Patah Hati

1163 Words
Setelah beberapa menit perjalanan, motor Risa berhenti di depan apartemen Tari. Nafasnya sedikit memburu, bukan karena lelah, melainkan karena perasaan campur aduk: rindu, lega, sekaligus getir. Tangannya mengetuk pelan pintu apartemen itu siang hari, degup jantungnya seakan ikut berdetak lebih keras. Pintu terbuka. Tari muncul dengan wajah cuek khasnya, rambut berantakan, dan masih mengunyah permen karet. Risa langsung tersenyum lebar sambil mengangkat dua kantung kresek berisi makanan dan minuman. "Hay, monyet!" ucapnya sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. "Babi lo!" balas Tari spontan, matanya melebar, lalu keduanya berteriak kecil, "Aaaaaa!!" dan langsung berlari saling memeluk erat. Pelukan itu lama, kuat, penuh kerinduan. Setelah dua tahun tak bertemu, air mata mereka nyaris jatuh. "Kangen banget sama lo!" ucap Risa dengan suara bergetar, masih memeluk erat sahabatnya. Tari pun tertawa sambil ikut berputar-putar bersama Risa, pelukan itu terasa seperti obat setelah luka panjang. "Udah, udah! Pusing gue, lo kayak anak kecil," ucap Risa akhirnya sambil melepaskan pelukan dengan tawa bercampur haru. Mereka pun masuk. Tari langsung meraih kantung plastik dari tangan Risa. "Duduk! Lo bawa apa ini?" tanyanya sambil membuka plastik dengan ekspresi penasaran. "Rechesse sama amer, sayang. Kita mabok!" jawab Risa dengan senyum menggoda, matanya berkilat penuh kenakalan. Tari mendengus, menyipitkan mata sinis. "Najis lo. Kesini pasti ada masalah, kan? Tai lo emang," ucapnya sambil tersenyum sinis, tapi tatapannya penuh kepedulian. Risa terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas berat. "Gue putus sama pacar gue," ucapnya tiba-tiba, suaranya nyaris pecah. Tari mendongak cepat, kaget. "Hah?! Si Reno?!" tanyanya dengan wajah tak percaya. "Iya... dia ciuman, anjir, sama karyawan nya. Gue liat sendiri..." ucap Risa dengan tatapan kosong, suara bergetar menahan tangis. Tari berhenti mengunyah permen karet, ikut larut. "Trus lo balik ke Bandung? Cuti apa gimana?" tanyanya pelan, sambil membuka bungkusan makanan. "Gue risign. Ngga mau tinggal di Jakarta lagi. Si Reno pasti ngejar gue... ogah, akh," jawb Risa sambil bergidik, seakan membayangkan wajah Reno saja sudah membuatnya muak. "Seriusan ngga mau? Bukannya lo love-death sama dia?" tanya Tari sambil menyambar paha ayam, menatap Risa dengan heran. Risa menunduk, menggenggam sendok dengan gemetar. "Ya gue cinta... tapi dia selingkuh. Gue ngga bisa terima itu," ucapnya dengan kesal, matanya mulai berkaca-kaca. "Lo mau kerja dimana di Bandung?" Tari kali ini serius, tatapannya penuh perhatian. "Ngga tau... baru masukin lamaran tadi," jawab Risa sambil memasukkan makanan ke mulut, meski rasanya hambar. Tari menelan makanan, lalu berkata santai, "Ikut di kantor gue kerja, yuk. Ada lowongan jadi sekretaris. Tapi lo harus tahan banting, bosnya jutex parah, tempramen, najis banget orangnya." Risa langsung mengerutkan wajah. "Dih! Kok lo nawarin yang bosnya jutex? Ogah akh!" ucapnya sambil bergidik geli. Tari menyeringai licik. "Gajinya gede," bisiknya sambil nyengir nakal. Risa langsung berubah ekspresi. "Gass! Masukin gue! Nggak apa-apa. Asal gue bisa party sama lo tiap malam Minggu," ucapnya sambil tertawa lepas. Tari ikut tertawa, lalu meraih ponselnya. "Ok, gue chat bos gue ya," katanya sambil mengetik cepat. "Telpon aja biar cepet," ucap Risa dengan senyum menggoda, seakan sudah kembali sedikit ceria. "Dia sibuk," balas Tari, matanya tak lepas dari layar. "Tapi udah gue chat. Tinggal nunggu balasan." Setelah makan, mereka membuka botol bir dan minum bersama. Tawa berganti tangis saat Risa menceritakan semua tentang kehidupannya di Jakarta. Reno yang sabar, perhatian, tak pernah marah meski dirinya sering rewel. Semua kenangan indah itu kembali menghantam Risa hingga air matanya pecah. "Dia itu baik, Tari... dia perhatian sama gue... dia tuh ngga pernah ngeluh kalo gue rewel... dia juga suka kasih makanan ke gue..." suara Risa bergetar, lalu pecah jadi rengekan. "Kok dia tega ya... selingkuh?" Risa menangis tersedu, suaranya manja, wajahnya memerah karena alkohol. Tari menatapnya bingung. Wajahnya juga merah karena mabuk. "Duh... kayaknya lo salah paham deh. Masa cowok baik gitu selingkuh sih?" tanyanya heran. "Gue liat sendiri, Tariii!" balas Risa dengan kesal. Ia memukul-mukul bantal sofa, tangisnya makin keras. "Aduh, aduh... udah, udah... jangan kesal. Mending kita tidur. Gue pusing..." ucap Tari sambil menjatuhkan diri ke sofa, kepalanya berputar. "Hmmm... gue juga ngantuk..." jawab Risa lemah, lalu merebahkan tubuhnya. Dalam keadaan mabuk, keduanya akhirnya tertidur sore itu. Risa terlelap dengan wajah masih basah air mata, sementara Tari memeluknya erat, seakan ingin melindungi sahabatnya dari luka yang membekas. Keesokan harinya, sinar matahari menembus gorden tipis apartemen Tari. Risa terbangun dengan kepala sedikit pening akibat sisa alkohol semalam. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya, lalu terkekeh kecil. "Gue ngga bawa baju... minjem," ucap Risa buru-buru sambil bergegas ke kamar mandi. Suaranya masih serak, tapi ia mencoba terdengar santai. Usai mandi, ia mengenakan kaos longgar milik Tari dan duduk di sofa. Dengan santai, ia menyalakan sebatang rokok, menghembuskan asap ke langit-langit ruangan. "Tari... main, yuk," ucap Risa pelan, hampir seperti manja. Tari, yang sibuk membuat kopi di dapur kecilnya, menoleh sambil mengangkat alis. "Kemana?" tanyanya singkat, tangannya tetap sibuk mengaduk kopi. "Ke mall... kemana kek. Biar gue bisa lupain Reno," jawab Risa, lalu bersendawa kecil dengan gaya sok cuek. Tari tertawa pendek. "Ayok, siapa takut. Ouh iya... tadi malam bos gue balas chat. Katanya besok lo ikut gue ke kantor buat interview," ucap Tari sambil tersenyum puas, menaruh cangkir kopi ke meja. "Ok," sahut Risa santai, seolah semua yang berat di hatinya bisa ditunda. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah siap. Mereka meluncur ke sebuah mall besar di Bandung. Suasana riang mulai terasa. Mereka masuk foto box, pose konyol berkali-kali, lalu tertawa ngakak melihat hasilnya. Setelah itu, mereka jalan-jalan, belanja baju, dan makan bersama di foodcourt. Namun kebahagiaan itu hanya sementara. Saat masuk bioskop dan film mulai menampilkan adegan sedih, Tari langsung mengusap matanya. Ia menangis pelan, terhanyut oleh jalan cerita. Sementara Risa, matanya menatap kosong layar lebar. Adegan itu memicu ingatan tentang Reno-tentang kebaikan, perhatian, dan senyumnya. Air matanya jatuh deras, tangisnya pecah semakin kencang, hingga membuat kepala orang-orang di sekitar menoleh. "Udah, anjir... malu!" bisik Tari panik, sambil buru-buru menutup mulut Risa dengan tangannya. "Reno... gue inget Reno..." ucap Risa terisak, suaranya pecah di sela-sela tangan Tari. "Berisik, bangke!" bisik Tari sambil celingakan, merasa wajahnya panas karena ditatap penonton lain. Film selesai, lampu menyala. Tari menarik Risa keluar dengan wajah masam. Risa berjalan tertunduk, tatapannya kosong, wajahnya sembab. "Lu kayak kehilangan harga diri tau ngga?!" omel Tari sambil mendelik tajam, suaranya tegas penuh kekesalan. Risa hanya menatapnya sedih. "Tari... jangan gitu," ucapnya lirih, nyaris berbisik. Tari menghela napas panjang, frustrasi. "Akh udah akh! Lo nangis mulu, kesel gue!" bentaknya, lalu menarik tangan Risa agak kasar. "Kita party, tapi jangan mabuk. Besok lo kerja!" Mereka pun masuk ke sebuah tempat karaoke. Lampu neon berkedip, ruangan penuh suara musik. Tari menyandarkan tubuhnya di sofa, menguap lebar. Matanya melirik ke arah Risa yang terus memilih lagu galau, bernyanyi dengan suara parau, dan menangis di sela-sela lirik. "Huft... gini amat punya temen," gumam Tari sambil bersandar, menutup wajah dengan tangan. Ia pasrah, membiarkan Risa melampiaskan semua sakit hatinya lewat lagu. Dua jam berlalu. Risa akhirnya berhenti bernyanyi, suaranya habis, matanya bengkak. Mereka pulang dengan langkah berat, lalu langsung merebahkan diri di kasur. Malam itu, mereka tidur berdua lagi, meski suasana hati masih dipenuhi luka yang tak sembuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD