Cemburu

901 Words
Keesokan harinya, mereka sudah bersiap menuju lokasi pembangunan. Evan dan Risa tiba lebih dulu. Mereka berdiri di tengah lapangan yang luas, tanah kosong terbentang, panas matahari begitu terik. “Panas…” ucap Risa dengan nada merengek, tangannya mengipas-ngipas wajah. Evan meliriknya sekilas, lalu berkata dengan nada ketus tapi terdengar manja, “Sabar.” Risa mendelik, lalu cemberut. “Maaf, Pak, kebiasaan,” gumamnya dengan wajah masam. Tak lama kemudian, Pak Bagas datang. Evan segera maju, tubuhnya berdiri tegap, seolah sengaja menghalangi pandangan pria itu terhadap Risa. Mereka berjabat tangan. Pak Bagas mencoba mencari-cari Risa, hendak bersalaman juga, tapi Evan cepat-cepat berkata sambil tersenyum, “Sekretaris saya sedang pilek, Pak. Nggak bisa salaman, nanti takutnya nular.” Risa mengernyit dalam hati. Hah? Kok gitu… pikirnya heran. Mereka lalu berjalan menyusuri lokasi. Evan menjelaskan detail patok tanah, luas lahan, dan batas kepemilikan. “Surat tanah sudah SHM, siap bangun,” ucapnya penuh keyakinan. “Ok, kapan mulai?” tanya Pak Bagas, meski tatapannya tak pernah lepas dari Risa. “Kalau DP sudah masuk 50%, Pak, kita langsung kerjakan,” jawab Evan, sengaja sedikit bergeser, menutupi Risa dari pandangan itu. “Ohh, siap. Transaksi hari ini ya,” ucap Bagas sambil menyunggingkan senyum. “Siap, Pak. Silakan ikut ke mobil, kita ke kantor notaris dulu,” sahut Evan sopan. Mereka berangkat ke kantor notaris. Risa duduk sopan di kursi ruang tunggu. Celana tiga perempat yang ia kenakan memperlihatkan kulit kakinya yang mulus, membuat Pak Bagas kembali mencuri pandang. Risa memilih cuek, fokus pada tab dan lembaran surat. “Pak, ini suratnya yang ini kan?” bisik Risa pada Evan. Jarak mereka sangat dekat, membuat nafasnya terasa di bahu Evan. Evan tercekat, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia buru-buru memalingkan wajah, gugup. “Iya, yang itu.” Transaksi pun berjalan. Setelah semua surat lengkap, mereka menandatangani perjanjian. Waktu terasa berjalan lama, namun akhirnya semua rampung. “Oke, sampai bertemu bulan depan ya. Saya mau prosesnya 30% bulan depan,” ujar Pak Bagas sambil menjabat tangan Evan. “Siap, Pak. Saya usahakan,” jawab Evan dengan tenang. Namun, saat hendak pergi, Bagas menoleh ke Risa. “Nona Risa, boleh minta nomor WA-nya?” ucapnya dengan senyum nakal. Risa terkejut, tubuhnya menegang. “B-buat apa, Pak?” tanyanya gugup. “Buat tanya soal proses ini,” balas Bagas, tatapannya jelas lebih dari sekadar urusan kerja. Evan langsung maju selangkah, suaranya datar tapi tajam. “Lewat saya saja.” Bagas terkekeh. “Kalau sama Bapak saya segan.” Evan menyipitkan mata. “Dia nggak akan lama kerja di sini.” “Loh, kenapa?” Bagas heran. “Mau nikah,” jawab Evan sambil tersenyum tipis. “Ohh gitu…” Bagas tampak kecewa, namun akhirnya benar-benar pamit siang itu. Begitu Bagas pergi, Risa menghela napas panjang. Bahunya terasa ringan setelah ketegangan itu berakhir. “Sudah. Kita makan,” ucap Evan ketus, meski matanya sempat melirik Risa dengan perasaan aneh. Risa menurut. Mereka makan siang bersama. “Mau ikut ke kantor tante saya?” tanya Evan sambil mengunyah tenang. “Nggak ah, Pak. Malu. Saya mau istirahat dulu di vila,” jawab Risa sambil meneguk jusnya. “Ok.” Evan singkat. “Pukul 16.00 kita pulang,” tambahnya sambil menyesap teh. “Iya, Pak,” jawab Risa sambil tersenyum tipis. Setelah mengantar Risa ke vila, Evan pergi menemui tantenya. Risa masuk kamar, melemparkan tasnya ke sofa. “Ya ampun, panas sekali,” keluhnya sambil mengibaskan baju. Pandangan matanya jatuh pada kolam renang yang jernih berkilauan. Senyum terbit di bibirnya. “Berenang ah, mumpung bos nggak ada,” gumamnya, lalu membuka bajunya dengan cepat. Ia mengoleskan sunblock, lalu sunscreen, sebelum akhirnya menceburkan diri. “Ahh… seger banget!” teriaknya lega. Ia berenang ke sana kemari dengan gaya bebas, hanya mengenakan bikini hitam. Namun tanpa ia sadari, Evan kembali. Tantenya tak ada di tempat, jadi ia pulang lebih cepat. Ia terhenti di depan vila, melihat baju Risa berserakan. “Kenapa baju berserakan gini…” gumamnya, heran. Langkahnya membawanya ke kolam. Matanya terbelalak melihat tubuh Risa yang basah berkilau di air, begitu indah, begitu memikat. Jantungnya berdentum keras. Kenapa tiap lihat dia, jantung gue begini… batinnya resah. Ia melepas bajunya, menyisakan celana renang. Risa menoleh, kaget. “Maaf, Pak… kirain saya Bapak lama,” ucapnya gugup. “Nggak apa-apa,” jawab Evan cuek, lalu langsung mencebur ke kolam. Risa bergeming di pojok kolam. Gue naik, badan gue kelihatan. Diam di sini… takut juga, anjir, batinnya. Evan perlahan berenang mendekat. “Kenapa, takut?” ucapnya lirih. Risa diam, tangannya refleks menutupi d**a. Evan semakin dekat, lalu berbisik di telinganya, “Aku mau buktikan sesuatu. Jadi kamu diam.” “M-mau apa, Pak?” Risa tergagap. Wajah Evan semakin menunduk, jaraknya tinggal beberapa senti. “Anda mau apa, Pak? Jangan…” suara Risa gemetar. Evan mendekat dengan pelan, lalu mengecup bibir Risa dengan lembut. Jantungnya berdentum hebat. Risa membeku, terkejut, tak membalas. “Mau bermain denganku…” bisik Evan dengan senyum nakal. “Maaf, Pak. Saya bukan wanita seperti itu,” ucap Risa cepat, lalu berenang menjauh dan naik dari kolam. Evan menutup wajahnya dengan tangannya, frustrasi. “Akh, sial…” gumamnya lirih. Dalam hati ia mengakui, gue jatuh cinta sama dia. Sementara itu, Risa masuk ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu berganti pakaian. Ia membereskan barang-barangnya dengan tangan gemetar, kemudian merebahkan diri di kasur. “Ya Tuhan… apa tadi itu?” ucapnya lirih sambil menatap langit-langit, tangannya masih menekan dadanya yang berdegup kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD