10. Masa Lalu - Melihat Ceyda

2471 Words
Aldrik berdiri di sebelah pertisi pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Tas ransel masih bertengger di pundak pria yang memiliki tinggi 180 cm itu, Aldrik tersenyum kikuk sambil menggusap tengkuknya. Wajah datar adik perempuannya membuat Aldrik bergedik ngeri. Bagaimana tidak, Aldrik tidak sempat datang di acara wisuda Ola dikarenakan pesawat yang Aldrik tumpangi mengalami delay cukup lama saat transit di Qatar. Aldrik meletakan tas ranselnya di sofa panjang yang dulu biasa di gunakan keluarga Lutolf untuk duduk santai bahkan sambil tiduran sembari membahas hal-hal yang menyenangkan. "I'm so sorry Princess. Penerbangan di delay cukup lama." Bujuk Aldrik mendekati adiknya, Ola bergeming, gadis itu kecewa karena semua rencananya gagal, Ola ingin mengenalkan Aldrik dengan sahabatnya Aiyla Xiomara. Gadis itu berharap Aldrik dan Aiyla akan tertarik satu sama lain, namun rencana itu gagal karena Aldrik tidak hadir saat acara penting gadis itu, dan Aiyla saat ini juga sudah kembali ke kampung halamannya. "Princess, kamu masih marah ? Abang balik lagi nih ke Dubai." Ola menghela nafas mendengar ucapan dan wajah memelas Aldrik. "Abang niat ngak sih datang ke wisudanya Ola ?" Tanya Ola penuh dengan rasa kecewa. "Maaf, Abang sudah mengusahakan sebisa mungkin." Balas Aldrik "Ada banyak meeting yang terpaksa abang cancel agar bisa datang tepat waktu, tapi ternyata saat transit penerbangan di delay cukup lama." Desah Aldrik menjelaskan pada adik kesayangannya itu. Ola menarik nafas, gadis itu tidak tega melihat wajah memelas dan rasa bersalah dari Aldrik, Ola lalu mendekat dan memeluk Aldrik. Rasa rindu kepada Aldrik membuat amarah dan rasa kecewa Ola cepat mereda. "Mami, Papi tidak ada di rumah ?" Tanya Aldrik sembari mengusap rambut Ola, karna sangat tidak mungkin kedua orang tua itu tidak menyambut kedatangan putranya. "Ke rumah Tante Rahayu." Jawab Ola "Mmm." Ucap Aldrik sembari berjalan ke pintu kaca penghubung antara ruang keluarga dengan taman. "Mbak Ceyda sedang ada di sini." Aldrik menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Ola. "Di sini ?" Tanya Aldrik lagi meyakinkan pendengarannya, dan menerima anggukan dari Ola, mata Aldrik mengitari seluruh ruangan, pria itu tidak mendapati bayangan Ceyda sekalipun. "Bukan di rumah ini Bang, tapi sedang ada di Jakarta." Ucap Ola yang juga mengamati tingkah Aldrik, Aldrik meghela nafas lega, lalu melanjutan langkahnya menuju taman samping rumah. "Seminggu yang lalu aku bertemu mbak Ceyda, dia bertanya kabar Abang." Ola mengikuti langkah Aldrik. Ola bertemu Ceyda saat mengantar Hanin kerumah Rahayu. Saat itu Ceyda hendak pergi bersama Kaira, sehingga mereka tidak sempat berbincang lebih lama. "Apa benar Abang tidak pernah membalas pesan dari dia ?" Tanya Ola, saat mereka berhenti di bawah pohon matoa yang sedang berbuah. Aldrik lalu duduk di kursi santai yang terbuat dari rotan yang diletakan di bawah pohon matoa, Ola juga duduk di samping Aldrik, mereka duduk menghadap kolam renang yang airnya terlihat menyegarkan karena pantulan dari langit yang cuacanya sangat cerah hari itu. "Aku sibuk Princess, tidak memiliki waktu untuk menanggapi pesan yang tidak penting." Ola menghela nafas mendengar jawaban Aldrik. "Walaupun sekarang kalian sudah sama-sama dewasa, tapi ingatlah