kak ? Sampai kamu mengabaikan aku seperti tadi ?" Tanya Ceyda pada pria yang masih menatapnya dengan dingin. Ceyda menyeka air matanya dengan kasar, lalu gadis itu tersenyum pilu menatap Aldrik. "Kamu sangat tahu kan betapa aku menantikan saat seperti ini. Bisa mlihatmu kembali, itu harapan yang setiap saat aku inginkan." Ceyda kembali menghela nafas. "Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan, setidaknya agar kita bisa kembali seperti dulu lagi ?" Ceyda menatap nanar pada Aldrik. "Kamu tidak perlu melakukan apapun. Cukup pahami saja, keadaan telah merubah segalanya." Tatapan dingin Aldrik belum juga berubah. "Kita sudah dewasa, dan aku memiliki pilihan untuk menjalin pertemanan atau tidak dengan siapa pun." Sambung Aldrik. "Seharusnya kamu menyadarinya. Aku merasa tidak nyaman jika kamu berada di sekitarku. Dan hentikan mengirimi aku pesan-pesan bodoh itu." Lidah Ceyda terasa kelu mendengar semua ucapan Aldrik. bahu gadis itu bergetar karena menahan tangis, sehingga Aldrik melepaskan cengkraman tangan Ceyda dengan mudahnya. Pria itu lalu berlalu dari hadapan Ceyda yang mematung dengan tatapan kosong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD