bc

Zahra, makna keikhlasan (squeal Prince Vampire and Princess Muslims)

book_age4+
15
FOLLOW
1K
READ
manipulative
goodgirl
prince
princess
campus
city
horror
spiritual
gorgeous
vampire's pet
like
intro-logo
Blurb

Bertahun-tahun telah berlalu, Zahra pikir semuanya telah berakhir. Namun kenyataan tidak sesimpel itu, ada hal yang belum berakhir di masa lalu dan kini hendak menuntut balas !

Mampukah sekali lagi Zahra menghadapi semua itu? Ditambah kenyataan akan trauma kecemasan berlebihan yang makin hari makin membuat Zahra kesulitan membedakan hayalan dan kenyataan?

Lalu siapa sosok bayangan hitam yang terus mengikutinya? Khayalannya kah? Atau masa lalu yang datang?

chap-preview
Free preview
One
“Apa yang kamu inginkan? “ “Saya ingin menuntut balas pada mereka semua!” “Apa yang bisa kamu persembahkan?” “Diri saya. Saya siap kegelapan memeluk erat saya. Mereka semua harus terbakar dalam dendam ini! Sama seperti saya!” ** “Assalamualaikum....” “Waalaikumsalam, Zahra, kamu baru pulang ? Bulek udah nungguin kamu dari tadi.” Bulek langsung menggiring Zahra ke ruang tengah. Di sana ada Maryam yang duduk bersila di lantai. Di atas meja, ada setumpuk buku penyebab wajahnya kusut Maryam, lalu ada setoples kue kering, yang jika Maryam dongkol pada soal-soal matematika, ia akan melampiaskannya dengan makan. “Nih soal matematika kenapa gak mandiri banget sih, segala X minta cari muluk,” gumam Maryam. Kalimat andalannya saat sedang keki menghadapi angka-angka matematika. Zahra malah tersenyum kecil melihat kekian Maryam. “Dia banyak banget PR. Jangan di ganggu,” bisik bulek, melirik Maryam. “Wah bulek buat kue ya? Kue apa? Wangi banget...” Zahra menghirup dalam aroma kue dari dapur. “Bulek lagi buat brownis kukus cokelat kesukaan kamu pakai double cokelat chip. Dan kayaknya itu baru matang.” Bulek kembali ke dapur. Zahra bangkit dari sofa, baru lima langkah hendak ke dapur menyusul bulek, tiba-tiba ponsel Zahra berdering. “Kak, ponsel kakak bunyi tuh....,” teriak Maryam. “Buruan kak... Berisik banget...” burunya. “Iya sabar...” jawab Zahra, lebih memburu langkahnya. “Zahra ...." Terdengar suara Amina dari sebrang sana dengan napas tidak teratur, membuat Zahra mengernyit bingung. “Kak... Apa yang—“ Dahi Zahra mengernyit, kalimatnya belum rampung, kenapa panggil langsung dimatikan sepihak? “Sebaiknya aku ke pondok setelah ini, ” gumam Zahra, spontan. Zahra meletakkan kembali ponselnya di tempat tadi, tapi ponselnya kembali berdering. Ada Panggilan dari nomor yang tidak di kenal. “Assalamualaikum...” Tidak ada jawaban. Perasaan aneh menjalar di hati Zahra. Zahra hendak menekan tombol matikan panggilan saat sebuah suara terdengar, “Ini belum berakhir ! “ Zahra mengerjap terbangun dari tidur siangnya. Gadis itu mencari ponselnya namun tidak juga mendapati benda pipih itu, dan akhirnya Zahra beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Sembari minum, Zahra teringat akan mimpinya tadi. Mimpi yang sebenarnya berasal dari ingatannya dua tahun silam. Zahra masih mengkhawatirkan telepon itu, meski Zahra sudah tahu bahwa itu hanya telepon salah sambung. Efek tragedi pembunuhan orang tua Zahra, baru-baru terlihat setelah dua tahun