kalian pernah bersahabat sewaktu kecil." Ucap Ola, gadis itu mengalihkan pandangannya pada Aldrik. "Setidaknya bersikap baiklah pada mbak Ceyda, walaupun kalian tidak sedekat dulu." Sambung Ola, Aldrik menatap nanar pada adiknya itu. "Aku tidak bisa menerima kenyataan ini Princess." Ola mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Aldrik. "Kenyataan apa ?" Tanya Ola dengan wajah bingung. "Kenyataan bahwa adik kesayanganku ini ternyata sudah dewasa dan bijaksana." Jawab Aldrik dengan wajah berubah bangga. "Tapi sayang, masih suka ambekan." Ola membesarkan bola matanya tanda tidak suka dengan pernyataan Aldrik, namun Aldrik malah tertawa melihat reaksi Ola. "Semua tidak lagi sama, aku tidak bisa bersikap seperti dulu lagi pada gadis itu." Ucap Aldrik yang hanya diungkapkan dalam hati sambil menepuk-nepuk puncak kepala adiknya itu. **** Setelah menemani Ola ke apartemen gadis itu untuk memindahkan pakaian dan barang-barang yang tidak dibutuhkan gadis itu lagi ke rumah mereka, Aldrik lalu pamit untuk pergi ke suatu tempat yang menjadi salah satu tujuan pria itu saat merencanakan pulang ke Indonesia. Sudah lima hari Aldrik pulang ke Indonesia dan tak sekalipun Aldrik meninggalkan kediamannya, pria itu lebih betah bermalas-malasan di atas sofa empuk yang terletak di teras samping rumah yang menghadap kolam renang sambil menikmati buah matoa, makanan dan cemilan yang di buat maminya, Aldrik lebih betah mendengar omelan maminya setiap hari dari pada keluyuran di ibu kota negara itu dan Aldrik juga lebih memilih menemani papinya bermain catur walaupun Aldrik tidak pernah memperoleh kemenangan. Aldrik duduk di salah satu coffee shop yang cukup terkenal di kota itu, coffee shop itu milik Kaisar Jatmika Hardi salah satu teman SMA Aldrik yang juga satu tim basket dengannya, walaupun Aldrik tidak begitu akrab dengan Kaisar namun coffee shop yang sering di posting oleh Kaisar cukup membuat Aldrik penasaran. Sebelum kembali ke Dubai Aldrik menyempatkan diri untuk mengunjungi coffee shop itu, mungkin saja di sana Aldrik bisa bertemu dengan pemilik coffee shop dan beberapa temannya sewaktu SMA dulu. Aldrik memang tidak begitu aktif berkomunikasi dengan teman satu angkatan sewaktu sekolah menengah atas dulunya selain dengan Alex yang saat ini menjadi asisten pribadi Altherr, kakak laki-laki Aldrik. Aldrik menyeruput americano yang baru beberapa menit diantarkan ke mejanya. Pria itu memilih duduk di bagian coffee shop yang interiornya tidak begitu mencolok biasa tempat itu umumnya lebih sepi karena pengunjung lebih memilih duduk di tempat yang interiornya lebih menarik untuk diabadaikan dengan kamera. Aldrik menyipitkan pandangannya, menatap ke meja bar yang berjarak lebih kurang sepuluh meter sebelah kiri dari tempat pria itu duduk, di sana terlihat seorang gadis dengan rambut terurai sedang asik memainkan ponsel di tangannya, beberapa detik kemudian seorang pria yang Aldrik kenal sebagai pemilik coffee shop menghampiri gadis itu lalu menyerahkan setangkai mawar merah untuknya. Gadis itu tersenyum hangat lalu meletakan bunga itu di atas meja bar. Aldrik mengalihkan pandangannya, pria itu merapikan topi baseball cap yang dia pakai untuk menyamarkan wajahnya, Aldrik kembali menyesap americano hangatnya, dan beberapa menit kemudian Aldrik tidak mampu menahan dirinya untuk tidak kembali menoleh ke arah meja bar, dan gadis itu masih berada di sana, gadis itu sedang tertawa sembari mendengar Kaisar si pemilik coffee shop berbicara di depannya, Kaisar yang telah memakai apron itu juga tersenyum lebar menatap pada gadis itu, sebagai seorang pria Aldrik tahu arti senyum dan tatapan mata Kaisar, Aldrik menghela nafas lalu kembali mengalihkan pandangannya. Tidak sampai lima menit setelah itu, Aldrik lalu berdiri dan berjalan menuju pintu coffee shop. Kaisar yang saat itu masih bercanda dengan gadis yang ada di depannya memperhatikan pria yang berjalan kearah pintu keluar coffee shop, Kaisar menyipitkan matanya untuk meyakinkan pandangan dan dugaannya pada tamu coffee shop miliknya itu. "Ada apa ?" Tanya gadis yang duduk di depan Kaisar mengikuti arah pandang Kaisar. "Aku seperti melihat seseorang yang aku kenal." Ucap Kaisar. "Siapa ?" Tanya gadis itu. Kaisar lalu tersenyum menatap ke mata gadis yang duduk diseberang meja bar tempat pria itu berdiri. "Sepertinya aku salah orang." Jawab Kaisar, gadis itu mengangkat alisnya karena tidak yakin dengan jawaban Kaisar. "Tidak mungkin Kaisar Jatmika Hardi sampai salah mengenali orang." Ucap gadis itu tidak percaya. "Itulah kelemahanku, aku akan mudah melupakan hal yang tidak penting dalam hidupku, kecuali kamu nona Cey Da." Ucap Kaisar mengeja nama Ceyda sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda Ceyda, gadis itu mencebikan bibirnya menanggapi ucapan Kaisar, namun pria itu tertawa melihat reaksi Ceyda sambil melangkah menjahui Ceyda ke arah ruang belakang meja bar. "Aku tidak akan membiarkanmu melukai perasaan dia lagi Aldrik Bagaskara Lutolf." Ucap Kaisar dalam hati. *** Aldrik menghentikan mobilnya di depan sebuah halte, halte yang terlihat jauh berbeda saat dia masih menggunakan seragam putih abu-abu. Aldrik kemudian memajukan mobilnya dan berhenti di depan gerbang sekolah, pria itu memparkirkan mobilnya di sana. Aldrik lalu berjalan ke arah halte. Pria itu berdiri menatap ke arah kiri jalan. Jalan itu hanya akan ramai saat aktifitas di sekolah berjalan, tidak pada tanggal merah seperti ini. Jejak gerimis yang baru saja turun meninggalkan bekas pada aspal yang kering dan perlahan aspal itu semakin basah dengan turunya air langit yang semakin deras. Ingatan Aldrik seakan kembali pada saat itu, di saat sore hari dan di saat hujan membasahi jalan yang sama yang sedang dia tatap saat ini flashback. Sore itu Aldrik masih berdiri di gerbang sekolahnya, remaja itu masih menggunakan baju basket dan di punggungnya masih bertengger tas sekolah, diakhir pekan memang merupakan jadwal latihan basket remaja itu, siswa yang masih kelas satu di sekolah menegah atas ini sedang menunggu jemputannya. Cuaca sore itu cukup mendung, gumpalan awan hitam tampak berarak mengikuti alunan angin yang membawanya. Aldrik lalu berjalan ke arah barat dari gerbang sekolahnya. Sekitar tiga puluh meter dari gerbang terdapat halte, Aldrik sengaja menunggu jemputannya di halte karena langit sore itu seperti tidak bersahabat, dan saat Aldrik baru sampai di halte hujan langsung turun dengan derasnya tanpa diawali oleh merdunya suara gerimis, supir keluarga Aldrik sangat tahu jika saat hujan seperti ini Aldrik pasti akan menunggunya di halte. Sudah hampir satu jam lebih Aldrik menunggu jemputan, namun supir yang biasa mengantar jemput Aldrik dan abangnya Altherr belum juga sampai. Aldirk mendekap kedua tangannya kedepan untuk menghalau rasa dingin dan juga percikan air hujan yang menerpa tubuhnya karena hembusan angin, di halte itu hanya ada Aldrik karena para siswa yang memiliki jadwal ekstrakurikuler sudah banyak yang pulang. Aldrik mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu menekan tombol power untuk mencoba menghidupkan ponsel itu kembali, tetapi tidak bisa karena baterai ponsel itu sudah habis. Aldrik berjongkok di atas kursi halte yang terbuat dari besi, air hujan tampak menggenangi lekukan bagian tengah kursi panjang itu karena rembesan atap halte yang bocor. Tampak kecemasan di wajah remaja itu karena tidak biasanya supir keluarga mereka terlambat menjemputnya sampai waktu selama ini apa lagi dalam cuaca seperti ini, remaja itu cemas jika terjadi sesuatu pada omanya, saat Aldrik dan Altherr berangkat sekolah pagi tadi Oma terlihat kurang sehat. Aldrik sebenarnya ingin pulang naik bus atau taxi tapi uang saku yang dia bawa tadi habis untuk membantu membayar uang sekolah Alex sahabatnya, Aldrik tidak ingin sahabatnya itu tidak di izinkan untuk mengikuti ujian karena belum membayar uang sekolah. Tidak berapa lama sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan Aldrik, remaja itu mengamati sedan hitam itu, Aldrik menghela nafas saat kaca mobil di bangku penumpang belakang diturunkan, seorang remaja cantik tersenyum dengan manis ke arah Aldrik, remaja cantik iti berbicara pada Aldrik, namun Aldrik tidak mendengarnya karena suara gadis cantik itu teredam oleh suara hujan, Aldrik memalingkan wajahnya karena tidak ingin mengubris gadis itu, namun tidak berapa lama gadis itu malah berdiri di depan Aldrik, masih dengan senyuman yang sangat manis. "Kak Aldrik ngapain hujan-hujan di sini ?" Tanya gadis itu, Aldrik menghela nafas, setiap kali berhadapan dengan gadis itu ujung-ujungnya hanya membuat Aldrik kesal. "Main hujan." Ucap Aldrik ketus. "Ceyda temenin yah." Ucap gadis itu lalu pindah berdiri di samping Aldrik. "Ngak perlu, pergi sana !" Usir Aldrik masih dengan nada ketus. "Ngak apa-apa kok, Ceyda ikhlas nemenin kak Aldrik." Ucap Ceyda. "Gua yang gak ikhlas." Ceyda terdiam mendengar ucapan ketus Aldrik, wajah Ceyda terlihat sedih, namun gadis itu kembali tersenyum. "Kak Aldrik kedinginan kan, pakai ini !" Ucap Ceyda mengulurkan hoodie yang dia bawa dari mobil tadi, Aldrik melirik hoodie itu lalu terenyum sinis, tangan Ceyda masih menggantung di udara karena Aldrik tidak mengambil hoodie yang Ceyda berikan. "Ini baru kok Kak, Ceyda baru beli tadi." Ucap Ceyda, Ceyda baru saja membeli hoodie itu di mall saat dia dan teman-temannya mencari baju seragam untuk acara ulang tahun salah satu sahabat Ceyda, Ceyda lalu melihat hoodie couple lalu membelinya, Ceyda memang ingin memberikan itu pada Aldrik, remaja yang merupakan cinta pertamanya. "Nanti kak Aldrik sakit lo, senin besok mau ujian kan." Ucap Ceyda mencoba membujuk Aldrik untuk menerima hoodie pemberiannya, Aldrik mendesah lalu bediri dan mengambil hoodie berwarna abu-abu itu dari Ceyda lalu memakainya, tubuh Aldrik merasa lebih nyaman setelah memakai hoodie itu. "Terimakasih." Ucap Aldrik, senyum Ceyda seketika mengembang mendengar ucapan terima kasih dari Aldrik, Ceyda ingin mengekspresikan betapa bahagianya dia saat Aldrik menerima pemberiannya, namun Ceyda menahan dirinya karena dia yakin reaksi Aldrik akan merusak suasana hati Ceyda nantinya. "Kak Aldrik habis main basket ?" Tanya Ceyda "Hmm." Jawab Aldrik singkat seperti orang yang tidak ingin diganggu. "Kak Aldrik kenapa belum pulang ? ekskul basket kan udah dari tadi bubarnya." Tanya Ceyda, Aldrik melirik Ceyda dengan tatapan heran, karena Ceyda seakan tahu jadwal bubar ekskul basket, sedangkan mereka berbeda sekolah dan tingkatan, Ceyda masih kelas tiga sekolah menengah pertama. "Kok kamu tahu ?" Tanya Aldrik "Aaa....i..itu, kakak teman Ceyda kan juga sekolah di sini." ucap Ceyda, Ceyda tidak berbohong karena memang kakak sahabatnya sekolah di tempat yang sama dengan Aldrik, Aldrik lalu mengangkat bahu seakan tidak peduli. "Kak Aldrik lagi menunggu jemputan ?" Tanya Ceyda lagi. "Hmm." Jawab Aldrik singkat. "Hujan tambah lebat kak, sebentar lagi magrib, biar Ceyda antar pulang." Ucap Ceyda, Aldrik menatap Ceyda tidak suka "Ya...i...itu kalau Kakak mau." Sambung Ceyda, Aldrik menghela nafas, untuk saat ini dia memang membutuhkan bantuan Ceyda. "Aku boleh pinjam ponsel kamu ?" Tanya Aldrik. "Tentu saja boleh Kak, ini pakai saja." ucap Ceyda mengulurkan ponsel yang baru dia ambil dari saku sweaternya. Aldrik menekan nomor abangnya Altherr. "Assalam'mualaikum." jawab Altherr. "Walaikumsalam, Bang ini aku." Ucap Aldrik. "Kamu udah nyampe rumah ?" Tanya Altherr dengan nada cemas. "Aku masih di halte, nunggu pak Rusdi." Ucap Aldrik, terdengar Altherr mengela nafas "Abang dari tadi menghubungimu, tapi ponsel Kamu tidak aktif, Oma dibawa ke rumah sakit, pak Rusdi juga lagi di rumah sakit, kamu pulang naik taxi saja." Wajah Aldrik langsung cemas mendengar ucapan Altherr. "Oma tidak apa-apa kan Bang ?" tanya Aldrik cemas. "Keadaan Oma sudah stabil, sebentar lagi juga pulang." Ucap Altherr, Aldrik bernafas lega karena oma tidak dirawat di rumah sakit yang berarti kondisi omanya itu baik-baik saja. "Terimakasih." Ucap Aldrik menyerahkan kembali handphone Ceyda. "Oma sakit lagi ?" Tanya Ceyda. "Iya." Ucap Aldrik mengehela nafas. "Aku antar Kakak pulang yah, nanti oma malah cemas kalau kak Aldrik belum juga pulang." Ucap Ceyda, Aldrik menatap gadis manis yang berdiri di sampingnya itu, Shahinaz Ceyda Hakeem teman masa kecilnya, tetapi Aldrik harus menjahui Ceyda karena ibu gadis itu tidak suka Aldrik berteman dengan putri kesayanganya, Aldrik Bagaskara Lutolf bocah kecil yang saat itu sangat peka dengan isyarat dan bahasa penolakan seseorang terhadap dirinya. "Aku bisa naik taxi." Ucap Aldrik "Tapi apa aku boleh meminjam uangmu ?" Sambung Aldrik "Tentu Kak, tunggu sebentar yah !" Ucap Ceyda sedikit berlari sambil menutup kepalanya dengan telapak tangan untuk menghindari air hujan, Ceyda masuk ke dalam mobil untuk mengambil uang yang dia simpan di dalam tasnya, Ceyda tidak ingin memaksa untuk mengantar Aldrik, Aldrik mau meminta bantuan dari Ceyda saja gadis itu sudah sangat senang, dan sekarang Aldrik malah membuka jalan untuk Ceyda bertemu lagi dengannya dengan alasan menagih uang pinjaman Aldrik. Ceyda tidak masalah bila dia terlihat seperti seorang penagih hutang yang selalu menguntit kemanapun Aldrik pergi, karena melihat Aldrik dari jauh saja sudah mampu membuat jantung gadis remaja itu berdebar-debar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD