Lo gila, Reno...
ucap Risa dengan suara bergetar sebelum tangannya mendarat keras di pipi Reno malam itu.
Tamparan itu terdengar jelas, menusuk hati Reno lebih dalam daripada rasa sakit fisik.
Reno, yang masih kaget, hanya bisa terdiam sejenak.
"Sa, denger dulu..." ucapnya dengan nada memohon, matanya berusaha mencari tatapan Risa.
Namun Risa yang hatinya sudah hancur tak memberi kesempatan sedikit pun.
"Ngga perlu! Kita putus! Anjing lo emang!" teriaknya sambil terisak, air matanya jatuh bercampur dengan hujan yang turun deras malam itu.
Risa berbalik, langkahnya terburu-buru menjauh.
Reno panik, berlari menyusul sambil meraih tangannya.
"Risa, dengerin dulu aku, Sa! Dia tadi tiba-tiba cium aku! Sayang, tolong percaya... ini cuma salah paham!" suara Reno pecah di tengah hujan, genggamannya semakin erat.
Namun Risa menghentak tangannya kasar.
"Ngga usah! Kita putus! Jangan kejar aku lagi!" ucapnya dengan suara serak, lalu berlari meninggalkan Reno yang terdiam mematung di bawah derasnya hujan.
Dengan napas terengah, Reno kembali masuk ke tempat kerjanya. Wajahnya penuh amarah, dadanya naik-turun.
Begitu melihat Anya, Karyawan nya, berdiri sambil tersenyum menggoda, emosinya langsung meledak.
"Lo ngapain anjing tiba-tiba cium gue?!" bentaknya, suaranya bergema memenuhi ruangan.
Anya tersenyum tipis, seolah tidak menyesali perbuatannya.
"aku tuh udah lama suka sama kamu, pak... tapi kamu udah punya pacar.
Jadi tadi kesempatanku buat cium kamu. Mumpung sepi... eh, ngga taunya ada pacar kamu di belakang," ucap Anya dengan nada manja, matanya masih menatap Reno tanpa rasa bersalah.
Reno mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
"Najis! Pergi lo dari sini! Gue keluarin lo dari sini, setan!" teriaknya penuh amarah.
Wajah Anya langsung pucat, senyumnya lenyap. Tanpa kata lagi, ia berlari keluar meninggalkan Reno seorang diri di café itu.
Reno, yang tak kuasa menahan amarah, mengacak-acak meja, membuat gelas dan piring pecah berserakan di lantai.
Suaranya menggema, seakan menjadi teriakan putus asa dari hatinya yang retak.
Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan.
Sa, jangan marah... semua salah paham.
Namun balasan Risa hanya satu kata penuh penolakan:
Terserah.
Tak lama, layar ponselnya menampilkan pesan singkat: Nomor ini telah diblokir.
Sementara itu, di dalam taxi, Risa hanya bisa menangis tanpa henti. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang sembab.
Sopir taxi hanya melirik lewat kaca spion, merasa iba namun memilih diam.
Begitu sampai di apartemennya, Risa turun dengan langkah gontai.
Sesampainya di kamar, ia berteriak penuh amarah.
"b******k!" teriaknya sambil mengobrak-abrik pakaian dan makeup di meja rias.
"Reno! Anjing! Kesel gue sama lo! Tega-teganya lo khianati gue!" ucap Risa sambil terisak, tubuhnya gemetar karena emosi yang menyesakkan d**a.
Tak sanggup menahan diri lagi, Risa masuk ke kamar mandi.
Di bawah derasnya shower, tubuhnya memang terasa segar, tapi pikirannya penuh dengan bayangan menyakitkan-Reno dan Anya berciuman.
Air mata terus menetes, bercampur dengan aliran air yang membasahi tubuhnya.
Usai mandi, Risa mengenakan pakaian seadanya. Dengan wajah lelah dan hati hancur, ia mulai berkemas.
Barang-barang dimasukkan ke tas tanpa banyak dipikirkan. Malam itu juga ia nekad meninggalkan kota tempatnya bekerja, tempat semua luka itu dimulai.
Dengan koper kecil di tangan, ia menuju terminal travel.
"Bandung... aku pulang," bisiknya pelan, matanya sembab namun ada tekad di balik tatapan kosongnya.
Dalam perjalanan, ia hanya menatap ponselnya yang sunyi.
Harapannya Reno akan menelpon runtuh saat ia sadar, dirinya sendiri sudah memblokir nomor itu.
Beberapa jam kemudian, travel berhenti di depan rumah kecilnya. Risa menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu.
"Ibu..." suaranya serak ketika pintu terbuka.
Ibunya terkejut melihat putrinya datang larut malam.
"Kenapa kamu pulang malam-malam, Nak?" tanya ibunya penuh khawatir.
Risa memaksa tersenyum meski hatinya remuk.
"Gak apa-apa kok, Bu... pengen aja pulang," jawabnya dengan suara pelan.
Ibunya menatapnya sejenak, lalu mengangguk lembut.
"Ouh... ya sudah, masuklah."
Risa pun masuk, duduk sebentar berbincang hangat dengan ibunya, berusaha menutupi luka yang baru saja terbuka lebar.
Namun begitu ia masuk kamar dan menutup pintu, air matanya kembali tumpah.
Ia memeluk bantal erat-erat, berharap bisa tidur, berharap bisa melupakan semuanya.
Keesokan harinya, Risa baru terbangun ketika matahari sudah tinggi.
Matanya masih sembab, rambutnya berantakan, tapi senyumnya dipaksakan saat melihat ibunya datang sambil membawa sepiring makanan hangat.
"Mau makan?" ucap ibunya lembut, suaranya penuh kasih sayang seolah bisa meredakan luka hati putrinya.
"Boleh..." jawab Risa sambil tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahan dalam dadanya.
Sambil menata piring di meja, ibunya bertanya hati-hati, "Kamu keluar kerja?" nada khawatirnya samar terdengar.
Risa menghela napas pelan lalu mengambil sendok. "Belum sih... cuma pengen pulang dulu.
Ini juga bos nelpon dari tadi," ucapnya sambil menyuapkan makanan, berusaha terdengar santai meski hatinya masih berkecamuk.
"Lah... kenapa, sayang?" tanya ibunya heran, tatapannya menyelidik.
Risa tersenyum kaku, matanya berusaha menghindar.
"Gak apa-apa kok, Bu... lagi kangen rumah aja," ucapnya lirih, seolah kata-kata itu bisa menutupi semua luka yang enggan ia ceritakan.
Ibunya terdiam, hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tak semua masalah bisa diceritakan pada orang lain, bahkan pada ibu sendiri.
Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa semoga putrinya kuat menghadapi apapun.
Selesai makan, Risa mengambil ponselnya. Dengan napas berat, ia akhirnya menelpon bosnya. Suara di seberang terdengar keras, penuh emosi.
"Risa! Kamu kenapa tiba-tiba mau resign?! Nggak bisa gitu dong! Kita lagi butuh orang kayak kamu!" bentak bosnya dengan nada marah.
Risa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan tapi tegas, "Maaf, Pa... saya pengen menetap di Bandung. Saya nggak bisa lanjut kerja lagi di sana."
Di seberang, terdengar suara helaan napas panjang. "Yaudah... kalau memang itu keputusan kamu. Nanti pesangon ditransfer ya," ucap bosnya akhirnya, nada marahnya melembut meski masih ada sisa kecewa.
"Ok, Pa... maaf ya, Pa." Risa tersenyum kecil, meski air matanya hampir jatuh lagi.
"Iya, nggak apa-apa..." jawab bosnya singkat, lalu menutup telepon.
Risa menatap ponselnya, perasaan campur aduk. Ada lega, ada juga rasa bersalah. Tapi ia tahu, ini keputusan yang terbaik untuk hatinya.
Siang itu, ia mulai mencari pekerjaan di Bandung. Dengan pengalamannya sebagai desain grafis, ia membuka laptop dan mulai mengirimkan CV ke beberapa perusahaan.
Setelah selesai, ia rebahan di sofa dengan wajah lelah.
"Ah... day one jadi pengangguran," gumamnya sambil menutup mata, mencoba bercanda dengan dirinya sendiri.
Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Ekh... Tari apa kabar ya? Udah lama nggak chat dia," ucapnya sambil menggulir kontak di ponselnya.
Risa pun langsung menekan tombol call.
"Halo," suara Tari terdengar di seberang, ceria seperti biasa.
"Hay... lagi apa lo?" ucap Risa sambil memainkan ujung rambutnya, senyumnya mulai muncul.
Tari langsung tertawa. "Kemana aja lo, tai?!" serunya dengan nada menggoda.
"Ada... baru inget aja sama lo," jawab Risa sambil ngakak, matanya berbinar sedikit demi sedikit.
"b******k lo... sini gue hajar lo ya!" ucap Tari, tawanya pecah lepas.
"Otewe..." balas Risa sambil rebahan, kedua kakinya terangkat ke atas sofa dengan gaya santai.
"Serius lo mau ke sini?" tanya Tari tak percaya, suaranya setengah teriak.
"Serius. Sharelok lo dimana?" jawab Risa dengan nada mantap.
"Oke, gue share location ya," ucap Tari sambil menutup telepon, masih terkekeh geli.
Tak lama kemudian, pesan masuk di layar ponsel Risa. Tanpa pikir panjang, ia segera bersiap.
Memakai jaket tipis, menyambar kunci motor, lalu keluar kamar dengan semangat baru.
"Buuu... Risa ke rumah Tari!" teriaknya sambil menstarter motor.
"Iya, hati-hati ya, Nak," ucap ibunya dengan tatapan penuh kasih.
Ia berdiri di depan pintu, memperhatikan putrinya yang kini pergi menjauh, berharap pertemuan dengan sahabatnya bisa menghapus sedikit luka yang masih membekas.