berlalu. Zahra selalu merasa khawatir berlebihan dalam menghadapi hal-hal kecil yang sebenarnya biasa saja. Misalnya seperti saat Maryam yang jatuh dari motor, Zahra berpikir bahwa ada ‘jin' yang melakukan itu, padahal Maryam jatuh dari motor karena memang dia belum mahir membawa motor. Atau saat taman bulek tiba-tiba di terpa angin kencang, Zahra langsung ketakutan dan meminta bulek untuk tidak keluar rumah, padahal angin kencang datang karena saat itu memang mau hujan. “Zahra...” Tepukan di bahu Zahra, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. “Bulek.. “ Zahra langsung bangkit. “Gak tidur siang?” “Ini udah ashar, Zahr.” Bulek tersenyum lembut. Zahra mengerjap, melihat ke arah jendela. Benar kata bulek, langit tidak lagi terik layaknya siang. “Kamu gak dengar azan barusan?” Zahra menggeleng pelan. “Kamu kenapa ngelamun kayak tadi? Lagi ada masalah?” tanya bulek. “Hem ... gak, Bulek. Zahra baru aja bangun tidur, nyawanya tadi belum ngumpul," elak Fatiah. Bulek terkekeh. “Kamu mandi dulu gih, setelah itu kita salat ashar berjamaah ya, bulek tunggu di ruang tengah.” “Iya, Bulek.” Zahra mengedarkan pandangnya. “Bulek, kok dari tadi Zahra gak liat Maryam ya? Maryam masih belum pulang, Bulek? “ “Iya, tadi Maryam telepon bulek, dia bilang pulang habis magrib. Sosialisasi kemahnya masih belum selesai.” “Belum selesai, Bulek?” Zahra kaget. “Tapikan ini udah sore, Bulek ? Terus, emangnya Maryam jadi mau kemah, Bulek? Tapi di tempat kemah itu gak aman, Bulek. Gimana kalo Maryam kenapa-napa? Gimana kalo di sana ada—“ Kalimat Zahra terhenti saat tangan bulek menyentuh pelan punggung tangannya. menyadarkan Zahra atas kecemasan berlebihan yang kembali datang. “Maaf, Bulek, Zahra cuman...” “Iya, gak papa.” Bulek tersenyum menenangkan. “Kamu sekarang siap-siap gih, kita salat ashar.” “Iya, Bulek.” Zahra berlalu ke kamar, setelah selesai barulah dia datang kembali ke ruang tengah dengan mukena dan sajadah. “Bulek kemarin lupa nanya, gimana konsultasinya kemaren?” tanya bulek setelah mereka selesai melaksanakan salat ashar berjamaah. “Alhamdulillah, Bulek. Kata psikaternya, kecemasan Zahra udah perlahan membaik. Zahra di sarani buat datang dua bulan sekali aja, Bulek. Gak serutin biasanya.” “Alhamdulillah kalo gitu. Terus gimana sama kegiatan di pondok?” “Alhamdulillah, Bulek. Semua baik-baik aja sekarang, dan semoga seperti ini selalu...” ** Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar di seluruh penjuru aula masjid berukuran sedang terdengar tentram jika saja tidak diiringi dengan teriakan, jeritan, rintihan dan pekikian yang berasal dari beragam pasien yang sekarang tengah mendapat pengobatan ruqiyah. “Hentikan bacaan itu! Hentikan! “ “Aargh sakit! “ “Aargh panas! “ “Ibliiisss tolong kami! “ “Aarghh! “ “Aarghh! “ “Sakit! “ “Aaarghhh !” Kegiatan ruqiyah kali ini, tidak seperti biasanya. Lonjakkan pasien diluar perkiraan, tidak sebanding dengan team ruqiyah perempuan yang hanya terdiri dari Zahra, Kerly, Sarah, Gita dan Amina—Yap, setelah rangkaian masalah yang terjadi Zahra memantapkan hati untuk bergabung dalam kelompok ruqiah Amina. Meskipun staff dari masjid selaku penyelenggara sudah memberikan banyak bantuan dengan memegang atau membantu pasien yang mengamuk, tapi itu tetap belum cukup. Mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk itu, terlebih lagi Zahra yang bisa di bilang anak baru di team. Sedangkan dari balik tirai, Ilham dan Arfin juga nampak kewalahan menghadapi pasien pria, beruntung ada pak Kiyai yang kebetulan juga ikut bersama mereka. Amina selaku ketua, membagi tugas untuk semuanya. Mereka membagi menjadi posko-posko kecil untuk tim peruqiyah. Zahra yang biasanya melakukan ruqiyah bersama Kerly harus meruqiyah pasien sendirian. Zahra sedikit kesulitan saat menghadapi jin-jin yang memberontak. Gita meminta Kerly untuk terus membantu Zahra. Tapi pasien yang terlalu banyak membuat Kerly hanya bisa memberikan arahan pada Zahra, sedangkan dia kembali ke poskonya untuk mengobati pasien yang lain. “Aarggh! Hentikan bacaanmu! “ “s****n! “ “Iblis datanglah! “ Zahra terus membaca surah-surah Al-Qur’an tidak menghiraukan pasien yang terus memberontak dan mencaci Zahra. “Hahhahahhaha...” pasien itu tiba-tiba tertawa, sembari terus memberontak melepaskan pegangan para staf masjid “ Kau akan mati! “ “Mereka sudah datang.” Zahra menoleh, sekelibat gadis itu tertegun melihat sesuatu. Dan tiba-tiba, “Astagfirullah....” Zahra terpental jauh. Pasien tadi menyerang Zahra, Zahra tidak sempat mempertahankan diri, hingga dia terhempas jauh, membuat semua orang yang ada di sana kaget, termasuk dari balik tirai. “Zahra....” Kerly langsung menghampiri Zahra. Begitu pun Amina, Gita dan Sarah. “Aww...” Zahra meringgis kecil. Kerly langsung membantu sahabatnya itu untuk bangkit. “Ada apa Zahra? “tanya Amina. “Maaf, Kak ....” “Lebih baik, kamu istirahat dulu, Zahr," putus Amina. Gita segera membantu Zahra yang nampak kesulitan berdiri dengan benar. “Iya, biar saya ambil alih pasien Zahra,” sahut Sarah. Amina mengangguk setuju. “Mbak Zahra bisa istirahat di ruangan yang sudah kami siapkan,” staf masjid akhwat memberi saran. Zahra menggeleng pelan. “Tidak perlu, saya hanya sedikit lelah. Saya hanya butuh duduk di pinggir aula masjid aja," pinta Zahra. “Kak, saya gak kenapa-napa.” Zahra menyakinkan. "Lebih enak duduk di pinggir itu, biar bisa sekalian belajar liat meruqiyah yang baik." Amina menimbang sesaat, sebelum akhirnya menyetujui permintaan Zahra. Zahra dibiarkan duduk di pinggir aula masjid, dengan diberi minum dan snack, tapi Zahra hanya memilih untuk minum saja, perutnya belum terlalu lapar. “ Kau akan mati! “ “Mereka sudah datang.” Kalimat itu mengiang di kepala Zahra. Zahra lantas memijat kecil kepalanya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Tidak lama dari itu, Ilham menghampiri Zahra dan memilih duduk dengan jarak lima kaki dari Zahra. Namun Zahra tidak menyadari kehadiran Ilham di sana. “Ada apa, Zahr ? “ tanya Ilham tiba-tiba. “Ha?” Zahra berdeham pelan, baru sadar akan keberadaan Ilham di sana dan buru-buru tersenyum kecil, menyembunyikan kecemasan yang hendak menampakkan diri. “Gak, cuman lagi kepikiran soal masa orientasi entar di kampus. Mas kaca udah siapin semua? “ Ilham terkekeh, “Jadi kamu cemas karena itu?” Zahra mengangguk lambat, sejujurnya bukan itu yang mendominasi pikirannya, meski kini perkuliahan juga menyita banyak perhatiannya akhir-akhir ini. Faktor ini juga yang membuat Zahra jadi kurang tidur. “Tenang aja. Saya juga belum siapin apa-apa. Nanti kita siapin bareng aja, gimana? “ “Hem.” “Iya. Biar bisa cepat selesai," tambah Ilham. “Hem... Kerly dan Sarah boleh ikut, kan? " “Tentu boleh dong." Ilham terkekeh lagi, entah kenapa pertanyaan Zahra terdengar lucu untuknya. "Jadi sekarang gak cemas lagi, kan? “ “Ha...?” Zahra tersenyum tipis. "Mungkin ...." “Gimana tadi ? Ada yang sakit? “ “Yang jatuh tadi? Alhamdulillah, untung cuma rada nyeri aja, mas.” Ilham terkekeh. "Apa pun keadaan tetap ada untung ya .... tetap bersyukur." Kehadiran Ilham sedikit berhasil mengurangi kecemasannya yang Zahra rasakan. Zahra jadi sedikit releks. “Mas, kayaknya aku udah deh istirahatnya. Pasien perempuan banyak banget, kasih yang lain kerepotan.” Zahra bangkit, baru dua langkah, gadis itu kembali berhenti. Zahra tertegun melihat sosok yang berada jauh dari jaraknya berdiri. “Ada apa?” Ilham bangkit, menyadari bahwa Zahra malah mematung di tempatnya. “Zahra....” “Iya?” Zahra mengerjap pelan, tersadar. “Ada apa?" tanya Ilham lagi. “Bayangan putih ...,”cicit Zahra, sangat pelan, nyaris tidak mampu Ilham dengar dengan baik. Namun secepat kilat apa yang Zahra liat menghilang. “Apa?" alis Ilham menaut. “Kamu bilang apa tadi? Di sana ada apa?“ Zahra menggeleng pelan, seketika merasa ragu dengan indra penglihatannya. Zahra seharusnya mendengar nasehat buleknya untuk menggunakan kacamata minus, tapi Zahra selalu risih dengan benda pipih yang menempel di hidungnya itu. “Zahra, jangan di paksain kalo kamu masih tidak enak badan. Lebih baik kamu istirahat di mobil. Di sana ada Amina,” saran Ilham, nampak khawatir akan kondisi Zahra. Zahra mengedarkan pandangnya, baru menyadari tidak ada Amina dan Gita di sana. “Kak Amina, sakit?” “Tidak. Mungkin ada sesuatu yang harus dia ambil di mobil.” “Kalo gitu, saya susul Kak Amina deh, barang kali ada yang butuh di bantu.” Zahra mengurungkan niatnya dan menuruti perkataan Ilham. “Ini tidak benar, Amina. Zahra tidak bisa melakukan ini.” Perdebatan kecil dari dalam mobil, menghentikan langkah kecil Zahra. “Ini bahaya. Zahra tidak layak untuk ikut. Kamu tidak lihat tadi? Dia hampir celaka dan mencelakai pasien itu juga !" “Wajar hal itu terjadi. Bukan hanya Zahra yang pernah seperti itu.” “Tapi, kita sama-sama tahu, Zahra memiliki kecemasan yang berlebihan. Itu salah satu yang tidak bisa kita abaikan Amina.” “Gita, saya tahu. Saya memperhatikan itu. Dan saya rasa Zahra bisa mengendalikan itu saat dia meruqiyah.” “Dia tidak bisa Amina, Zahra selalu merasa cemas. Kamu tidak bisa melihat itu, karena kamu selalu menganggap Zahra seperti adikmu sendiri." "Sebaiknya nonaktifkan Zahra sampai kecemasan berlebihannya itu hilang. Kita sudah mengabaikan hal ini, dua tahun lamanya. Dan sekarang saya rasa tidak ada kompensasi lagi. Kita sudah terlalu banyak memaklumi kecemasan Zahra. Itu permintaan saya, selaku salah satu pendiri ruqiyah ini! “ Pintu mobil terbuka, Zahra sudah menyembunyikan dirinya, sebelum Gita melewati tempatnya berdiri tadi. Gita keluar dengan wajah penuh bias, perdebatan di mobil tadi masih terasa di wajah Gita, tidak lama Amina juga keluar menyusul langkah Gita. Wajah Amina berbeda dari ekspresi Gita. Wajah Amina malah terlihat tidak berdaya, seperti ada kegusaran dan kebingungan di sana. Mungkin bingung bagaimana caranya mengatakan semua ini pada Zahra. Beruntung Zahra sudah mendengarnya sendiri. Dia tidak akan keberatan jika di nonaktifkan sementara. Atau selamanya. Zahra mengerti, mereka hanya tidak ingin dirinya terluka. Hanya itu. Zahra menatap kepergian keduanya. Perasaan bersalah tak ayal memenuhi hatinya, karena dirinya kedua sahabat itu malah berdebat. Huft.... “Zahr ....” Tepukan tiba-tiba mendarat di bahu Zahra. Hampir saja Zahra terlonjak kaget. Namun beruntung Zahra cukup baik untuk mengendalikan dirinya dan tidak memperlihatkan dengan jelas ekspresi terkejutnya. “Gue nyariin Lo dari tadi. Lo ngapain di sini?” tanya Sarah, celingak-celinguk mencari alasan kenapa Zahra berdiri sendirian di tempat yang jarang di jangkau mata. “Lo lagi sembunyi? “ tanya Sarah, asal, tapi tepat, hampir membuat Zahra panik. “Kenapa kamu cariin aku?" Zahra balik bertanya. “Di suruh Ilham, katanya Lo nyariin gue." “Oh iya, benar. Aku mau ngaja kamu sama Kerly buat ngerjain persiapan orientasi bareng, biar cepat selesai.” “Emang kapan mau ngerjaiinnya? “ “Besok, pagi. Nanti ajakin Kerly juga, ya, Sar.” “Tapi maaf, Zahr. Gue gak bisa. Satu pekan ini gue ada banyak banget urusan di kajian. Kebetulan gue panitia makanya dari pagi sampai sore gue sibuk. Yah.. Mungkin gue bisa ngerjain malam. Sepulangan dari kajian. Gue ngerjain sendiri aja.” “Hem, ya udah gak papa, Sar.” “Oh iya, Lo kasih tahu Kerly sekarang aja. Gue takut lupa, bilangnya.” “Iya. Kerly masih di aula masjid, kan? “ “Hem, tadi gak ada sih tuh anak. Kayaknya dia ke kamar mandi deh. Lo coba cari di sana aja.” Zahra mengangguk, lalu melangkah ke kamar mandi masjid yang letaknya cukup jauh dari aula masjid. Masjid tempat mereka meruqiyah terbilang sangat luas dan mewah. Pertama kali melihat masjid ini, Zahra berdecak kagum akan keindahan masjid. Fasilitas masjid terbilang sangat mahal. Ambal tempat solat, merupakan ambal premium yang di pesan khusus untuk masjid ini, selain itu ada lima AC yang berada di setiap sudut membuat masjid ini bak kutub yang dingin. Tiang-tiang masjid menjulang tinggi, yang di hiasi banyak lampu dan ada lampu besar yang terletak di tengah sebagai center. Dan tidak seperti kebanyakan masjid lainnya, masjid ini memiliki lift dan tangga untuk menuju lantai dua. Di lantai dua, terdapat lima kamar tidur yang di peruntukkan bagi para pengurus dan musafir yang datang. Aktivitas sembahyang jarang dilakukan di lantai kedua. Karena itu orang sungkan untuk naik ke sana. Lantai dua terkesan tempat yang eksklusif untuk para musafir dan pengurus saja. Masjid yang sangat luas membutuhkan banyak pengurus, setidaknya ada lima belas pengurus yang Zahra ketahui. Gaji yang didapatkan pun terbilang besar, berkisaran tiga sampai empat juta, Zahra tidak terlalu tahu hal itu, dia hanya pernah mendengar desas-desus masjid yang terbilang fenomenal ini. Banyak orang jauh yang berkunjung ke masjid ini, untuk sekedar melihat kemewahan masjid atau wisata religi. “Masyallah, tamannya bagus banget.” Zahra meraih ponselnya, hendak mengabadikan potret taman yang di penuhi beragam bunga warna-warni. Maryam pasti suka potret ini, pikir Zahra. Maryam memang pencinta alam. Zahra juga memotret bunga yang tengah mekar hingga tidak sadar, ada semak berduri di belakangnya. Beruntung Zahra tidak terkena duri dan spontan langsung menghindar begitu menyadari semak itu, tapi pergerakannya itu malah membuat ponselnya terjatuh. “Aneh, kenapa semak berduri ada di sini? Bukannya taman ini selalu dibersihkan pengurus?” gumam Zahra heran. Zahra menepis kebingungannya dan membungkuk mengambil ponselnya. Zahra terkesiap saat melihat foto bunga yang dia abadikan di ponselnya. Bukan karena bunga itu terlihat sangat indah tapi background yang menghiasi jauh di belakang bunga itu. Ada kilatan merah yang Zahra tangkap. Ya. Zahra yakin itu, meski samar-samar. Kecemasan seketika kembali menyelimuti Zahra. Zahra mulai ketakutan. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Zahra mengedarkan pandangnya kearah tadi dan jauh dari tempatnya berdiri ada Kerly di sana. “Papa...” Zahra melihat Kerly. Gadis itu terduduk di rumput, bahunya bergetar pertanda Kerly tengah menangis. “Kerly rindu papa...” “Jangan pergi lagi.” . . “Kak, liat ini...” Zahra menujukan ponselnya. Dahi Amina berkerut bingung. “Bunga? “ “Bukan itu, Kak. Liat di background-nya ada kilatan merah.” Amina menajamkan matanya untuk melihat dengan jelas foto hasil potretan Zahra. “Saya rasa ada yang aneh di sini, Kak. Tadi saat meruqiyah saya juga melihat kilatan hitam lalu ada kilatan putih dan sekarang kilatan merah. Dan saat meruqiyah pasien tiba-tiba bilang bahwa mereka semua datang—“ Gita datang, menyimak kecemasan yang ada di wajah Zahra. “Kamu sudah minum obat, Zahr? “ Zahra seketika membisu. “Belum, kan? “ tanya Gita lagi. “Zahra, tadi kata Sarah kamu cariin Kerly? Di mana dia sekarang?” Amina mengalihkan pembicaraan, tidak mau Zahra merasa tersudutkan dengan pertanyaan Gita. Gita spontan membuang nafas berat, tahu kalo Amina membela gadis itu. “Mau sampai kapan, Amina?” Amina memberi isyarat pada Gita. Gita membuang wajah, kesal. “Di mana Kerly sekarang, Zahra? “ “D-dia di taman tadi, Kak. Kita juga bisa tanya dia. Dia ada di sana, mungkin Kerly juga liat,” sahut Zahra, menemukan titik cerah atas pernyataannya. Mereka baru hendak pergi, tapi kehadiran Kerly menghentikan langkah mereka. “Kalian cariin saya? “ tanya Kerly. Zahra mengangguk. “Kerly tadi kamu ke taman masjid, kan? Kamu pasti liat kilatan merah di sana? Iya, kan? “ Kerly terlihat bingung. Gita spontan terkekeh pelan. “Iya, kan, Kerly? Liat foto yang aku ambil...” Zahra kembali menyodorkan ponselnya. “Zahra, sebaiknya kamu minum obat dulu,” sela Gita, menghentikan pergerakan tangan Zahra. “Ini demi kebaikan kamu juga.” “Kerly, kamu sudah siap-siap? Kita harus pulang setelah salat ashar,” kata Amina. Kerly mengangguk. “Iya, Kak.” “Saya dan Gita, ke aula dulu, menyelesaikan proses terakhir.” Amina pergi bersama Gita, meninggalkan Zahra dan Kerly. Zahra termenung. Kerly menepuk pelan bahu Zahra. “Zar, maafin gue ya.” Zahra menoleh. “Gue gak maksud buat Lo terpojok kayak tadi. Tapi emang gue dari tadi gak di taman. Gue ada di aula sama Kak Arfin. Dan mengenai foto itu, coba Lo liat lagi deh Zahr, kilatan merah itu berasal dari pantulan lampu yang mungkin ke flash cahaya matahari.” Zahra mengamati fotonya itu. Zahra tidak menyadari ada lampu taman di dekat bunga itu. “Maafin aku ya, Kerl.” “Is okey, Zahr. Rasa cemas Lo wajar kok, terlebih setelah yang Lo lewatin.” Zahra menunduk sedih. “Zahr, buat perkataan Kak Gita, jangan di ambil hati ya. Lo tahu sendiri, Kak Gita kalo ngomong suka rada nyelekit. Dulu awal-awal gue kenal beliau juga gitu. Gue pikir dia benci banget pas gue gabung, tapi gak gitu, kok. Kak Gita cuman cemas sama keadaan Lo.” Zahra mengangguk pelan, dia paham itu. “Oh, iya, Lo tadi cariin gue buat apa? “ “Hem, Kak Ilham ngajakin buat kerjain tugas bareng, pekan depan. Besok pagi, kamu bisa gak?” “Insyallah, bisa.” “Yuk, kita ke aula, gabung sama yang lain.” “Hem, aku mau balik ke mobil dulu deh, mau minum obat, biar kecemasan aku gak kumat kayak tadi.” “Ya udah, aku temenin deh.” Kerly tersenyum, membuat Zahra juga ikut tersenyum. “Makasih ya, Kerl.” “Wah kalimat sakral dari mana tuh. Lo kayak berasa sama apa aja deh. Lo, gue dan Sarah udah sahabat jalan enam tahun, kalo dihitung bisa udah tamat SD, dan Lo masih bilang kek gitu... Santuy aja kali.” Kerly terkekeh. “Lagian gue cuman temenin Lo ke mobil bukan ke surga sampai Lo harus bilang makasih.” “Bukan cuman temenin doang, tapi buat semuanya. Kamu udah mau ngajarin semuanya terutama tentang ruqiyah. Kamu juga banyak banget kasih aku semangat di tahun-tahun terakhir kita di SMA.” Kerly kembali terkekeh. “Lo juga Zahra. Lo banyak banget kasih spirit buat gue terutama setelah kematian papa gue. Kehadiran kalian benar-benar berarti buat gue. Ya, walau sekarang tuh anak satu, si Sarah sok sibuk banget sama aktivis kajiannya sampai-sampai buat ngumpul aja susah sama tuh anak satu. Gue yang serumah sama dia aja jarang banget ketemu dia. Dia pulangnya malam terus, gue udah keburu tidur. Dan sekarang pasti Sarah gak bisa ikut, kan, buat ngerjain tugas kuliah?” Zahra mengangguk, membenarkan. “Emang sahabat durhaka dia.” Kerly terkekeh, Zahra ikut terkekeh. “Maryam juga makin sibuk aja sama kegiatan pencinta alamnya itu.” “Weeeh... satu nasib dong kita, Zahr.” “Pasti lagi pada ngomong gue, kan?" Sarah berlari menghampiri keduanya. “Tiba-tiba telinga gue panas nih. Hati-hati loh, gibahin orang dosa.” “Siapa yang nge-gibah, orang gue cuman menyampaikan unek-unek soal sahabat gue yang sekarang ini super sibuk banget,” sahut Kerly. “Ya maaf, guys, gue kan ketua akhwat ya jadi, gitu deh.... Lagian kan ada Lo yang bisa jagain Zahra. Iya, kan, Zahr ?” “Iya, iya, gue maklumin deh,” sahut Kerly cepat. “Pokoknya entar kalo gue sama Zahra lebih dekat, Lo jangan protes ya..” “Buat apa gue protes, Lo berduakan sahabat gue.” “Bisa aja Lo.” “Zahra udah minum obat ? Yang lain udah nungguin kita tuh di aula.” Zahra baru saja selesai menengak satu obat yang psikiater berikan untuknya. Zahra juga tidak tahu itu obat apa, setiap kali meminumnya Zahra akan merasa lebih nyaman. **

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook