Di kantin rumah sakit, Risa duduk sendirian setelah selesai makan.
Tangannya sibuk menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul pelan, memenuhi udara di sekitarnya.
Matanya kosong, pikirannya kacau.
Ia membuka ponselnya, melihat notifikasi gajian sudah masuk.
"Lima belas juta... ya gaji gue," gumamnya lirih, senyum tipis terbit di wajahnya. Tapi senyum itu segera memudar ketika ia menatap angka itu lebih lama. Jauh dari cukup.
Jempolnya berhenti di layar, tepat di atas chat Reno. Ia ragu. Reno memang tunangannya, tapi ia tahu Reno sedang mengerjakan rumah impian mereka.
Bagaimana mungkin ia tega meminta uang dalam jumlah besar sekarang?
"Gimana ya..." bisiknya, kebingungan.
Risa mengisap rokoknya lagi, berusaha menenangkan diri, sebelum akhirnya ia kembali ke ruangan Arka.
Karena aturan hanya boleh satu orang yang berjaga, malam itu Risa terpaksa pulang.
Sesampainya di rumah, pintu depan terbuka. Dari dalam, terlihat ayahnya sedang menerima tamu.
"Assalamu'alaikum," ucap Risa sambil melangkah masuk.
"Wa'alaikumsalam," jawab ayahnya tergesa, suaranya terdengar gugup.
Risa menyalami ayahnya, lalu masuk ke dapur mengambil minum.
Saat meneguk air, telinganya menangkap percakapan dari ruang tamu.
"Saya sudah bilang, Pak. Waktu cuma satu minggu. Ini sudah empat hari. Sisa tiga hari lagi. Kalau Bapak tidak sanggup, siap-siap masuk penjara," ucap seorang lelaki dengan nada keras.
Risa mengepalkan tangan. Ia tak tahan mendengar ayahnya dibentak begitu. Dengan langkah cepat, ia masuk ke ruang tamu.
"Pak, itu kecelakaan! Saya nggak terima ayah saya diancam dan diperlakukan seperti ini!" ucap Risa dengan nada bergetar penuh amarah.
Lelaki itu menoleh, wajahnya sinis.
"Ayah kamu sudah melakukan kesalahan. Dia hampir membunuh anak saya. Yang salah kenapa kamu bela?"
"Ya kan ayah saya sudah menyanggupi bayar denda! Nanti kami bayar. Jadi kalian nggak usah desak-desak dan bentak-bentak ayah saya. Ini denda, bukan hutang!" teriak Risa hingga suasana malam itu pecah.
Lelaki itu berdiri, mendekat dengan tatapan dingin.
"Baik. Tiga hari lagi kami tunggu. Kalau tidak ada, nama ayah kamu hancur.
Dan jangan lupa, itu juga bisa ngaruh ke nama anaknya." Ia menutup kalimatnya sambil melirik tajam ke arah Risa, lalu pergi meninggalkan rumah.
Risa meremas rambutnya, menutup mata, menghela napas panjang.
"Ayah, duduk ya. Jangan banyak pikiran..." ucapnya, berusaha menahan air mata.
Ayahnya hanya terdiam, wajahnya penuh beban.
Risa lalu masuk ke kamar, jatuh di kasur, dan menangis dalam diam.
"Ya Tuhan... bagaimana ini..." bisiknya sambil membuka ponsel.
Ia menekan nomor Reno. Suara di seberang terdengar hangat.
"Halo..."
"Hay..." jawab Risa dengan suara serak, mengusap air matanya.
"Kamu kenapa, sayang?" suara Reno terdengar panik.
"Aku malu, Ren... tapi aku bingung. Harus minta tolong sama siapa..." ucap Risa, tangisnya pecah.
"Kamu butuh apa, sayang? Katakan," jawab Reno lembut.
Dengan terbata, Risa menceritakan semuanya sambil menangis. Reno terdiam beberapa saat, lalu berucap pelan.
"Ya Tuhan, sayang... kalau segitu aku nggak ada. Uangku habis buat bangun rumah kita. Kemarin aku udah gaji karyawan. Sisa uang cuma ada 200 juta. Aku transfer ya. Nanti sisanya aku pinjam ke teman."
"Ngga usah pinjam, Ren. Malu... Udah, simpen aja yang 200 itu. Nanti aku kabari lagi," ucap Risa, menghela napas berat.
"Aku usahakan ya. Besok aku kabari," balas Reno menenangkan.
Begitu telepon ditutup, Risa membenamkan wajahnya ke bantal, menangis sejadi-jadinya.
Malam itu, ia melampiaskan rasa sesaknya lewat chat dengan Tari.
"Sabar ya, sayang. Gue nggak bisa nolong, duit gue cuma gajian doang.
Besok juga abis buat bayar cicilan," balas Tari.
"Iya, gue curhat doang biar plong..." jawab Risa.
"Sabar ya. Peluk jauh," tulis Tari lagi.
"Iya..." balas Risa singkat.
Tak puas, Risa menulis status galau di w******p: God help me 😭
Tak lama, muncul komentar dari Evan.
Kenapa?
Risa buru-buru mengusap air matanya, lalu membalas singkat.
Gak apa-apa, Pak 🙂
Kalau butuh teman ngobrol, saya siap dengerin, balas Evan lagi.
Ngga, ah... takut balasannya nyakitin, tulis Risa.
Ya, saya emang gitu. Nggak pandai berkata-kata, jawab Evan jujur.
Risa memilih tidak membalas lagi. Malam itu ia tertidur dengan hati sangat kacau.
Keesokan harinya, ia mengurus administrasi Arka di rumah sakit.
"Total lima puluh lima juta," ucap suster.
Risa mengangguk pelan. Dengan berat hati, ia mentransfer uangnya. Uang yang tadinya ingin dipakai membantu ayah, kembali berkurang.
Di ruangan, ibunya duduk lesu di samping Arka. Wajahnya penuh kesedihan.
"Udah dong, Bu... jangan sedih terus," ucap Risa, meski hatinya pun hancur.
"Kita jual rumah aja, ya, Sa..." ucap ibunya, air mata menetes di pipi.
"Lama, Bu... Risa lagi usaha. Harusnya kemarin udah 200 dari aku, tambah pinjaman Reno 200, jadi 400. Tapi barusan bayar biaya Arka 55. Yang dari Reno juga belum aku ambil. Masih jauh dari cukup..." ucap Risa bingung.
"Jangan pinjam sama Reno, malu, Sa..." ucap ibunya, menutup wajah dengan tangan.
Risa menunduk, air matanya kembali jatuh.
"Risa juga bingung, Bu. Mau pinjam ke siapa lagi..."
Suasana makin berat. Ibunya kembali duduk, menangis. Risa hanya bisa menahan air mata.
"Udah, Bu... jangan sedih. Risa pergi dulu, mau cari bantuan," ucapnya, lalu keluar dari rumah sakit.
Di luar, ia berdiri lama menatap jalanan aspal. Langkahnya berat, pikirannya semakin kalut.
"Aduh, anjir... masa gue nekat sih..." gumamnya sambil menatap langit.
Tangannya bergetar saat akhirnya ia menekan nomor Evan.
"Halo," suara Evan terdengar di seberang.
"Pak... ada waktu?" tanya Risa ragu.
"Saya kan lagi libur, jadi banyak waktu," jawab Evan santai.
Risa menggigit bibir, lalu memberanikan diri.
"Hmm... Pak, mengenai yang satu miliar itu... serius?"
Evan terkekeh.
"Tentu saja," jawabnya mantap.
Risa terdiam. Tangannya memainkan resleting tas, napasnya berat.
"Kamu mau?" tanya Evan, suaranya pelan namun menekan.
"Saya... malu, Pak..." jawab Risa ragu.
"Ok. Temui saya di hotel," ucap Evan singkat, lalu menutup telepon.
Risa menatap layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar.
"Ren... maafin aku..." bisiknya lirih.
Dengan langkah gontai, ia pergi siang itu untuk menemui Evan.
Setelah sampai di hotel, Risa langsung menuju kamar yang ditunjuk Evan.
Langkahnya terasa berat, jantungnya berdebar kencang seakan ingin melompat keluar dari dadanya.
Dengan pelan, ia mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka.
"Masuk," ucap Evan dengan suara bariton nya yang dalam, membuat bulu kuduk Risa sedikit meremang.
Risa pun masuk sambil menunduk, tak berani menatap.
"Kamu kenapa, Risa? Mau ngomong?" tanya Evan sambil duduk santai di sofa, menuangkan whisky ke gelasnya.
Risa ikut duduk di kursi seberang. Tangannya gemetar, ia menunduk, lalu dengan suara bergetar mulai menceritakan semuanya.
"Jadi... kamu butuh uang satu miliar itu?" Evan menatap tajam.
Risa mengangguk pelan, jemarinya meremas tali tas seakan itu satu-satunya pegangan hidupnya.
Evan berdiri, mendekat, lalu berbisik di telinga Risa, "Berapa kali main?"
Tatapannya menusuk, membuat Risa kian gemetar.
"Ng... nggak tahu, Pak..." jawab Risa ragu, suaranya hampir tak terdengar.
Evan tersenyum tipis, tangannya menggenggam tangan Risa yang dingin karena gugup.
"Relax dong," ucapnya lembut, seakan menenangkan tapi justru membuat Risa semakin cemas.
Ia menarik kursinya mendekat. "Aku punya satu syarat."
"Apa, Pak?" Risa menatap penuh ketakutan.
"Aku nggak akan pakai pengaman. Kalau kamu hamil, kamu jadi istriku." Evan tersenyum nakal.
Risa sontak membelalakkan mata. "Apa?! Nggak, Pak! Saya nggak mau!"
Evan hanya bersandar santai di sofa, menenggak whisky tanpa peduli pada reaksi Risa.
Saat itu ponsel Risa bergetar. Notifikasi w******p masuk dari Reno.
Sayang, uangnya nggak ada... gimana ya? tulis Reno.
Risa menatap layar ponselnya dengan perasaan terhimpit. Air matanya hampir jatuh.
Ia benar-benar bingung harus bagaimana.
Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, "Oke, Pak... saya mau."
Senyum penuh kemenangan terukir di wajah Evan. Ia mendekat, menatap dalam mata Risa, lalu perlahan mencium bibirnya.
Awalnya Risa kaku, tapi entah mengapa tubuhnya ikut larut. Evan merasakan sesuatu yang berbeda dari ciuman itu-bukan sekadar gairah, tapi ada ketulusan, ada rasa yang sulit ia jelaskan.
Namun setelah beberapa lama, Evan melepaskan ciuman itu. Nafasnya terengah, ia menatap Risa serius.
"Aku akan bantu kamu. Tapi... kita nikah. Jangan lakukan ini. Oke?" ucap Evan tegas.
"Apa? Pak... tapi-" Risa kebingungan.
"Kita temui orang yang ngancam ayahmu. Betul kan anaknya? Begitu urusan ini selesai, kita nikah." Evan meneguk whisky terakhirnya, lalu bangkit berdiri.
Risa tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya menurut.
Siang itu mereka bertiga-Evan, Risa, dan ayahnya-bertemu Wisnu, pengacara yang mengancam ayah Risa.
Evan duduk santai, menyilangkan kaki. "Saya mau lihat anak Anda."
"Anak saya di rumah sakit, dia tidak bisa dikunjungi," jawab Wisnu cepat, suaranya gugup.
"Pak Wisnu, ya?" Evan menatap layar tabletnya. "Sidang selalu gagal, reputasi buruk. Anda sedang memeras, ya, Pak?" ucapnya tenang namun menusuk.
Wisnu terlihat gelagapan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Saya mau lihat dulu anak Anda. Kalau memang parah, saya bayar hari ini satu miliar yang Anda minta," lanjut Evan, suaranya datar tapi penuh tekanan.
Tak ada pilihan lain, Wisnu akhirnya mengajak mereka ke rumah sakit.
Sore itu, setelah melihat kondisi anak Wisnu yang ternyata baik-baik saja, Evan menatap tajam.
"Mau saya laporin balik, atau berhenti ngancam?" suaranya dingin.
Wisnu langsung menunduk. "Maafkan saya... semua sudah selesai, ya. Saya benar-benar minta maaf, Pak."
"Jangan ada urusan dengan kami lagi," ucap Evan tegas, lalu berjalan keluar bersama Risa dan ayahnya.
Di luar rumah sakit, ayah Risa menyalami Evan. "Pak, terima kasih banyak..." ucapnya tulus.
"Sama-sama, Pak. Sekalian saya mau ngomong sesuatu." Evan hendak bicara, namun Risa cepat menarik tangannya, menjauh dari ayahnya.
"Pak! Kan perjanjian tentang uang. Kalau nggak keluar uang, mana bisa Anda nikah sama saya?" tanya Risa dengan wajah heran dan sedikit kesal.
Evan tersenyum tipis, lalu berbisik di telinga Risa, "Yang penting urusan kamu sudah selesai berkat aku. Jadi, uang satu miliar itu... buat mahar kamu, sayang."
Risa terdiam, wajahnya memerah campuran malu dan marah.
Tanpa menunggu reaksi Risa, Evan kembali menghampiri ayahnya.
"Pak, saya serius. Saya ingin menikahi putri Anda. Nanti saya akan datang secara resmi ke rumah setelah semua urusan lancar."
Ayah Risa terkejut. Ia tahu pacar Risa adalah Reno, bukan Evan. Namun melihat cara Evan menyelamatkan keluarga mereka, ia hanya bisa menghela napas.
Mereka pun berpisah sore itu di depan rumah sakit.