Masalah Lagi

1154 Words
Sore itu mereka pulang dengan perasaan canggung. Sepanjang jalan menuju bandara, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Risa maupun Evan. Suasana hening seperti membawa beban yang tak kasat mata. Di dalam pesawat, Risa merasa ketakutan. Namun, tidak seperti saat berangkat kemarin, kali ini ia menahan diri. Tangan yang dulu berani menggenggam Evan, kini hanya terdiam di pangkuannya. Risa menunduk malu, enggan menatap ke arah pria itu. Evan pun tak berusaha mendekat, hanya sesekali melirik dengan wajah yang sama-sama kikuk. Setelah beberapa jam, pesawat pun mendarat. Begitu sampai di bandara, Risa langsung buru-buru menjauh. “Saya naik taksi aja, Pak,” ucap Risa singkat, lalu melangkah cepat menuju taksi tanpa menoleh lagi. Evan hanya memandang punggungnya, bibirnya sempat bergerak ingin menahan, tapi akhirnya ia memilih diam. Dengan langkah berat, ia masuk ke mobil pribadinya dan pergi. Sesampainya di apartemen, Risa langsung menuju kamarnya. Koper ia letakkan sembarangan di sudut ruangan, lalu tubuhnya jatuh ke kasur. Ia termenung, wajahnya masih dipenuhi bayangan kejadian tadi. Tari yang heran melihat sahabatnya murung, segera menghampiri. “Kenapa lo?” tanya Tari sambil duduk di samping Risa. Risa hanya diam, menatap kosong. “Lo kenapa, Ris?” tanya Tari lagi dengan nada curiga. Tiba-tiba, Risa membuka mulut. “Tar… si Evan cium gue,” ucapnya lirih. Mata Tari langsung membesar. “Apa?! Jangan-jangan lo dapet tuh uang satu miliar itu?” ucapnya dengan nada bercanda, tersenyum nakal. Risa langsung mendelik sambil mengibaskan tangan. “Anjir, kagak lah! Gue masih punya harga diri, woy,” ucapnya terkekeh. Tari mengerutkan kening, semakin penasaran. “Kok bisa lo dicium dia? Lo bales nggak?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Risa menghela napas panjang, lalu mengipas-ngipas wajahnya yang memerah. “Katanya sih mau buktiin sesuatu. Bentar doang… ngecup doang. Udah gitu gue deg-degan banget. Anjir, takut banget, apalagi cuma tinggal berdua di villa itu,” ucapnya setengah panik. Tari menggeleng cepat sambil menahan tawa. “Istighfar, Neng! Lo mau nikah, jangan kegoda laki-laki buaya,” katanya sambil terkekeh. Risa terdiam sejenak, lalu berucap pelan. “Lo tau, Tar… Evan ngajak gue nikah.” Tari sampai terperanjat. “Hah? What?! Apaaa? Nggak salah lo?” serunya kaget. Risa menunduk, menatap kasurnya kosong. “Dia bilang, kalau gue mau nikah sama dia, dia nggak bakal ngacak-ngacak cewek lagi.” Tari langsung mengibaskan tangan dengan ekspresi kesal. “Lah, jangan percaya sama laki-laki b******n kayak dia! Lo liat sendiri kan cewek-cewek bunting pada datang ke kantor dia. Abis itu, dia liatin mereka kayak sampah!” Risa ikut mengangguk, tersenyum miris. “Iya sih… lagian siapa juga yang mau sama dia. Gue ogah! Pacar gue aja udah ganteng, tajir juga. Hmm…” ucapnya sambil mengibaskan rambut, mencoba bergaya. Tari mendengus lega. “Syukur deh kalau lo sadar. Gue takut lo bodoh aja.” “Ngga lah, gue masih waras, Tar,” jawab Risa sambil tersenyum manis. “Udah yuk, bobo. Gue capek banget,” ucapnya sambil memeluk Tari. “Ganti baju dulu, cuci muka. Nanti jerawatan loh,” kata Tari sambil memeluk balik. “Iya, iya…” sahut Risa, lalu bangkit berganti pakaian. Tak lama kemudian, mereka pun tidur bersama malam itu. Hari-hari berikutnya berjalan aneh. Evan terlihat berbeda. Setiap kali berpapasan dengan Risa, wajahnya memerah dan ia tak berani menatap lama-lama. Jelas bukan Evan yang biasanya dingin dan arogan. Namun, di depan karyawan lain, ia tetaplah bos Evan yang keras. Setiap ada pekerjaan yang tidak sesuai keinginannya, ia marah besar, membuat semua orang ketakutan. Sampai suatu hari Jumat, Reno menelepon Risa. “Sayang, besok aku ke rumah kamu ya. Aku mau lamaran,” ucap Reno lembut. Risa terdiam sesaat, lalu menjawab pelan. “Sayang… maaf ya. Kayaknya jangan dulu deh. Ayah aku lagi ada masalah.” “Masalah apa?” tanya Reno heran. Risa pun menceritakan semuanya. Reno terkejut mendengar kabar itu, tapi ia mencoba memahami. “Kalo butuh bantuan, kabarin aku ya,” ucapnya penuh perhatian. “Iya, sayang,” jawab Risa. “Ok, aku sibuk jadi aku nggak bisa ke sana dulu. Kamu aja yang ke sini,” ucap Reno sambil terkekeh mencoba mencairkan suasana. Risa mengerucutkan bibir. “Ngga mau ah. Aku capek,” jawabnya sambil tiduran di kasur. “Ouh ya sudah, nggak apa-apa. Istirahat aja ya,” kata Reno. “Ok, bye,” ucap Risa sambil tersenyum. Keesokan harinya, Risa pulang ke rumah untuk melihat kondisi ayahnya. Begitu masuk, ia terkejut melihat wajah ayah dan ibunya murung. “Gimana kelanjutannya, Yah?” tanya Risa khawatir. Ayahnya menghela napas berat. “Mereka minta ganti rugi satu miliar.” Risa langsung menutup mulut dengan tangannya. “Ya Tuhan…” gumamnya kaget. Ibu ikut panik. “Uang dari mana segitu?!” Risa mencoba menenangkan. “Risa ada, Bu. Kemarin dapat fee 200 juta. Nanti Risa bantu sisanya ya, Bu.” “Kapan jatuh temponya, Yah?” tanya Risa lagi dengan wajah cemas. “Anaknya masih sakit di rumah sakit, kemungkinan lumpuh. Kasusnya udah naik. Ayah sudah bilang akan ganti rugi asal jangan masuk ke pengadilan. Tapi mereka tetap minta satu miliar dalam seminggu. Kalau nggak ada, ayah dituntut,” ucap ayahnya dengan wajah sedih. Belum sempat mereka mencari jalan keluar, tiba-tiba telepon berdering. Ibu mengangkatnya, lalu menjerit histeris. “Arka kecelakaan! Dia di rumah sakit!” Sontak mereka semua panik dan berlari ke mobil. Di rumah sakit, Arka mengalami kecelakaan parah. Dokter mengatakan ia harus segera dioperasi. “Ya ampun… biaya lagi ini…” ucap ibu sambil menangis. “Gak apa-apa, Bu. Ada kok, tenang aja. Jangan khawatir,” ucap Risa menenangkan. Ibu menatap anaknya dengan mata berkaca. “Ibu ngerepotin kamu terus, Risa…” Risa memeluk ibunya erat. “Ngga apa-apa kok, Bu. Doakan aja rezeki Risa lancar, ya.” Operasi pun dimulai. Mereka menunggu dengan penuh kecemasan. Setelah beberapa jam, operasi selesai dan Arka dipindahkan ke ruangan. “Ibu kalau capek pulang aja, biar Risa yang jagain Arka,” ucap Risa sambil membetulkan selimut adiknya. “Ngga. Ibu di sini aja. Kamu yang pulang, kamu capek abis kerja,” jawab ibunya dengan wajah sembab. Risa menggeleng sambil tersenyum. “Ya udah, kita di sini bareng-bareng. Masa ibu sendiri.” Mereka pun berjaga bersama. Keesokan harinya, Arka terbangun. Wajahnya penuh jahitan, kakinya masih belum bisa bergerak. “Kamu sudah sadar…” ucap Risa lirih, menatap adiknya dengan haru. Arka menatap kakaknya dengan air mata. “Maafin Arka, Kak…” “Kenapa minta maaf?” tanya Risa bingung. Arka menunduk. “Arka nakal… main balapan liar. Nggak dengerin kata Kakak…” Risa menghela napas berat, lalu menatapnya tajam. “Kita lagi ada masalah besar, Ka. Ayah udah dipusingin urusan ganti rugi. Kamu malah nambah beban! Harusnya kamu mikir, bukannya main kayak gitu!” “Iya, Kak… maaf…” jawab Arka dengan suara pelan. Risa akhirnya menghela napas panjang. “Ya udah lah… udah terjadi.” Tak lama kemudian, ibu masuk membawa makanan. Ia menyuapi Arka dengan penuh kasih, sementara Risa memilih pergi ke kantin untuk makan, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD