Mereka pun saling diam hingga sore tiba. Kedua orang itu akhirnya berangkat menemui klien.
Evan duduk santai di sebuah restoran, sementara Risa setia menemaninya.
Di tangannya, sebuah tab terbuka, matanya fokus mengecek jadwal kegiatan Evan untuk esok hari.
“Besok siang survei lokasi ya, Pak,” ucap Risa sambil menatap tab dengan serius.
“Ya,” jawab Evan singkat, tanpa menoleh.
Risa mengernyit, lalu kembali bertanya, “Udah itu, kemana lagi? Pulang, Pak?”
Evan mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya perlahan sebelum menjawab tenang, “Saya mau bertemu tante saya dulu. Ya… jangan tulis di agenda.”
Risa menoleh heran, alisnya terangkat. “Tapi, Pak… kan buat laporan.”
Evan meliriknya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Ya sudah, tulis saja.”
Tak lama, klien mereka datang.
Evan dan Risa berdiri, menyambut dengan sopan dan berjabat tangan.
“Istrinya, Pak?” tanya pria itu, yang bernama Pak Bagas.
“Dia sekretaris saya,” jawab Evan sambil tersenyum.
“Ohh… cantik ya,” gumam Pak Bagas, matanya tak lepas dari wajah Risa.
Risa hanya tersenyum sopan. Namun, tatapan pria itu menusuk, seperti seorang b******n yang sedang menilai mangsanya. Evan menyadarinya, rahangnya mengeras.
“Gimana, Pak?” ucap Evan, mencoba mengalihkan.
“Oh iya, saya mau. Tapi… saat transaksi, nona Risa ini yang dibawa, kan?” ucap Bagas, senyumannya begitu menggoda.
“Kenapa, Pak?” tanya Evan dengan tatapan datar.
“Ngga, kok, Pak,” elak Bagas sambil cengengesan.
Risa yang mendengarnya mulai merasa geli sekaligus risih. Evan semakin tak nyaman.
“Ok, Pak. Saya masih banyak urusan. Kita bertemu lagi besok,” ucap Evan sambil berdiri, menutup pembicaraan.
“Loh, saya belum deal loh,” ucap Bagas, matanya kembali melirik Risa dengan nakal.
Dalam hati Risa bergumam kesal, ini orang kenapa sih… gila apa.
Namun dengan sopan, ia menimpali, “Tapi udah jelas kan, Pak, yang tadi dijelasin Pak Evan?”
“Saya mau kamu yang jelasin,” balas Bagas, masih dengan senyum menggoda.
Risa menarik napas, lalu meraih tangan Evan dan tersenyum ramah. “Ok, saya jelasin sekali lagi ya, Pak. Bapak duduk dulu.”
Evan pun menurut, meski wajahnya tampak kesal.
Dengan tenang, Risa menjelaskan detail tentang lahan dan proyek yang akan dibangun.
Pak Bagas hanya manggut-manggut, tatapannya lekat pada Risa, senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
Evan merasa dadanya sesak, seperti mainannya hendak direbut orang.
“Gimana, Pak? Sudah jelas?” tanya Risa sambil menampilkan senyum manis.
“Sudah. Saya sudah paham. Besok kita survei lokasi, ya,” jawab Bagas dengan senyum yang sama manisnya—namun penuh maksud terselubung.
“Ok, Pak,” balas Risa sambil mengangguk.
Tak lama, Bagas menyalakan rokok, berbincang lagi dengan Evan. Risa menyimpan tab-nya, lalu ikut mendengarkan, meski pikirannya gelisah. Setelah beberapa menit, pertemuan berakhir.
Bagas menjabat tangan Evan, lalu beralih ke Risa.
Tangan itu menahan lama genggaman Risa, membuatnya kaku. Evan melirik tajam, wajahnya mengeras.
“Kita bertemu besok ya,” ucap Bagas pada Risa, senyum nakalnya begitu kentara.
“Iya, Pak,” jawab Risa dengan suara yang dibuat setenang mungkin, meski hatinya ketakutan.
Begitu Bagas pergi, Risa duduk lemas. Tangannya gemetar.
“Kita kembali ke vila,” ucap Evan, nadanya kesal.
“Pak…” Risa menahan tangan Evan.
“Kenapa?” Evan menoleh, khawatir.
“Bentar dulu… saya gemeteran,” ucap Risa, suaranya lemas.
“Kenapa?” tanya Evan, kali ini lebih lembut.
“Saya takut sama bapak-bapak yang tadi…” Risa menunduk, matanya berkaca-kaca.
Evan menarik napas panjang, lalu kembali duduk. “Ya sudah.”
Setelah Risa tenang, mereka akhirnya kembali ke vila malam itu.
Pelan-pelan, Risa masuk kamarnya dan langsung mengunci pintu. Ia rebahan di kasur, menatap langit-langit.
“Hah… capek,” gumamnya.
“Mau mandi, tapi… duh, kenapa sih harus satu ruangan gini.
Ngga nyaman,” keluhnya sambil mendengus.
Ponselnya berbunyi. Chat berdatangan: Reno, Tari, Arka adiknya, ibu, hingga ayahnya.
“Kak, minta duit,” tulis Arka.
“Berapa?” balas Risa.
“200, buat main.”
Risa langsung transfer.
“Makasih, Kak,” balas Arka.
“Yaa, jangan nakal,” pesan Risa.
“Siap, kakakku,” jawab Arka lagi.
Risa tersenyum, lalu membuka chat Reno.
“Sayang, lagi apa?” tanya Reno.
“Lagi tiduran aja, baru kelar meeting,” balas Risa.
“Udah makan?”
“Belum, kalau malam.”
“Oh yaudah, jangan lupa makan ya.”
“Siap, makasih,” tulis Risa sambil tersenyum kecil.
Ia bangkit, hendak mandi. Namun ketika membuka pintu kamar mandi, Evan baru saja keluar.
Risa terbelalak, jantungnya seolah berhenti. Tubuh Evan hanya terlilit handuk, otot-otot atletisnya terpampang jelas.
“Kenapa bengong?” tanya Evan sambil mendekat.
“Kaget, Pak!” Risa buru-buru masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Dalam hati ia mengumpat, anjir… no, no! Reno lebih baik. Reno lebih baik! Jantungnya berdebar tak karuan.
Risa mandi cepat, lalu berganti pakaian. Setelah memakai skincare, ia duduk di sofa sambil ngemil. Merasa canggung karena Evan tak terlihat, ia berjalan ke kolam renang.
Langit penuh bintang, suara ombak terdengar dari jauh.
“Kapan ya gue ke sini sama Reno…” gumamnya dalam hati.
Tak lama, Evan muncul bersama pelayan vila, membawa makanan.
“Makan dulu,” ucapnya datar.
“Baik, Pak Evan,” balas Risa sambil tersenyum.
“Bapak ngga makan?” tanyanya sambil mengunyah.
“Sudah tadi,” jawab Evan, matanya sibuk dengan ponsel.
“Oh, ok.” Risa kembali fokus pada makanannya.
Usai makan, ia kembali duduk di tepi kolam, merasa canggung.
Reno menelpon, membuatnya tersenyum lagi, tertawa kecil sepanjang percakapan. Setelah selesai, ia pamit tidur dan masuk ke kamarnya. Evan pun masuk kamar sendiri, lalu tertidur malam itu.