Malam itu, Risa berjalan ke kamarnya masih dengan mata sembab. Ia merebahkan diri, terisak hingga akhirnya tertidur karena lelah menangis.
Keesokan harinya, suasana kantor kembali sibuk. Risa baru saja sampai, lalu dengan cepat menyiapkan kopi untuk Evan. Begitu Evan datang, ia menyodorkan cangkir itu dengan hati-hati.
“Siapa yang suruh buat kopi?” ucap Evan dingin, tanpa menatapnya.
Risa tersenyum tipis, mencoba terbiasa dengan sikap bosnya. “Kemarin terlalu panas, Pak. Jadi ini saya buat yang cukup pas.”
Evan menutup laptopnya sejenak, lalu berkata, “Ya sudah. Kamu siap-siap. Kita survey tanah yang kemarin.”
Risa mengernyit. “Tapi, Pak, ini jadwal saya belum baca, kan?”
“Bisa di mobil. Oke, sekarang siap-siap.” Nada Evan terdengar menekan, seolah tak memberi ruang bantahan.
“Ok, Pak,” sahut Risa lirih sebelum bergegas.
Saat Risa pergi, Evan mencium aroma samar yang tertinggal. Ia mengerutkan dahi. Kok wangi parfumnya sama, ya? gumamnya dalam hati, sedikit terganggu tapi juga penasaran.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di lokasi tanah yang akan dibeli untuk pembangunan. Evan menatap lahan itu dari balik kacamata hitamnya, wajahnya dingin.
“Jadi, Bapak maunya berapa per meter?” tanya Evan datar.
“Saya mau 25 juta satu meter,” jawab Pak Ujang, pemilik lahan, mantap.
“Kemahalan itu, Pak,” balas Evan ketus.
Risa yang sedari tadi memperhatikan, memberanikan diri. “Maaf, Pak Evan, boleh saya bicara dengan Anda?” ucapnya lembut.
“Apa?” sahut Evan ketus, jelas tak suka dipotong.
“Ngga di sini, Pak,” Risa tersenyum menenangkan, memberi kode dengan matanya.
Evan menghela napas berat, lalu mengikuti Risa berjalan agak jauh dari Pak Ujang.
“Gini, Pak,” bisik Risa lembut. “Semakin Bapak datangi mereka, akan semakin tahan harga. Sebaiknya kita biarkan saja dulu.”
Evan menunduk sedikit, berbisik balik, “Tapi dia bilang sudah ada yang mau tanahnya, bahkan harganya lebih tinggi dari kita.”
Risa tersenyum miring. “Bapak percaya itu? Itu teknik broker, Pak. Dia itu broker, bukan pemilik asli tanah. Biarkan saja dulu. Tanah segini luas siapa juga yang mau beli kalau bukan Bapak?”
Evan terbelalak. “Kok kamu bilang gitu?”
“Dengar ya, Pak. Ini tanah luas, loh.
Nggak mungkin ada yang mau beli sekaligus. Paling kalau pun ada, ya cuma tiga atau empat tumbak. Itu pun kalau dihitung tumbak, Pak,” ucap Risa, masih tersenyum tenang.
Evan gelisah. “Terus saya harus gimana?”
Risa berbisik, mencondongkan tubuh. “Kita bilang saja kita pikirkan dulu sambil cari lahan lain. Nah, sementara itu, cari pemilik tanah aslinya.” Senyumnya tampak sedikit nakal.
Evan menatapnya lama, lalu akhirnya tersenyum tipis. “Pinter juga kamu.”
“Bapak bisa senyum juga ternyata,” goda Risa sambil menatapnya.
“Ya bisa lah,” sahut Evan sambil merapikan jasnya, menyembunyikan sedikit rasa kikuk.
Setelah kembali ke Pak Ujang, Evan berkata tegas, “Ok, Pak, saya pikirkan dulu ya. Sambil cari lahan lain nanti saya hubungi lagi.” Ia kemudian masuk ke mobil.
“Eh, Pak… tunggu dulu,” seru Pak Ujang sambil mengetuk jendela mobil.
Risa menurunkan kaca jendela. “Ya, Pak? Gimana?” tanyanya ramah.
“Ok lah, 15 juta per meter,” ucap Pak Ujang akhirnya menyerah.
Risa menoleh ke Evan dengan senyum manis. “Tuh kan, Pak, apa saya bilang.”
Evan turun kembali, kali ini dengan aura percaya diri. “Kita transaksi di notaris ya, Pak. Siapkan surat-suratnya.”
“Baik, Pak,” jawab Pak Ujang sambil menunduk, lalu menghampiri rekannya.
Hari itu urusan selesai. Dalam perjalanan pulang, Evan menatap lurus ke jalan lalu berkata, “Nanti saya kasih bonus ya.”
Risa terkekeh. “Kalau tanah aturannya out fee dong, Pak.”
Evan menoleh sekilas, heran. “Kamu ngerti juga urusan beginian?”
“Lumayan sih,” jawab Risa sambil menatap jalanan, senyumnya tipis.
“Ok lah, nanti kalau sudah selesai saya transfer fee kamu,” balas Evan sambil memainkan ponselnya.
Risa lalu membuka tab jadwal. Dengan suara tegas ia membacakan, “Oh iya, Pak. Jadwal hari ini: cek kesehatan pukul 11.00. Pukul 12.00 makan di restoran bersama Ibu Ola. Pukul 13.00 ada pertemuan dengan klien di kafe. Pukul 14.00 pertemuan dengan klien lagi di kantor lantai 1. Pukul 15.00 masih ada klien di lantai 1. Pukul 16.00 ada pertemuan dengan Ibu Elsa.”
Evan mengangkat alis. “Yang Ola, cancel.” Suaranya dingin, tak memberi alasan.
“Ok, Pak.” Risa menekan tombol cancel di tabnya tanpa komentar.
Mobil pun melaju kembali menuju kantor.
Siang itu, Risa makan siang bersama Tari di kantin. Obrolan ringan menemani mereka hingga waktu istirahat usai. Setelahnya, Risa kembali fokus mengecek semua email yang masuk, menyiapkan dokumen sesuai kebutuhan Evan.
Hingga jam kerja selesai, Risa dan Tari pulang tepat waktu sore itu. Untuk pertama kalinya, harinya berakhir tanpa drama.